19 Tahun Hari Buku Nasional, Budaya Literasi Indonesia Masih Saja Rendah?

Pict source: Fadli Firdaus.

Oleh: Fadli Firdaus.

Salah seorang budayawan pernah bilang, “Hidup yang berkaki kuat adalah hidup yang menyejarah. Namun bagaimana kita bisa tahu sejarah, jika kita tidak membaca? Hidup yang berkaki kuat adalah hidup yang tidak sempit dan berani menjelajah. Namun bagaimana kita tahu akan yang luas, dan inspirasi untuk penjelajahan, jika kita tidak membaca?” Begitu ucap Sindhunata. Petuah tersebut seolah menjadi tamparan bagi setiap orang yang ingin berproses dalam hidup namun tak pernah mau membaca.  

Mungkin kalian sudah tidak asing lagi dengan kalimat “buku adalah jendela dunia”. Kita hanya tinggal duduk manis, seraya membuka halaman demi halaman, dan bersiap untuk diantarkan melihat isi dunia melalui setiap kata yang dibaca. Kalimat tersebut kiranya sering dilontarkan oleh mereka yang menjadikan buku sebagai pedoman dalam upaya mencari kebenaran atau bahkan hanya sekadar menjadi media hiburan.

Lewat membaca buku, kita juga bisa merasakan banyak fantasi dalam setiap aksara yang diserap, dari mulai rasa kasih sayang, ketulusan, motivasi, dan yang paling penting adalah menambah wawasan serta sudut pandang baru dalam menghadapi kehidupan yang fana. Tidak dapat dipungkiri, buku telah menjadi bagian penting di tengah kehidupan manusia.

Oleh sebab itu, tidak terasa sudah 19 tahun Indonesia memperingati Hari Buku Nasional (Harbuknas) yang mulai ditetapkan pada tanggal 17 Mei 2002, dengan tujuan sebagai upaya peningkatan budaya literasi di kalangan masyarakat. Salah satu pencetusnya ialah Abdul Malik Fadjar yang pada saat itu (2002) mengemban amanah sebagai Menteri Pendidikan di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri. Tanggal ini dipilih karena tepat pada 17 Mei 1980 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia resmi berdiri.

Namun, meski sudah lebih dari satu dekade peringatan Harbuknas rutin dilaksanakan, cita-cita Indonesia dalam mendongkrak perbaikan budaya literasi dinilai masih harus terus ditingkatkan. Pada tahun 2016 lalu, Berdasarkan data Most Littered Nation In the World, studi untuk mencari tahu seberapa tinggi minat baca negara-negara di dunia yang dilakukan oleh Central Connecticut State University (CCSU), Indonesia tercatat menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Angka tersebut diukur dari seberapa seringnya perpustakaan-perpustakaan di suatu negara ramai dikunjungi oleh masyarakatnya itu sendiri. Hasilnya, kebiasaan masyarakat Indonesia untuk berkunjung ke perpustakaan dinilai sangat memprihatinkan.

Dalam berita yang dimuat oleh Tribunnews.com, pada Rapat koordinasi nasional bidang perpustakaan tahun 2021. Staf ahli Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Suhajar Diantoro, mengatakan, “Tingkat literasi Indonesia pada penelitian di 70 negara itu berada di nomor 62”. Data tersebut didapatkan dari survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019.

Sementara itu, dilansir dari laman kompas.com, Kepala Perpustakaan Nasional (Perpunas), Muhammad Syarif Bando mengungkapkan hasil Kajian Indeks Kegemaran Membaca yang dilakukan Perpusnas pada 2020 berdasarkan Frekuensi, durasi, dan jumlah buku yang dibaca. Dari 10.200 responden di 34 provinsi memberikan hasil minat baca Indonesia masuk dalam poin 55,74 atau sedang.

Karena literasi menjadi komponen penting yang menyangkut berbagai aspek kehidupan, maka angka-angka tersebut mungkin bisa dijadikan acuan atau malah dijadikan stigma bahwasanya Indonesia memiliki kelemahan serta butuh upaya lebih serius dalam persaingan Sumber Daya Manusia (SDM) di taraf Internasional.

Balik ke persoalan rendahnya tingkat masyarakat Indonesia untuk mengunjungi perpustakaan. Ada yang menganggap bahwa masyarakat kita kurang tertarik untuk mencari dan meminjam buku di perpustakaan, apalagi dalam kondisi pandemi seperti sekarang.

Tidak sedikit masyarakat yang cenderung memilih untuk membeli buku ketimbang meminjamnya di perpustakaan. Entah mengapa, hal tersebut menjadi kebiasaan unik di masyarakat, bisa jadi karena masyarakat kita banyak yang memiliki “uang lebih” serta mengeluarkan biaya untuk sebuah buku bukan persoalan yang besar, atau bisa jadi terlalu malas saja untuk pergi ke perpustakaan karena harus berhadapan dengan aturan-aturan juga prosedur peminjaman yang ketat.  

Pada tahun 2019, Republika.co.id mencatat sebanyak 2.850.000 orang mengunjungi Big Bad Wolf yang dihelat di berbagai kota di Indonesia, Big Bad Wolf merupakan salah satu perhelatan bazzar buku terbesar di Asia.

Hal tersebut menunjukan, ternyata banyak masyarakat Indonesia yang rela meluangkan waktu untuk mengantre demi memborong buku-buku yang dicari. Tapi membeli belum tentu membaca, proses melahirkan pemikiran-pemikiran baru yang terkandung di dalam suatu buku tak cukup hanya dengan mengoleksi buku tersebut. Membaca buku dan mengamalkan apa yang dibaca lebih penting dari sekadar memilikinya. Indonesia membutuhkan orang yang lebih dari sekadar mengkoleksi, tetapi besar pula harapan dengan membeli buku dapat menumbuhkan benih-benih minat membaca menjadi lebih rutin.

Namun bukan berarti kita harus berkecil hati, harapan demi harapan pun mulai bermunculan. Saat ini banyak kalangan muda yang tergerak untuk membangun perpustakaan “kecil-kecilan”, sekali pun dengan atau bahkan tanpa bantuan dari pemerintah.

Salah satu contohnya ialah fenomena perpustakaan jalanan yang mulai aktif bermunculan di berbagai daerah. Mereka sering menggelar buku, berdiskusi, serta melakukan pertujukan-pertunjukan baik sekadar puisi hingga orasi. Mengisi ruang-ruang kosong di jalanan hingga taman kota. Tidak hanya memberikan fasilitas membaca, mereka berbagi dan peduli dengan permasalah-permasalahan yang timbul disekitarnya.

Di Bandung Raya sendiri sedikitnya ada tiga perpustakaan jalanan, atau bisa dibilang perpustakaan komunitas, yang aktif memberikan suntikan literasi bagi masyarakat. Di antaranya adalah Perpustakaan Jalanan Bandung yang biasanya menggelar buku di sekitaran Taman Cikapayang Dago, lalu ada Perpustakaan Jalanan Banjaran yang biasanya hadir menggelar buku-buku mereka di sekitaran daerah Banjaran Kabupaten Bandung, dan di salah satu ujung Bandung Selatan ada Perpustakaan Alam Malabar yang dengan semangat mendirikan rumah literasi di wilayah Pacet, Ciparay, Kabupaten Bandung.

Tidak terlepas dari polemik ketimpangan sosial di negeri ini, akses perpustakaan yang disediakan pun dirasa terbatas, seolah menjadi sekat antara kalangan berpendidikan dan orang awam, padahal tidak sama sekali. Hal ini menjadi persoalaan, bisa dibilang tidak semua kalangan merasa leluasa untuk memasuki gedung perpustakaan yang disediakaan oleh pemerintah.

Munculnya gerakan-gerakan seperti perpustakaan komunitas yang rela terjun langsung ke daerah, mengupayakan agar buku-buku yang digelar dapat secara leluasa diakses oleh siapa pun tanpa embel-embel peraturan ini-itu. Upaya seperti itu dinilai sebagai alternatif positif dalam menggebrak perbaikan budaya literasi bagi semua kalangan masyarakat. Tanpa niatan untuk mencari keuntungan pribadi khususnya secara materi, besar harapan dari berbagai komunitas ini dalam meningkatkan minat baca di Indonesia.

Membaca menjadi aktifitas penting yang harus dibiasakan oleh masyarakat, pemikiran-pemikiran yang menimbulkan perubahan positif sangat diperlukan demi terciptanya kesejahteraan. Besar harapan pada momentum Hari Buku Nasional, dapat melahirkan semakin banyak orang yang peduli dengan literasi. Jangan lupa, di negeri kita tercinta ini, masih banyak kawan-kawan yang kurang beruntung karena tidak dapat mencicipi bangku pendidikan secara formal, seperti yang dikatakan oleh Widji Thukul “Kamu calon konglomerat ya? Kamu harus rajin belajar dan membaca, jangan ditelan sendiri. Berbagilah dengan teman-teman yang tak mendapat pendidikan.”




Editor: Jufadli Rachmad.