Karpet Merah Oligarki, Merayakan Euphoria Satu Tahun Undang-Undang Cipta Kerja

“Sesi diskusi bersama para pemateri dalam acara “Nobar dan Diskusi : Demi 1%” yang
diselenggarakan oleh Suar Nusantara X Solar Generation di Orbital Dago,Bandung, Minggu (24/10) . ” Foto: Iska Nur Indira Dewi

Oleh: Iska Nur Indira Dewi

Memperingati satu tahun disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja di tanggal 5 Oktober 2020, sebuah rumah produksi audio visual yang diprakasai oleh Andhy Panca dan Dandy Laksono atau yang kerap kita kenal dengan sebutan “Watchdoc Documentary” menerbitkan film dokumenter barunya perihal perkembangan UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 yang genap sudah berjalan satu tahun.

Menyemarakkan euphoria dengan munculnya dokumenter ini, Suar Nusantara X Solar Generation menyelenggarakan acara “Nobar dan Diskusi : Demi 1%” di akhir pekan pada Minggu (24/10) di Orbital Dago, Jalan Rancakendal No. 7, Bandung. Suar Nusantara sendiri merupakan media alternatif yang menggunakan seni sebagai media untuk menggambarkan isu politik, sosial, budaya, budaya, dan hak asasi manusia. Sedangkan Solar Generation merupakan sebuah komunitas generasi muda yang melek terhadap energi terbarukan sebagai solusi terbaik menangani krisis iklim.

Acara ini dihadiri oleh pembicara dari berbagai bidang untuk melihat fenomena ini dari berbagai sudut pandang. Diantaranya ialah Wanggi Hoed sebagai seniman, Heri Pramono S.H sebagai perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, dan Didit Haryo Wicaksono sebagai juru kampanye krisis dan iklim Greenpeace Indonesia.

Omnibus law sendiri tercetus pertama kali ketika pidato pertama Joko Widodo setelah dilantik sebagai presiden Republik Indonesia di periode keduanya. Saat itu, Jokowi mengungkapkan bahwa Ia akan membahas dua undang-undang yang akan menjadi omnibus law, yakni mengenai cipta kerja dan juga pemberdayaan UMKM.

Film dokumenter yang berjudul “Demi 1%” merupakan sebuah serial documenter antara Watchdoc bersama Greenpeace, Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) dan Bersihkan Indonesia, seperti yang dijelaskan di kolom deskripsi Trailer Demi 1% di channel Youtube Watchdoc yang mengudara pada 4 Oktober lalu.

Serial dokumenter ini mengudarakan episode pertamanya dengan judul “Karpet Merah Oligarki” sebagai pembuka dari serial ini. Film dokumenter berdurasi 28 menit ini cukup menjelaskan betapa keadaan setelah disahkannya UU Cipta Kerja ini ternyata menyulitkan beberapa kalangan masyarakat yang ada, terutama buruh. Pelantikan Jokowi pada periode keduanya menjadi pembukaan yang cukup ciamik pada episode pertama serial dokumenter ini, dilanjutkan dengan cerita dari Bayu sebagai pekerja kontrak yang dirugikan oleh UU ini, dan juga beberapa pihak narasumber lain yang mengalami hal serupa.

Dilansir dari laman Youtube Watchdoc, UU Cipta Kerja ini juga kerap kali digadang-gadang bisa mendorong investasi dan penciptaan 3 juta lapangan kerja per tahun, namun kenyataannya serapan tenaga kerja di Indonesia justru terus menurun. Beberapa narasumber yang ada di dalam dokumenter ini menceritakan bahwa UU Cipta Kerja ini betapa memberatkan mereka sebagai pekerja kontrak ataupun buruh, dan sulitnya pencarian kerja bagi para lulusan baru.

Acara yang berlangsung di akhir pekan pukul 13.30 WIB dengan susasana Kota Bandung yang kurang cerah dengan hawa yang cukup dingin dan berdurasi kurang lebih empat jam ini cukup mengundang banyak audiens dan komunitas untuk hadir, di antaranya ada komunitas Aksi Kamisan, Extinction Rebellion Bandung, dan Sarekat Pemuda Muslim. Kurang lebih ada 50 audiens yang datang ke acara ini.

“Keterbatasan audiens ini juga kita pertimbangkan karena masih masa pandemi, dan juga keterbatasan tempat. Makanya, di poster acara yang kita sebar, dicantumkan link pendaftaran karena keterbatasan hal-hal ini. Walaupun begitu, dari pihak Suar Nusantara dan Solar Generation sih ingin acara ini mengembalikan semangat pada simpul-simpul kolektif agar tetap melaknak omnibus law yang merugikan beberapa pihak,” ucap Parayogi (26) sebagai penanggung jawab dari acara ini ketika diwawancarai KMJurnalistik.com di tempat diskusi.

Adian Angkasa (21) selaku ketua panitia acara juga mengatakan bahwa tujuan dari acara ini ingin menyatukan segala lini untuk berdiskusi bersama. “Kalau dari aku sih pengennya acara ini buat edukasi bareng-bareng aja Pengen semua kalangan bisa dateng dan sama-sama saling sharing edukasi tentang fenomena ini. Mumpung nih, momentum 1 Tahun RUU Ciptaker, yaudah kenapa engga kita selenggarain acara ini aja,” ujar Adian.

Didit Haryo Wicaksono, sebagai pembicara dalam diskusi ini mengungkapkan bahwa UU Cipta Kerja ini bagaikan UU sapu jagat sebagai ancaman mahadasyat, tidak hanya untuk buruh namun untuk semua masyarakat.

“Omnibus law ini kan banyak undang-undangnya. Ya semuanya balik lagi hanya menguntungkan beberapa pihak saja, gak hanya UU Cipta Kerja yang menguntungkan pihak investor atau pemilik modal, di UU Minerba pun hanya menguntungkan para pemilik tambang,” ucap Didit saat diskusi berlangsung.

Hal kontra serupa juga disampaikan oleh Wanggi Hoed dari perspektif seniman sekaligus aktivis lingkungan, “Ya omnibus law ini tuh bisa dibilang sebuah virus yang lebih berbahaya daripada virus corona. Iya ngga? Sasarannya gak hanya manusia saja, UU Minerba juga menyasar makhluk hidup lain kayak hewan-hewan. Gimana ini nggak disebut lebih berbahaya dari virus corona?” Ucap Wanggi.

Diskusi dalam acara ini menciptakan berbagai opini dari berbagai perspektif yang ada, semua pembicara sepakat atas ketidaksetujuan mereka terhadap undang-undang ini. Namun, mereka semua pun sepakat bahwa kita tidak bisa hanya diam saja, kita pun harus menuntut dan membela hak-hak kita, seperti yang dikatakan Heri Pramono, “Sebagai kaum-kaum muda nih, kita harus bisa mewacanakan alternatif untuk bersuara. Bersuara kan gak melulu untuk turun ke jalan, demo kemudian teriak-teriak. Kalian bersuara di gadget kalian sendiri juga bisa. Anak muda zaman sekarang kan pasti punya media sosial. Nah, silakan suarakan hak-hak kalian di sana.” Ujar Heri.

Lebih lanjut, masalah yang dihadirkan oleh UU Cipta Kerja ini seharusnya menjadi jalan bagi seluruh elemen yang memperjuangkan hak-hak yang tertindas oleh UU tersebut. Semangat yang hadir ini adalah sebuah pecutan moral untuk mulai bersuara tanpa mengindahkan perbedaan yang ada, baik dalam bentuk perjuangan maupun ideologi yang dianut.

Amel (21) sebagai moderator sekaligus pihak dari Solar Generation yang memandu jalannya acara ini memberikan pengharapan atas telah terlaksananya acara tersebut, “Kalau dari aku sih ya, ingin sekali menyadarkan orang-orang atas urgensi apa yang kita dapat dari pengesahan omnibus law ini. Baik dari segi lingkungan maupun sosial, setelah itu maunya audiens itu memulai gerakannya dalam bentuk apapun untuk membawa perubahan.”

Dalam sebuah usaha untuk menuju perubahan memang diperlukan dua sisi, yakni aksi nyata dalam berbagai bentuk pergerakan serta yang tidak kalah penting adalah bagaimana cara mengisi keilmuan atas apa yang sebenarnya kita permasalahkan. Supaya tidak timpang antara aksi dan ilmu, karena jika hanya memenuhi salah satu diantaranya saja tentu tidak memiliki esensi yang tepat untuk melakukan perlawanan yang berarti. Seperti yang dilakukan Suar Nusantara dalam penyelengaraan diskusi ini membuat sebuah aksi nyata nampak berarti bagi khalayak luas.

Editor: Dimas Rachmatsyah