Dari Budi Utomo, Cikal Bakal Hari Kebangkitan Nasional
illustrasi: M Abdi.
“Robek-robeklah badanku, potong-potonglah jasad ini, tetapi jiwaku dilindungi banteng merah putih. Akan tetap hidup, tetap menuntun bela, siapapun lawan yang aku hadapi” – Jendral Sudirman.
Tidak terasa sudah 111 tahun sejak didirikan sebuah organisasi bernama Budi Utomo yang menjadi cikal bakal diperingatinya Hari Kebangkitan Nasional. Organsasi yang dinaungi oleh Dr. Soetomo dan dibantu oleh para mahasiswa STOVIA ini berdiri pada 20 Mei 1908, menandai awal perjuangan para pemuda Indonesia untuk menjadi negara yang bebas dari belenggu penjajahan.
Sedikit membahas sejarah berdirinya Budi Utomo. Organisasi ini lahir atas kesadaran dari begitu pentingnya persatuan. Di tangan Dr. Sutomo, Wahidin Sudiro Husodo, dan lainnya, Budi Utomo berhasil menjadi organisasi penggerak rakyat yang menanamkan semangat nasionalisme.
Meski di awal berdirinya mengalami keterbatasan ruang gerak, Budi Utomo hanya bisa berjalan di bidang ekonomi, pendidikan, dan sosial budaya saja. Begitupun anggotanya hanya berada di lingkup para priyai suku Jawa dan Madura. Baru pada tahun 1915, Budi Utomo berani terjun di bidang politik, sejalan dengan berlangsungnya perang dunia pertama.
Pada saat itu pemerintah kolonial membentuk milisi Bumiputera, yang berisi warga pribumi dengan pelatihan wajib militer. Namun, dengan cepat Budi Utomo langsung bergerak dengan memberikan syarat pada pemerintah kolonial untuk membentuk Volksraad atau lembaga perwakilan rakyat, dan tanpa diduga, syarat itu diamini oleh pemerintah kolonial. Volksraad pun terbentuk pada tanggal 18 Mei 1918.
Di sini Budi Utomo menyadari pentingnya peran rakyat dalam sebuah organisasi. Sehingga dibuka penerimaan anggota secara bebas alias dibolehkan untuk masyarakat biasa. Dengan begitu, Budi Utomo semakin kuat dan mantap dalam mengusung serta menjalankan semangat nasionalisme. Tanpa ada sekat antara priyai maupun masyarakat biasa.
Lantas pada tahun 1948, dikutip dari Tribun Jatim, Presiden Sukarno menyelenggarakan perayaan Hari Kebangkitan Nasional dan menunjuk Ki Hajar Dewantara sebagai ketua penyelenggara. Presiden Sukarno saat itu menggali kembali sejarah, melihat bagaimana peran Budi Utomo yang berjuang menyadarkan masyarakat Indonesia tentang pentingnya semangat persatuan dan kesatuan. Karena pada zaman itu para pemuda masih berjuang dengan semangat kedaerahannya.
Namun jika ditelisik lebih jauh, ternyata bukan Presiden Sukarno yang pertama kali berucap bahwa tanggal 20 Mei adalah Hari Kebangkitan Nasional. Ada nama Suwardi Suryaningrat atau biasa dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara, beliau dalam masa pembuangannya di Belanda menulis sebuah artikel di Nederlandsch-Indie Oud & Niew terbitan tahun ketiga.
Di awal artikelnya, Suwardi menulis: “Tanpa ragu kini saya berani menyatakan bahwa tanggal 20 Mei adalah Hari Indisch-nationaal (Indisch-nationale dag)” atau dalam Bahasa Indonesia berarti Hari Kebangkitan Nasional–dikutip dari Tribun Jatim.
Ini hanya sebagai pengingat dan asupan sejarah yang sepertinya banyak dari kita sudah mulai memudarkan rasa kesatuan, persatuan, dan kebhinekaan. Dilihat dari keadaan masyarakat Indonesia seperti sekarang yang mudah tersulut isu-isu sensitif, perayaan Hari Kebangkitan Nasional ini kiranya harus menjadi momen yang tepat dalam mengingat pentingnya persatuan dan kesatuan tanpa melihat asal daerah, ras, agama, dan suku. Mempelajari kembali sejarah perjuangan para pendahulu yang telah berkorban jiwa dan raga demi kemerdekaan bangsa ini.
Kita tidak bisa menghindari perkembangan zaman, semisal meluasnya ranah media sosial, patutnya disambut dengan pikiran yang positif. Walaupun tidak bisa dipungkiri, sejalan dengan itu bermacam konten negatif ikut tersebar lebih cepat. Tapi, bukan berarti kita harus duduk manis membiarkan konten-konten negatif tumbuh subur, dimulai dengan pengenalan penggunaan internet dan lebih khususnya media sosial yang baik, semisal obrolan ringan di tongkrongan, saat kumpul keluarga, atau hal lainnya.
Jangan sampai gara-gara bebasnya berucap di internet, kita menjadi manusia yang arogan, merasa menang sendiri, dan tidak peduli dengan pendapat orang lain. Kembali pada fitrahnya kita sebagai bangsa yang kaya akan budaya, suku, ras, serta agama, mari kembali kaji diri untuk menjadi Indonesia yang damai, tentram dan layak huni bagi “manusia”.
Bukankan rasa mie dalam mangkuk akan hambar jika tidak ada tambahan bermacam bumbu rempah didalamnya? Nah maka dari itu, keragaman yang ada di negeri ini haruslah dijaga oleh kita semua tanpa terkecuali. Selamat Hari Kebangkitan Nasional!
Teks Oleh: M Abdi Octavian