Ciptakan Reformasi Sebenarnya Tanpa Manipulasi


Oleh: Gebriel Rahma Putri.

Tepat pada 21 Mei 1998, masyarakat Indonesia dapat bernafas lega; Soeharto sebagai presiden kala itu mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pemimpin Negara. Gemuruh sorak kemenangan pun dikumandangkan rakyat Indonesia–apa yang menjadi harapan masyarakat untuk menjalankan kehidupan yang lebih layak dan merdeka sudah di depan mata. Namun, pada usia Reformasi  yang telah  menginjak usia ke-21 tahun ini mengalami kemunduran. Masyarakat dihadapkan dengan tumpukan persoalan dengan terancamnya hak untuk berdemokrasi.

Sebelum  reformasi, banyak kejadian-kejadian yang membuat masyarakat berada dalam kecemasan. Namun, pada awal masa  reformasi (1998- 2001) mulai terlihat sedikit terang dalam sistem di negeri ini. Mulai adanya keterbukaan ruang untuk berdemokrasi–berkumpul, berorganisasi, berpendapat, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan demokrasi secara kelembagaan maupun prosuderal–yang diinginkan oleh masyarakat.

Akan tetapi, di dua dekade lebih usia reformasi ini, sistem demokratis dirasa semakin mengalami kemerosotan. Banyak keluhan yang disampaikan oleh masyarakat untuk menuntut kehidupan sejahtera yang belum bisa dirasakan. Secara nyata kebebasan berkumpul dan berpendapat rakyat telah direnggut oleh penguasa yang memiliki andil dalam pemerintahan secara terang terangan. Pemberangusan buku, pembubaran diskusi-diskusi, kriminilisasi aktivis, bahkan tindakan main hakim sendiri oleh aparat di  luar proses hukum marak terjadi akhir-akhir ini.

“Runcing ke bawah tumpul ke atas”  

Kalimat klise yang entah sudah berapa ribu kali kita dengar ini benar-benar menggambarkan hukum yang ada di negara kita saat ini. Segelintir kalangan bisa dengan mudahnya terjerat lalu terbebas dengan hukum begitu saja. Kini, ruang masyarakat untuk berdemokrasi semakin sempit. Keadilan milik siapa saja sepertinya hanya sebuah slogan tanpa ada bentuk realisasinya. Banyak regulasi hukum yang mempersempit ruang demokrasi melalui “pasal-pasal karet” di dalam undang-undang dengan tolak ukur yang tidak jelas.


Editor: Ade Rosman.