Peringatan May Day Dihimpit Omnibus Law dan Pandemi

Pict source: Refika N.


1 mei selalu menjadi hari besar dan bersejarah bagi para pekerja, yang kita kenal dan sebut sebagai may day. Bukan menjadi hal yang sepele, dari peringatan yang selalu dilakukan dengan turun ke jalan, para pekerja berserikat dengan membawa satu suara, memperjuangan hak kemanusiaan. Dari mulai mendapatkan hak untuk jam kerja yang layak yaitu 8 jam per hari, hak cuti, hak penerimaan upah yang sesuai standar hingga hak kesetaraan antara pekerja wanita dan pria.

Tapi hak-hak kesejahteraan buruh ini selalu terhimpit oleh berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah guna mensejahterakan para pengusaha dan investor dengan dalih “penumbuhan ekonomi Negara dan memberantas pengangguran”.

Pada Februari 2020 lalu, publik digegerkan oleh perancangan Omnibus Law yang menyatukan berbagai macam Undang-Undang dan “meringkas” banyak pasal menjadi lebih sederhana untuk menjadikan regulasi itu lebih fleksibel. Salah satu undang-undang yang termasuk di dalamnya adalah Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Pembahasan RUU Cipta Kerja ini rasanya tepat untuk kita sangkutkan dengan peringatan hari buruh.

Dilansir dari laman tempo.co, ada lima aturan dari omnibus law cipta kerja ini yang merugikan pekerja. Pertama, soal upah minimum kota atau kabupaten terancam hilang. Kedua, besaran pesangon pemutusan hubungan kerja (PHK) berkurang. Ketiga, hapus cuti haid bagi perempuan. Keempat, nasib pekerja outsourcing semakin tidak jelas. Terakhir, tentang pekerja bisa dikontrak seumur hidup.

Serikat buruh telah melakukan berbagai macam protes dan mengawal DPR dalam perancangannya. Tapi di tengah pengawalan ini aksi mereka harus terhenti karena penyebaran wabah COVID-19 yang terus meluas dengan cepat, sehingga memaksa setiap orang untuk berdiam diri di rumah. Tapi ternyata tagar #dirumahaja tidak berlaku untuk para pengisi kursi parlemen di gedung DPR, karena di tengah pendemi pembahasan soal pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini terus berlangsung, rasanya seperti memanfaatkan bencana demi mencapai sebuah tujuan yang lagi-lagi menguntungkan sebelah pihak.

Mengapa wakil rakyat itu seperti terburu-buru untuk mengetuk palu dan menyegel draft RUU Omnibus Law dengan tanda tangan berbagai pihak yang menyetujui. Apa yang sebenarnya dicari dengan berlari terburu-buru menuju garis finish?

Karena kekhawatiran para pekerja tentang gerak cepat pemerintah dalam mengesahkan RUU Omnibus Law membuat mereka beberapa waktu lalu tetap nekat menyelenggarakan aksi di tengah pandemi ini. Mereka mengenyampingkan bahaya dari penyebaran wabah untuk mendapatkan keadilan dan kesejahteraan dalam bekerja.

Bukan bermaksud mengesampingkan segala anjuran kesehatan, melihat urgensi dari tuntuntan yang dilayangkan memang logis. Rencana ini membuahkan ‘penundaan’ pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Mereka membela hak para pekerja yang dampaknya akan terasa panjang. Bukan hanya untuk para pegawai, tetapi juga hak para calon pekerja nantinya.



Teks Oleh: Refika Noorkesuma.