Toxic Morality Disorder
Gambar Ilustrasi: Bikry Praditya.
Oleh: Bikry Praditya.
Bagaimana kita menakar moralitas? Apa wujud utuh dari moralitas? Kenapa kita hidup di sebuah bangsa yang begitu tergila-gila akan moralitas?
Secara sederhana, moralitas adalah hal-hal yang berkaitan dengan baik atau buruknya suatu perilaku. Immanuel Kant mengatakan, “moralitas adalah kesesuaian sikap dan perbuatan kita dengan norma hukum batiniah.” Sedangkan Nietzsche mengatakan, “moralitas hanyalah suatu interpretasi atas fenomena-fenomena tertentu.” Lantas, definisi manakah yang paling tepat untuk menggambarkan kepribadian orang yang senang sekali mengumbar agungnya moralitas yang dimilikinya, serta menilai buruk perbuatan orang lain yang berbeda dengannya?
Saya percaya bahwa setiap manusia terlahir dengan berbagai takaran moralitas yang berbeda, yang kemudian mencair mengikuti tumbuh kembang lingkungan serta ajarannya. Lalu bagaimanakah kita menakar moralitas? Mengingat perihal benar dan salah adalah persepsi muka bumi, alias persepsi manusia.
Jika dijawab dengan keilmuan yang jelas bukan (atau mungkin belum) bidang saya, tentu akan banyak sekali kutipan tokoh-tokoh dari berbagai macam negara. Namun dengan segala keterbatasan saya, ditambah rasa muak dengan para kaum moral grandstanding. Saya merasa bahwa di lingkungan kita ada banyak sekali manusia seperti ini, yang mengobral segala dogma moralitas hanya untuk menegaskan status sosial mereka.
Bagi mereka, moralitas adalah suatu hal yang adiluhung serta merupakan senjata ampuh untuk “mematikan” perbedaan yang nampak. Tak sedikit dari kalian yang terkena marah karena tidak sengaja berbuat salah di hadapan mereka. Misal, ketika kalian lupa menyebutkan predikat (pak, bu, kang, mas, sist, coy, bro, kerabat) sebelum nama seseorang, lalu orang tersebut menanggapi secara serius bahwa yang anda lakukan adalah sebuah kesalahan yang dapat di klasifikasikan menjadi sebuah dosa. Belum lagi caranya yang terkadang menyebalkan bagi pancaindra, tentu membuat kalian lama-kelamaan pun akan sama muaknya seperti saya.
Sebetulnya dalam berkehidupan, hal-hal yang sifatnya “bermoral” memang sangat diperlukan, dan harus dijalankan. Mengingat kita hidup dalam sebuah masyarakat yang begitu normatif, maka tak aneh jika kita hidup dengan berbagai macam etika normatif lainnya. Tapi kembali lagi, permasalahan ada pada orang-orang yang begitu mengagungkan moralitas tersebut.
Agaknya, saya setuju dengan Nietzche yang menganggap moralitas sebagai interpretasi dari fenomena. Contoh, beberapa waktu lalu di Indonesia, sempat ramai ucapan belasungkawa juga solidaritas bagi George Floyd, dan mengomentari sang pelaku dengan perspektif moral. Perlu diingat, tahun 2016, Obby Kogoya disiksa oleh polisi di depan Asrama Mahasiswa Kamasan, Yogyakarta. Foto yang beredar menunjukan beliau diinjak kepalanya oleh aparat berpakaian preman, sekilas nampak serupa dengan foto maupun video yang beredar tentang George Floyd, tapi tak sama hype-nya, sehingga foto tersebut seolah luput dari pengamatan publik. Jadi, apakah moralitas diukur dari seberapa ramai sebuah kasus? Hingga dengan mengomentarinya dapat meningkatkan kepercayaan dalam status sosial?
Belum lagi, yang baru-baru terjadi adalah video ‘pacaran’ seorang public figure yang menjadi ramai di media sosial karena tindakannya dianggap jauh dari norma dan tentunya amoral. Banyak yang mengomentari dari perspektif moralitas juga jelas keagamaan, tapi tak sedikit juga yang lupa menghapus riwayat pencarian browser tengah malam, yang membuat pagi begitu bising kala melantunkan desahnya dalam diam. Sehingga sebetulnya mereka mengomentari apa yang sebetulnya mereka sukai di kesendirian, tapi dengan berbagai alasan, moralitas dijadikan pelarian.
Nyatanya, kebiasaan obral moral secara sompral malah menuntun pada kebiasaan standar ganda. Mereka, yang biasanya dilabeli sebagai “polisi moral” bertugas untuk meluruskan tatanan norma yang ada. Tapi sayangnya, mereka lupa mengevaluasi diri untuk tidak terjerumus dalam keburukan yang mereka lakukan dengan kebiasaannya itu. Mungkin karena mereka terlalu sibuk memarahi orang yang tak sesuai dengan kehendak mereka.
Entah apa yang dicita-citakan oleh kaum “sok” moralis itu, yang pandai sekali menyalahkan perilaku orang lain atas dasar pemahaman moralitas adiluhung yang mereka miliki itu. Tak lupa persekusi dan sumpah serapah yang menjelma ibadah jadi rutinitasnya. Bila dibiarkan terus menerus, hal tersebut tentu akan menjadi sebuah kebiasaan baru ketika moralitas bukan lagi jadi sebuah fenomena, tapi jadi sebuah perlombaan demi mencapai pengakuan terbaik di lingkup sosial. Mereka lupa, bahwa sebebas-bebasnya manusia pun tetap memiliki batasan. Yaitu hak asasi orang lain.
Pada dasarnya, kita hidup beririsan dengan berbagai aturan dan tatanan normatif yang sebisa mungkin kita patuhi agar tidak terjadi konflik horizontal. Namun tak jarang terjadi, kaum “sok” moralis itu juga menyerang selera kita dalam berbagai hal, entah pakaian, gaya rambut, atau bahkan cara mengunyah dengan perspektif moral yang kadang kurang tepat atau terkesan memaksakan. Setidaknya hal itu pun berlaku bagi kaum−yang “sulit” patuh−untuk menyesuaikan diri dan tidak juga memaksakan kehendaknya pada semua orang. Setidaknya janganlah kita mengoreksi benar-salah, baik-buruk seseorang secara moral dihadapan banyak orang lain, yang kesannya malah menjerumuskan mereka pada titik terendah dan seolah menempatkan diri kita pada status yang lebih baik atau lebih suci.
Mari kita lihat media sosial, linimasa dipenuhi oleh busa dogma, mereka yang sengaja menjadikan moral sebagai berhala, menempatkan lebih tinggi dari akal sehat, jiwa yang tak terawat sesaki batin penuh muslihat. Mereka yang terbiasa, masturbasi moral penuh gestur sompral, suci diri lahirkan bait-bait standar ganda, hingga menempatkan kalian bersalah tanpa sempat tanya kenapa.
Betapa sulitnya hidup di sebuah bangsa yang terlena entah akan apa. Kita di didik untuk menjadi manusia bermoral tapi lupa ditekankan bahwa kita pun harus berusaha menerima perbedaan, setidaknya menasihati dengan baik, bukan mengintimidasi, legitimasi, atau bahkan persekusi.
Kedepannya, kita semua harus pandai-pandai menyesuaikan diri dengan lingkungan. Tak ada yang paling benar, dan setiap kesalahan harus di nasihati dengan nalar, mengoreksi adalah hal wajar, asalkan tidak menyakiti, juga mempersekusi. Karena sejatinya, siapapun itu dapat bebas berekspresi, meskipun yang ia lakukan adalah kontradiksi.
Editor: Jufadli Rachmad.