Back to Back kemenangan Persib : Ketika euforia itu menular

Kemeriahan perayaan kemenangan Persib di Taman Segitiga Patung Toga Unisbapada Sabtu (24/5). (Foto: Gilang Rahadian/Kmjurnalistik)

Oleh: Gilang Rahadian

Tulisan ini bukan ditulis oleh seseorang yang paham akan dunia sepak bola, sekalipun klub sepak bola dari kota asal dia lahir dan tumbuh besar dengan lingkungan yang mayoritasnya paham betul akan dunia sepak bola, terutama Persib itu sendiri. Ya, itu saya sendiri, sang penulis dari tulisan ini. Saya tak hafal siapa pelatih mereka, siapa pemain terbaik mereka, atau formasi yang mereka pakai. Saya bahkan harus berpikir sejenak untuk memikirkan jawaban jika seseorang bertanya kepada saya siapa kapten mereka sekarang, atau bahkan saya hanya bisa diam tidak berkutik dengan senyum kebingungan. Saya tidak hafal siapa pemain andalan Persib musim ini, bahkan saya masih bingung membedakan antara Liga 1 dan Liga 2. Dalam perbincangan tentang sepak bola, saya hanya duduk diam, menyimak, lalu mengangguk perlahan sambil berharap topiknya segera berganti. Di kala orang-orang sekitar saya sedang ribut membahas pertandingan, saya hanya menyimak sambil angguk-angguk, pura-pura paham padahal sebenarnya tidak.

Ada yang menarik ketika saya mendengar sebuah klub sepak bola menjuarai secara berturut-turut, terutama di sebuah kota yang secara kultural sangat terikat dengan klub tersebut. Saya menyaksikan dengan bola mata saya sendiri, jalanan seketika berubah menjadi kobaran api yang sangat membara. Bendera biru putih berkibar di setiap sudut kota, klakson dan suara knalpot saling bersahut-sahutan, dan bahkan orang-orang yang tidak saling mengenal pun saling menyapa dan membuka senyum lebarnya, seakan-akan seperti saudara dekat yang sudah lama sekali tidak berjumpa hanya karena mengenakan jersey yang sama. Kemenangan itu datang seperti badai gembira. Saya tak menyangka bisa terseret sedalam ini dalam perasaan yang saya rasa bukan bagian dari saya. Tapi ada sesuatu yang tidak bisa dihindari ketika seluruh kota mendadak bersatu dalam satu emosi, yaitu kegembiraan.

Sepak bola, rupanya, bukan hanya soal 11 lawan 11 di atas lapangan. Di kota ini, ia adalah denyut nadi yang hidup dalam percakapan sehari-hari. Ia mengalir dari bibir tukang cilok ke telinga anak-anak kecil yang menggenggam bendera biru. Ia memantul dari kaca etalase warung-warung yang memajang poster kemenangan mendadak ke mata orang tua yang berjalan dengan lebih ringan hari itu. Saya yang terbiasa cuek, pada akhirnya terhanyut juga.

Namun entah mengapa, ada yang membuat saya tidak ingin sekadar menjadi penonton dari kejauhan. Mungkin karena atmosfer kota ini begitu kuat, atau mungkin karena saya penasaran dengan rasa bangga orang-orang di dekat saya yang begitu menggebu-gebu. Mulai saat itu, saya memutuskan untuk menyaksikan pertandingan Persib dengan beberapa teman saya yang mengerti dan bahkan mengikuti Persib ini sedari mereka kecil dan tumbuh besar ditemani dengan klub tersebut. Waktu telah usai, peluit panjang berbunyi dari tiupan seorang wasit dan Persib resmi mengangkat trofi untuk keempat kalinya. Sebuah senyum dan rasa bangga yang lahir bukan karena saya peduli soal trofi, bukan juga soal Persib yang menjuarai secara berturut-turut, bukan hanya skornya, bukan pula karena saya mendadak berubah haluan dan seketika menjadi penggemar Persib. Tapi karena saya merasakan betul dan paham bagaimana momen kemenangan itu bisa menciptakan sebuah perasaan kolektif, dan merasakan betapa pentingnya momen haru ini bagi banyak orang di sekitar saya—suatu bentuk kegembiraan bersama yang sangat langka di tengah kehidupan kota ini yang cenderung individualistis dan menaklukkan egonya masing-masing.

Pengalaman itu membuat saya berpikir, ini bukan soal bola saja, namun ada rasa yang harus dijaga. Mungkin orang-orang tidak hanya mencintai Persib karena hasil pertandingan atau ketika Persib mengangkat tinggi trofi atas kemenangannya. Tapi karena klub ini menjadi simbol yang menyatukan keharmonisan. Sebuah identitas kolektif yang melampaui soal menang dan kalah. Dalam momen seperti ini, tak ada yang bertanya kamu kerja di mana, berasal dari suku apa, atau tim bola mana yang kamu dukung. Yang penting, kamu ada di sini, kamu ikut senang, dan itu cukup. Sangat cukup untuk modal awal mengikuti perayaan kemenangan Persib—atau bahkan ini bukan hanya suatu kemenangan yang dianggap biasa saja bagi semua bobotoh, atau bahkan orang yang tidak mengerti sekalipun.

Tentang perasaan bangga dan haru. Tak lupa juga momen yang sangat membuat kita semua tertawa sembari memikirkan “kenapa kita ketawa?”, melepaskan perasaan katarsis yang sampai detik ini pun saya tidak akan pernah melupakan momen ini. Seekor kucing, entah dari mana, tiba-tiba nyelonong begitu saja di tengah keramaian dan hangatnya suasana kota atau bahkan bukan hanya hangat, tapi panas membara yang membuat tubuh kita menjadi lemas tetapi dengan perasaan yang sangat puas. Kucing itu berlari sembari mengenakan kain biru di lehernya dengan simpul mati, seolah-olah persaudaraan ini tidak akan pernah terputus hingga akhir hayat. “Anying, éta bobotoh ogé, euy.” “Éta mah ucing, lain anying.” “Rék jalma ato lain gé, nu penting mah rayakan,” balas seorang suporter dengan tawanya.

Seekor kucing itu mungkin terlihat bertanya-tanya di benaknya sendiri, “Mengapa orang-orang ini sangat amat antusias dengan keramaian yang sangat membara?” Semua orang bersorak, dan tak disangka-sangka, ternyata kucing itu merasakan dan menjawab pertanyaan yang muncul dari benaknya sendiri.

Malam itu, saya menyempatkan diri untuk melewati Flyover Pasupati. Biasanya, saya hanya melintasinya terburu-buru sambil memikirkan tugas-tugas dan jadwal kuliah saya. Tapi malam itu berbeda. Langit gelap ditemani dengan penuh cahaya. Hujan turun rintik, namun tidak menghentikan langkah siapa pun. Orang-orang berkerumun, bukan untuk protes, melainkan untuk merayakan.

Jalan layang Pasupati menjadi tempat untuk merayakan kemenangan yang dinanti ini. Semua orang berlari tanpa rasa ragu dan menyanyikan chant Persib dengan mengeluarkan setengah raganya. Tangis haru, bangga, dan kembang api menyatu dalam atmosfer yang sukar dilukiskan dengan kata. Saat itu, saya tidak melihat perbedaan status sosial, usia, bahkan preferensi politik. Semua menyatu dalam satu semangat. Saya hanya ikut bersorak tanpa hafal lirik dari chant yang dinyanyikan oleh semua orang. Yang saya rasakan bukanlah soal hafal lirik atau tidak, bahkan saya tidak peduli akan hal itu, melainkan saat semua orang mengeluarkan setengah raganya untuk menyanyikan chant Persib. Bukan hanya euforia, bukan hanya mengeluarkan setengah raga, melainkan seperti ada sosok raga yang menarik saya untuk masuk ke dalam ikatan batin mereka. Keberhasilan mereka di lapangan memberi semacam pelampiasan atas keresahan sosial yang sering tidak tersalurkan dalam ruang lain. Ketika Persib menang, rasa percaya diri kota ini seolah bangkit kembali.

Yang saya tidak mengerti adalah mengapa orang-orang merayakan kemenangan Persib ini secara terus menerus dari beberapa pekan ke belakang. Dikutip dari CNN Indonesia: Persib dipastikan menjadi juara Liga 1 2024/2025 setelah Persebaya Surabaya bermain imbang dengan Persik Kediri dalam pertandingan yang berlangsung Senin (5/5) sore. Liga 1 ini menggunakan sistem poin yang saya pun tidak mengerti. Mungkin itu sebabnya para bobotoh sudah memastikan bahwa Persib lah yang pasti akan membuat orang-orang merayakan dengan sangat antusias dari berbagai sudut kota.

Ternyata setelah saya melihat seseorang menyalakan flare, orang itu bukan lagi menjadi seseorang yang hanya memegang panasnya flare di tangannya, melainkan menjadi satu kesatuan yang dikerumuni oleh banyak orang juga. Hangat, seperti dalam pelukan solidaritas yang tak hanya ada di angan-angannya saja. Apa yang saya lihat malam itu bukan sekadar pawai kemenangan. Ia adalah pemandangan tentang betapa kuatnya rasa memiliki terhadap sesuatu yang abstrak: sebuah tim, sebuah identitas kota, sebuah sejarah bersama. Orang-orang tidak hanya merayakan gol, tapi juga memori. Mereka merayakan benih yang tertanam di dalam hati sedari kecil—ayah yang mengajak ke stadion, obrolan lama di warung kopi, dan rasa bangga karena jadi bagian dari “urang Bandung.”

Saya sempat membuka berita dan membaca sedikit tentang sejarah Persib di laman persib.co.id. Ternyata mereka bukan hanya klub tua, tapi juga bagian dari identitas Bandung. Klub ini bukan hanya milik pemain dan manajemen, tapi milik semua yang merasa Bandung adalah rumah. Wajar jika kemenangan ini terasa begitu personal bagi warga kota ini. Persib, bagi banyak orang, adalah simbol perjuangan, kebanggaan, dan ini yang paling saya pahami—harapan.

Mungkin inilah kenapa saya ikut merinding dan merasakan apa yang para bobotoh rasakan dengan mengeluarkan setengah raganya malam itu. Karena saya tahu, di balik semua nyanyian dan sorakan itu, ada sesuatu yang jauh lebih penting yang sedang terjadi: kota ini sedang merayakan dirinya sendiri. Bandung sedang mengatakan pada dunia, “Kami bisa.” Dan saya, meskipun tidak paham siapa lawan Persib ke depannya, bisa mengerti makna kalimat itu.

Sepak bola, pada akhirnya, bukan hanya tentang siapa yang lebih hebat. Ia adalah ruang emosi bersama. Kadang ia jadi tempat pelampiasan, kadang jadi tempat perayaan. Dalam kemenangan Persib ini, saya menyaksikan bagaimana olahraga bisa menjadi jembatan menyatukan orang yang berbeda pandangan, usia, bahkan latar belakang ekonomi, dalam satu kebahagiaan yang sederhana.

Akhirnya saya sadar, kita tidak perlu paham sepak bola untuk mengerti mengapa kemenangan ini sangat penting dan dinanti-nanti. Kadang, cukup dengan melihat bagaimana orang-orang bersatu, bagaimana wajah-wajah berseri di tengah hujan dengan air mata bangga, dan merasakan euforia seakan-akan dirangkul dengan penuh kebahagiaan.

Jadi, meski saya tak tahu posisi Persib di klasemen awal musim, malam itu saya belajar satu hal: sepak bola, setidaknya di Bandung, adalah bahasa yang menyatukan. Dan dalam bahasa itu, siapa pun bisa ikut merasa, meski tak selalu mengerti.

Selamat, Persib. Terima kasih telah memberi alasan bagi sebuah kota untuk bersatu dan bagi orang seperti saya, untuk ikut percaya.

Editor: Dzikrie Tyasmadha

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *