Agus Badeng: Tari Adalah Kehidupan

Sebuah pepatah mengatakan ‘buah tak akan pernah jatuh jauh dari pohonnya’, jika diartikan, berarti sifat seorang anak tidak akan jauh berbeda dengan Ayah atau Ibunya. Kiranya pepatah tersebut pantas disematkan bagi Daud Agus Susnandar (36), seorang penari jaipong pria asal Banjaran yang mempunyai minat yang sama dengan kedua orangtuanya.

Dilahirkan dalam keluarga yang berlatarbelakang penari membuat pria yang mempunyai nama panggung Agus Badeng ini mengikuti jejak langkah keduanya. Ayah dan Ibu Agus merupakan mantan penari jaipongan, lingkungannya tersebut berdampak pada kesehariannya yang terbiasa dengan pentas-pentas tari terutama tari jaipong.

“Bisa dikatakan ada semacam genetik atau keturunan. Cuma bedanya kalo orang tua saya itu dua-duanya otodidak, mungkin kalo saya alhamdulilah bisa menari itu selain dari otodidak keluarga juga disertai dengan akademisi”, ujarnya ketika ditemui Media KMJ hari Jum’at (04/03) lalu di Padepokan Seni Mayang Sunda Jl. Peta No. 209 Bandung seusai pentas bertajuk “Baksya Candradimuka”.

Agus mulai menari jaipong sejak umur 6 tahun. Beranjak remaja ia melanjutkan tingkat pendidikan ke Sekolah Menengah Karawitan Indonesia pada tahun 1996 dengan mengambil jurusan Seni Tari. Tiga tahun menamatkan pendidikan kejuruannya, Agus kembali melanjutkan pendidikan seni tarinya dengan memasuki Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) yang kini sudah berganti nama menjadi Institus Seni Budaya Indonesia (ISBI).

Dalam setiap pementasan, pria yang lahir pada bulan Agustus 1980 ini selalu mencoba untuk menunjukkan totalitasnya. Karena ia yakin, setiap tarian atau gerakan yang ia curahkan di panggung, makna serta rasa dalam setiap gerakannya akan tersampaikan pada para audiens yang menyaksikan. Bahkan saking mengkahayati, di akhir pementasan “Maung Lugay” yang dipertontonkan di Padepokan Seni Mayang Sunda kemarin Agus menitikan air matanya.

Ia bercerita hal tersebut terjadi mungkin karena terlalu larut dengan syair yang ia tampilkan. Dalam penampilan tersebut menceritakan mengenai seorang manusia unggul, karena maung di sini bukan berarti harimau, tetapi merupakan akronim dari manusia unggul. “Ketika tadi saya menari, saya sudah tidak memikirkan teknik gerak seperti apa. Saya tidak memikirkan pola gerak seperti apa. Yang saya pikirkan adalah ungkapan rasa hati, apa yang ada dalam hati kita ya ungkapkan!” tegasnya.

Berkat totalitasnya tersebut, pada tahun 2013 lalu ia membawa tari jaipong ke pentas festival tari dunia yang diadakan oleh UNESCO di Tiongkok, China. Dari 97 negara yang ikut serta dalam festival tersebut ia mewakilai Negara Indonesia, Agus mendapatkan predikat sebagai best performance. Akibat keberhasilannya, pada tahun 2014 ia menjadi guru besar tari jaipong di Hanoi, Vietnam.

Di Vietnam ia ditunjuk dan dipercaya melatih para mahasiswa tari di sana untuk berjaipong. Setelah program pelatihannya berhasil, para mahasiswa tersebut menunjukkan kepiawaiannya di depan delegasi-delegasi negara seperti negara Australia, China, juga Indonesia. Selain itu, ia juga pernah mementaskan Jaipong di negeri kangguru, Australia, tepatnya di kota Melbourne, juga di Bangkok, Thailand pada tahun 2010.

Lalu ia berpendapat, kini sudah banyak tarian-tarian tradisional yang sudah punah. Ini dikarenakan masyarakat yang kurang mendukung dalam dunia pertarian dan peran pemerintah pun ia anggap penting.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *