Romantika Aksi Massa dan Pengrusakan Properti Milik Negara

Pict source: Bikry Praditya.

Oleh: Bikry Praditya.

Aksi tolak RUU Cipta Kerja di berbagai daerah di Indonesia diwarnai kerusuhan. Pembakaran pos polisi, pengrusakan fasilitas umum; pot, lampu, halte, serta fasilitas lainnya, menjadi topik hangat di linimasa media sosial belakangan ini. Lantas, apakah hal tersebut lazim terjadi?

            Sebelum itu, mari kita pertanyakan alasan terjadinya pengrusakan-pengrusakan itu. Rasanya hal tersebut dapat ditanggapi dengan nalar sederhana, seperti misalnya, pengrusakan tersebut terjadi sebagai respon kepanikan massa aksi ketika mendengar berbagai dentuman, atau ketika berkonfrontasi dengan pihak aparat pengamanan. Dengan tidak berimbangnya kapasitas ruas jalan dengan jumlah massa aksi keseluruhan, ditambah rasa panik yang menghantui, lalu mereka berlarian kesana kemari, berusaha menyelamatkan diri sambil menghantam apa saja yang ada di hadapan mereka, bahkan mungkin sekalipun itu manusia. Alhasil, fasilitas umum sepanjang jalan pun rusak.

            Tapi jelas bukan hanya itu saja, pengrusakan bisa saja terjadi sebagai respon kemarahan massa aksi terhadap apa yang mereka protes. Ketika mereka protes dengan kebijakan pemerintah, maka bukan tidak mungkin sasarannya adalah properti milik negara. Lagipula, tidak semua melakukan hal tersebut tanpa alasan, sabotase atau aksi langsung memiliki dampak pada kerusakan fisik, hal ini bisa mempengaruhi siklus kapital dan psikologi pasar secara langsung.

            Itu berarti, dengan terjadinya pengrusakan atau kerusuhan di sebuah negara, akan berpengaruh juga terhadap ‘nilai jual’ negara tersebut di mata dunia (dalam konteks bisnis). Ketika negara sedang getir menghadapi segala prasangka dari luar, itulah kesempatan rakyat merebut kembali kekuasaan sebagaimana dicita-citakan dalam demokrasi. Selain itu juga, seharusnya negara menyoroti kemarahan rakyat tersebut berakar dari mana. Rasanya tidak mungkin amarah tersebut timbul tanpa sebab. Pemerintah haruslah peka terhadap keluh kesah dan amarah rakyat, karena besar harapan mereka dalam memandang negara yang akan semakin maju di esok hari.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Nils Christie, “Much deviance is expressive, a clumsy attempt to say something. Let the crime then become a starting point for a real dialogue, and not for an equally clumsy answer in the form of a spoonful pain.”

Pengrusakan, bahkan sampai pembakaran juga bisa jadi merupakan sebuah simbol untuk mengkomunikasikan apa yang mereka rasakan. Banyak penyimpangan yang sifatnya ekspresif, namun ceroboh. Jangan sampai kecerobohan tersebut dijawab oleh kecerobohan lainnya. Oleh karenanya, terlalu naif jika kita mengutuk pengrusakan tersebut tanpa berusaha mencari tahu alasan dibaliknya. Kejadian-kejadian itu semacam semiotika massa aksi dalam menyiasati keganjilan mereka dalam berkomunikasi dengan pihak yang mereka protes. Meskipun begitu, tetap saja pengrusakan tersebut tidak bisa serta merta dibalas dengan pengrusakan kembali oleh pihak berwenang.

Jika kita tarik garis waktu ke belakang, aksi massa (hampir) selalu beririsan dengan pengrusakan berbagai properti entah milik negara atau milik kapital. Bentuk sabotase (pengrusakan) itu pun beragam, tergantung pada medan pertempurannya. Suatu hari di Bandung, para buruh menanggapi pengesahan UU Ketenagakerjaan 2001 dengan melakukan pemogokan kerja, melempari pabrik serta gedung pemerintahan dengan batu, bahkan membakar mobil yang terparkir di sekitaran gedung. Pada aksi May Day 2008 di Jakarta, patung kardus di depan Wisma Bakrie dibakar oleh massa aksi, juga pada tahun 2018, sebuah pos polisi di Yogyakarta dibakar oleh massa aksi. Di Makasar, fasilitas umum, restoran cepat saji, bank, serta pos dan mobil polisi menjadi target pengrusakan oleh massa aksi dalam kurun waktu 2009 – 2011. Hal itu diperkuat dengan pesan anonim di tiap TKP pengrusakan. Salah satunya adalah pesan anonim yang begitu gahar di dekat ATM hangus milik BCA, yang berbunyi: “Kami tidak ingin menyakiti siapapun, penghancuran harta benda bukanlah kekerasan! Negara, militer, polisi, dan kapitalis adalah teroris yang sebenarnya!”

Belum selesai sampai disitu, pada Oktober 2011, kepolisian Yogyakarta menangkap Billy dan Eat, dua orang yang dianggap bertanggung jawab atas peledakan ATM BRI di Sleman, yang mengakibatkan mereka dituntut berdasarkan UU Anti Terorisme tahun 2002. Hal itu “memantik” setidaknya 22 aksi solidaritas di berbagai negara. Serangan bersenjata, pemboman, pembakaran, dan vandalisme terjadi di Filipina, Ekuador, Inggris, Bolivia, Rusia, Argentina, AS, dan di Indonesia sendiri.

Tidak hanya di Indonesia, pada tahun 2019 di Hongkong, massa aksi yang menolak RUU Ekstradisi Pelaku Kriminal menyerbu dan memporak-porandakan gedung legislatif. Pengrusakan serta penjarahan juga terjadi di Amerika pada saat demonstrasi menuntut keadilan untuk George Floyd, hal serupa juga terjadi di Indonesia dalam aksi menuntut reformasi, tahun 1998 lalu.

Mengutip pesan anonim dari seorang perusuh di Makassar, yang mengatakan, “Ini harus dibiasakan. Biar orang-orang tahu, bahwa ini bukanlah kenakalan remaja.” Memperkuat narasi yang saya sebutkan di atas tadi, bahwasanya tidak semua pengrusakan terjadi hanya karena iseng atau sekadar meramaikan sebuah aksi massa. Banyak dari mereka memiliki tujuan gamblang seperti menginginkan terjadinya revolusi.

Tan Malaka dalam “Aksi Massa” mengatakan, “Tujuan sebuah revolusi ialah menentukan kelas mana yang akan memegang kekuasaan negeri, politik, dan ekonomi, dan revolusi itu dijalankan dengan kekerasan.”

Bagaimanapun juga, pengrusakan, pembakaran, juga tindakan kekerasan oleh siapapun itu, baik oleh pihak berwajib ataupun orang biasa, tidak dapat dibenarkan. Namun bukanlah sebuah hal baik juga jika kita menghakiminya tanpa mencari tahu apa alasan dibalik terjadinya pengrusakan-pengrusakan tersebut. Segala kisah, serta contoh-contoh kasus yang disebutkan di atas merupakan sebuah gambaran bahwasanya aksi massa hampir selalu beririsan dengan pengrusakan berbagai fasilitas. Kiranya saya setuju dengan postingan di Instagram yang menggambarkan bahwa pengrusakan properti seperti halte, dianggap sebagai vandalisme, sedangkan pengrusakan serta pembakaran hutan oleh pemerintah dianggap sebagai pembangunan.

Albert Camus pernah mengatakan, “Pemberontakan tak akan ada atau terjadi tanpa ada perasaan, entah dimana dan entah bagaimana, seseorang itu merasa benar.”

A luta continua.


Editor: Jufadli Rachmad.