Aktor Politik Lebih Leluasa Jadi Aktor Panggung Hiburan?
Gambar oleh: Nuansa Zahra Imani
Oleh: Nuansa Zahra Imani
Pagi hari terbangun oleh alarm dari handphone yang berada di samping kiri kepala. Terdiam sejenak sambil menatap langit-langit, seiringnya memaksimalkan pula bukaan kelopak mata. Lalu diambilnya handphone itu untuk mematikan bunyi alarm. Sambil mengumpulkan niat untuk bergegas, dibukanya beberapa platform yang tertanam di sana. Setelah menghabiskan beberapa scroll, ada satu judul yang menarik, yakni sebuah postingan Instagram Televisi (IGTV) dari akun Narasi Newsroom. Postingan itu diberi judul “Prabowo Muncul Bareng Corbuzier: Kenapa Tokoh Pilih Youtuber ketimbang Pers?”. Sambil melihat jam yang tertera di layar handphone bagian atas, masih ada sedikit waktu untuk berleha-leha dan menghabiskan satu video IGTV yang berdurasi 3 menit 58 detik tersebut.
Gagasan Prabowo di Channel Youtube Deddy
Video itu diawali dengan cuplikan seorang Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto yang bersedia buka suara di podcast salah satu youtuber yang akrab dengan tagline “Close The Door”, yakni Deddy Corbuzier. Sedikit lompat ke video di channel Deddy tersebut, kalau dilihat di sana Prabowo sangat leluasa berbicara ini itu mengenai persaingannya dengan Jokowi, hingga klarifikasi bersedia diangkatnya menjadi salah satu pion di jajaran kementrian Negara Republik Indonesia. Sekilas ada rasa kagum kepada Deddy Corbuzier, karena bisa mendatangkan secara langsung Prabowo yang dikenal irit bicara ke publik. Poin-poin pertanyaan yang dilontarkan Deddy pun sangat menarik, salah satunya mengenai kenaikan beliau menjadi Menteri, bisa dibilang itu pun pertanyaan sebagian besar rakyat Indonesia. Di situ Prabowo menjelaskan bak seorang yang memiliki rasa nasionalis tinggi, katanya beliau memilih berlapang dada senantiasa membangun Negara bersama Jokowi sang Presiden Indonesia yang tidak lain merupakan lawan kadidatnya di Pilpres lalu.
Mungkin beberapa rakyat Indonesia yang menjadi audiens pada video postingan Deddy merasa pertanyaannya selama ini sudah cukup terjawab, hingga kemudian termakan oleh argumen sang Menteri Pertahanan itu. Tapi sebagian besar lainnya tak merasa itu cukup, karena di situ Deddy tidak melontarkan pertanyaan yang “menyentil” untuk menghasilkan jawaban yang lebih jelas—kebenarannya. Apabila diserap lagi, pernyataan Prabowo itu lebih berbau citra diri dan jajaranya yang berusaha ia bangun sebagus mungkin di mata publik. Dari pernyataan itu mungkin Prabowo berharap publik mengangguk-anggukan kepala, tanda setuju dengannya. Tapi bukan berarti tak ada yang geleng-geleng ketika menonton tayangan video tersebut.
Tayangan Narasi Newsroom
Kembali lagi pada postingan IGTV dari Narasi Newsroom. Dalam tayangannya Narasi mengumpulkan beberapa fakta yang sedikit fun. Tidak hanya Prabowo, tokoh-tokoh lain yang dibilang besar dan sulit ditemui media, begitu lancar bersuara di platform yang berbasis “hiburan”. Mendengar kata “hiburan”, jadi sedikit berpikir, apakah sistem yang dijalankan oleh pion-pion Presiden itu lebih layak ditonton untuk “haha-hihi”? Terus bagaimana kabar-kabar keadilan yang ditunggu dan sedang diperjuangkan oleh banyak rakyat yang merasa terpinggirkan demi mencapai sebuah kemenangan untuk kesejahteraan hidup bernegara? Sedikitnya sih ada rasa miris jadi salah satu rakyat negara yang rancu akan sistem. Ditambah lagi, kemirisan itu sekarang didukung oleh beralihnya aktor politik yang menjelma menjadi aktor di panggung hiburan media sosial. Sekali lagi, kita hanya audiens yang cukup menontonnya dengan reaksi “haha-hihi” saja di depan layar digital.
Tapi coba lebih pahami lagi tayangan IGTV Narasi, di situ secara gamblang ada bahasan mengenai salah satu fungsi pers, yakni pers sebagai kontrol sosial. Benar kata Wisnu Prasetya Utomo, pengajar jurnalisme di Universitas Gadjah Mada, ia mengatakan bahwa saat ini aktor politik sudah menemukan zona nyaman dalam menyampaikan gagasan-gagasan politiknya, ide-idenya, yang tidak mudah disanggah. Tidak seperti halnya apabila berbicara di media konvensional yang menyertakan kekritisan jurnalisnya dalam memverifikasi secara langsung gagasannya untuk sebuah kejelasan—kebenarannya—bukan pembenarannya. Jadi dinilainya publik akan lebih mudah dikontrol oleh gimik-gimik yang sengaja, dibangun buah dari gerak peralihan itu demi kepentingan politis pribadi semata.
Seperti kita ketahui, Narasi selalu berani mengkritik hal yang dinilainya mengandung sebuah pergerakan senyap, namun diam-diam mengutamakan kepentingan politis masing-masing aktor politik. Jadi, sudah sewajarnya Narasi melakukan analisis mengenai peralihan alat politik, lalu merangkumnya, dan mengemasnya sedemikian rupa. Dalam kemasan Narasi pun disertakan pendapat dari Inaya Rakhmani, seorang Sosiolog Media dari Universitas Indonesia. Ia turut berpendapat peralihan itu digunakan sebagai alat untuk menggaet pemilih yang status sosialnya masih mengambang dalam berbagai proses politik elektoral. Ia pun menyertakan data, bahwa media sosial adalah tempat berkumpulnya swing voters, ada sekitar 20 – 30 persen dan khususnya diisi oleh generasi muda, milenial senja sampai milenial muda, termasuk juga zilenial—generasi Z.
Maka dari itu, sudah seharusnya juga kita sebagai audiens media sosial yang sangat luas itu, berhati-hati dalam mengkonsumsi pertunjukan-pertunjukan hiburan yang bisa jadi itu adalah buzzer pemerintah. Kita harus pintar memilah sebelum menelannya, agar kita tak menjadi audiens yang mengambang dan mudah digaet untuk kemudian menjadi salah satu pendukung sebuah sistem besar yang sangat rancu ini. Untuk saat ini, terlalu ruwet melihat realitas-realitas di dunia digital yang penuh akan konten-konten menghibur sekaligus bikin pusing, jadi cukup dengan “haha-hihi” saja memberi reaksinya.
Setelah durasi tayangan itu habis, kembali melihat jam yang menunjukan sudah waktunya bergegas untuk secara terpaksa menikmati rutinitas monoton yang masih di bawah kendali sistem rancu, dan berharap itu tidak akan jadi sebuah sistem neraka keterpaksaan nantinya. Dikuncinyalah layar handphone tersebut, dan mulai bergegas menghadapi kalutnya realitas hidup bernegara seperti hari-hari sebelumnya.
Editor: Jufadli Rachmad