Kisah Riyanto, Pengorbanan dan Toleransinya di Malam Natal
Foto: (VOA/Petrus Riski)
Oleh: Faisal Firdaus
Malam Natal selalu membawa kehangatan dan kedamaian bagi umat Kristiani di seluruh penjuru negeri. Namun, pada 24 Desember 2000, kedamaian itu terusik oleh teror bom yang mengguncang Gereja Sidang Jemaat Pentakosta di Mojokerto, Jawa Timur. Di tengah ancaman itu, seorang pemuda bernama Riyanto, anggota Barisan Serbaguna (Banser) Nahdlatul Ulama, mengorbankan dirinya demi menyelamatkan ratusan nyawa. Kisahnya menjadi bukti nyata keberanian dan solidaritas lintas agama.
Riyanto lahir pada 19 Oktober 1975 di Kediri, Jawa Timur. Kehidupannya sederhana; ia hanya sempat mengenyam pendidikan hingga kelas 1 SMP sebelum harus membantu keluarganya sebagai tulang punggung. Ia bekerja sebagai kuli timbang di Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (KOPTI) Maja Sejahtera. Meski berlatar belakang biasa, Riyanto memiliki jiwa yang luar biasa. Ia bergabung dengan Banser, sebuah organisasi yang identik dengan pengamanan tempat ibadah, dan kerap menunjukkan sikap menjaga kerukunan antarumat beragama.
Tahun 1999 menjadi masa sulit bagi Indonesia, ketika konflik agama pecah di Ambon. Gus Dur, Presiden RI saat itu, menginstruksikan Banser untuk menjaga gereja-gereja di seluruh Indonesia sebagai bentuk solidaritas dan upaya meredakan ketegangan. Riyanto, bersama rekan-rekannya, menjalankan tugas itu di Gereja Sidang Jemaat Pentakosta Mojokerto.
Malam itu, suasana di gereja terasa khusyuk. Tak ada tanda-tanda tragedi berdarah ulah para teroris itu bakal mengguncang gereja yang dibangun tahun 1964 ini. Namun, sekitar pukul 21.00, laporan tentang bungkusan hitam mencurigakan mengubah segalanya. Riyanto bersama polisi dan rekan Banser lainnya segera mengecek bungkusan tersebut. Terletak di bawah telepon umum yang terletak di seberang jalan depan gereja, tepatnya di pojok kanan percetakan foto kilat Kartini. Setelah dicek, isi bungkusan itu berupa rangkaian kabel yang menyerupai bom. Riyanto sontak mengambil tindakan berani. Ia memutuskan untuk menjauhkan bom itu dari gereja demi melindungi para jemaat dengan memasukkannya ke dalam saluran air yang berada di tepi jalan lokasi tersebut.
Namun, takdir berkata lain. Saat Riyanto membawa bungkusan itu menjauh, bom tersebut meledak. Ledakan hebat mengoyak tubuhnya, membuatnya terpental hingga jatuh ke perkampungan di belakang gereja. Riyanto gugur di tempat, meninggalkan kenangan mendalam akan pengorbanannya.
Ledakan itu bukan hanya menghancurkan fisik Riyanto, tetapi juga mengguncang banyak hati. Para jemaat yang selamat berlari keluar gereja dan menemukan Riyanto telah tak bernyawa dengan seragam Banser masih melekat di tubuhnya. Teman sejawatnya, Amir Sugiyanto, yang juga sesama anggota Banser yang ikut berjaga pada hari itu, mengalami luka permanen di matanya akibat pecahan bom. Kesaksian Amir mengungkap bahwa bungkusan itu sudah mencurigakan sejak awal misa, namun baru dibuka setelah jemaat selesai beribadah.
Peristiwa di Mojokerto adalah bagian dari serangan terkoordinasi yang dilakukan oleh Jamaah Islamiyah pada Malam Natal tahun 2000. Sebanyak 15 bom diledakkan di 11 kota di Jawa dan Sumatra, menewaskan 20 orang dan melukai 120 lainnya. Aksi ini mereka klaim sebagai balas dendam atas apa yang dialami umat Muslim korban konflik Poso (1998–2001) dan Ambon (1999–2002). Dilansir Historia, total 20 orang tewas dan 120 orang terluka akibat rangkaian serangan bom tersebut.
Riyanto bukan hanya seorang anggota Banser; ia adalah simbol toleransi dan keberanian. Adiknya, Bintoro, mengenang Riyanto sebagai sosok yang rajin mengikuti pengajian, meski bukan santri. Ia kerap menghadiri pengajian Padhang mBulan yang diasuh oleh Emha Ainun Najib, menunjukkan minatnya yang besar pada ilmu agama.
Ketua GP Ansor Mojokerto, Ahmad Saifulloh, mengenang Riyanto sebagai pemuda pendiam namun penuh dedikasi. “Ia taat pada pimpinan dan lugas dalam menjalankan tugas,” ujarnya. Sementara itu, Penjabat Wali Kota Mojokerto, Ali Kuncoro, memuji semangat Riyanto yang mengedepankan toleransi. “Semangat yang dibawa Riyanto harus terus kita gelorakan demi Mojokerto yang damai dan rukun,” katanya pada Sabtu (27/2/2024) dikutip dari Gamamedia.
Setahun setelah tragedi itu, nama Riyanto diabadikan sebagai nama jalan di kampung halamannya, di Kecamatan Prajurit Kulon, Mojokerto, Jawa Timur. Pengorbanannya menjadi pengingat bahwa keberanian dan kemanusiaan tidak mengenal batas agama. Kisahnya terus menginspirasi banyak orang untuk bersikap menjaga persatuan dan kerukunan antar umat beragama.
Riyanto, seorang pemuda sederhana, telah mengukir namanya dalam sejarah sebagai pahlawan kemanusiaan. Pengorbanannya mengajarkan kita bahwa di tengah perbedaan, toleransi adalah jembatan menuju harmoni. Riyanto mungkin telah tiada, tetapi sikapnya akan terus hidup di hati mereka yang menghargai perdamaian.
Editor: Riko Alviano