Indonesia dan Jeratan Resesi Ekonomi di Kala Pandemi
Pict source: Dimas Rachmatsyah.
Oleh: Della Trisnawati.
Setiap negara tentunya akan memiliki sistem ekonomi yang berbeda-beda dan tak akan luput dari sebuah rintangan. Sama halnya dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selalu dihantam rintangan ekonomi cukup serius dengan dampak krisis yang diberikannya.
Berkaca dari tahun 1998, di bawah pimpinan Presiden Soeharto, Indonesia mengalami krisis moneter. Krisis moneter tersebut berawal dari anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, hal tersebut memicu meroketnya harga bahan pokok secara tajam. Tak hanya itu, banyak perusahaan mengalami kebangkrutan dikarenakan nilai hutang yang membengkak. Tentu saja, hal tersebut mengakibatkan banyak perusahaan melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) terhadap karyawannya.
Tak hanya krisis ekonomi yang dialami pada kala itu, krisis politik pun turut hadir, membuat Indonesia semakin larut dalam keterpurukan. Desakan massa yang menuntut Soeharto untuk mundur sebagai Presiden Indonesia. Tak sia-sia, tuntutan reformasi rakyat yang didominasi oleh aksi mahasiswa membuahkan hasil dengan lengsernya Soeharto dari masa kepemimpinannya, pada Mei 1998.
Rintangan ekonomi dengan adanya peristiwa krisis moneter pada tahun 1998 tak menjadi ujung lika-liku perjalanan ekonomi Indonesia, pada tahun ini, Indonesia dikejutkan dengan hadirnya bencana tak terduga. Pandemi Covid-19 hadir dengan sangat mengegerkan, seolah-olah membuat Indonesia bahkan dunia sekaligus bisu sejenak. Hal ini jelas membuat Indonesia sangat kewalahan dalam menghadapi situasi pandemi Covid-19 yang menyerang berbagai sektor.
Situasi berbeda terjadi, apabila pada tahun 1998 krisis dialami oleh negara-negara di Asia. Pada tahun ini, krisis kesehatan dialami oleh ratusan negara dan menyebabkan tewasnya jutaan jiwa didunia. Krisis kesehatan ini tentunya mendorong pemerintah di berbagai negara untuk membuat kebijakan lockdown.
Di Indonesia sendiri, pemerintah menerapkan sebuah kebijakan dengan sebutan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). PSBB dan seruan Work From Home (WFH) tentunya sangat berimbas pada aktivitas bisnis yang merujuk pada sektor perekonomian.
Bicara soal sektor kesehatan atau sektor ekonomi yang harus diprioritaskan dalam konteks Pandemi Covid-19 seperti ini. Saya berpendapat bahwa kesehatan diartikan sebagai upaya meminimalisasi korban yang terkena Covid-19, yang merujuk pada angka kematian. Di sisi lain, ekonomi saya artikan sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidup di tengah kondisi yang serba terbatas ini.
Jika dilihat dari sektor kesehatan, dengan diberlakukannya berbagai pembatasan kegiatan, orang-orang bisa bertahan dalam jangka waktu bertahun-tahun. Namun jika dilihat dari sektor ekonomi, bukan tidak mungkin orang-orang hanya dapat bertahan dalam jangka waktu beberapa bulan saja. Akan lebih banyak orang yang mati karena kelaparan dari pada mati karena terinfeksi Covid-19.
Banyak perusahaan di Indonesia mem-PHK karyawannya dikarenakan perusahaan yang tidak dapat beroprasi secara normal. Guncangan Pandemi Covid-19 membuat perekonomian Indonesia semerawut. Resesi ekonomi akan sangat menanti Indonesia masuk dalam jeratannya.
Resesi adalah penurunan signifikan dalam kegiatan ekonomi yang berlangsung selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Indikator resesi bisa dilihat dari penurunan Produk Domestik Bruto PDB, tingkat pendapatan, pengangguran, produksi, dan penjualan.
Pasalnya, resesi merupakan hal yang tak bisa terhindarkan dari sebuah aktivitas ekonomi suatu negara. Sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Jerman, Korea Selatan, Singapura, dan masih banyak lagi yang tumbang oleh resesi ekonomi. Resesi ekonomi akan terjadi jika pertumbuhan ekonomi suatu negara minus dua kuartal berturut-turut.
Ekonomi Indonesia terjerat resesi sudah dipastikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Ia mengatakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III berada dikisaran minus 2,9 persen sampai minus 1 persen. Sementara untuk tahun 2020 berada di kisaran minus 1,7 persen sampai minus 0,6 persen. Sangat jelas jika Indonesia akan masuk jeratan resesi dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang minus dua kuartal berturut-turut – pada kuartal III dan IV.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan per Maret 2020 mengalami kenaikan menjadi 26,42 juta orang. Persentase penduduk miskin juga naik 0,37 persen dari Maret 2019 yang hanya 9,24 persen. Sangat jelas jika pandemi Covid-19 lah yang bertanggung jawab atas naiknya angka kemiskinan di Indonesia.
Tingkat kemiskinan di Indonesia tergantung pada bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah. Keberhasilan pemerintah dalam menyalurkan bantuan sosial sesuai dengan tepat sasaran akan bekerja sangat efektif dalam mengurangi angka kemiskinan di Indonesia.
Segenap rakyat Indonesia tentunya sangat menaruh harapan besar agar tidak terjadi resesi ekonomi di negeri tercinta ini. Namun, apalah daya keadaan yang mengantarkan Indonesia ke dalam jeratan resesi. Tentu saja, dalam keadaan seperti ini pemerintah memiliki peran yang sangat penting. Pemerintah harus bisa melindungi rakyatnya dimulai dari kesehatan hingga perekonomiannya.
Tidak dapat dipungkiri kondisi pandemi Covid-19, yang menyebabkan resesi ekonomi di Indonesia, membuat “yang kaya makin kaya, dan yang miskin makin miskin.” Masa pandemi ini telah mempengaruhi kehidupan semua orang dan kesenjangan sosial sangat terlihat jelas dalam realitas di Indonesia. Para petinggi-petinggi negara tentunya akan menjadi sikaya yang semakin kaya karena masih bekerja dan tetap mendapat upah tetap. Berbeda dengan pegawai-pegawai kecil yang terkena PHK, perusahaannya mengalami keterpurukan karena sudah tidak memiliki pendapatan lagi.
Kebijakan finansial dan kebijakan moneter yang telah dikeluarkan pemerintah selama ini memang sifatnya wajib. Akan tetapi, hal itu tidak mampu memulihkan ekonomi yang bobrok akibat pandemi Covid-19. Jadi, kebijakan fiskal dan moneter selama ini harus dilakukan, tidak ada pilihan lain. Tetapi sifatnya seperti obat analgesik untuk mengatasi rasa sakit, hanya menghilangkan gejala belaka, bukan menghilangkan penyebab rasa sakit tersebut.
Pemerintah sepatutnya cepat dan tanggap dalam menggambil tindakan. Pasalnya guncangan-guncangan tersebut dapat melahirkan krisis yang berkepanjangan, bahkan bisa sampai bertahun-tahun lamanya. Pada krisis moneter tahun 1998, dalam rentan waktu lima tahun tak cukup membuat Indonesia bangkit kembali. Lalu bagaiman dengan krisis ekonomi pada saat ini yang diprediksi akan lebih suram.
Sangat dibutuhkan rantai kuat dan kokoh antar rakyat Indonesia. Pasalnya, dalam keadaan yang penuh dalam ketidakpastian ini akan sangat sulit menentukan arah kedepannya akan bagaimana. Setiap rakyat Indonesia harus saling merangkul dan mendukung agar terus menyokong irama harmoni dan kerukunan.
Pancasila, yang sebagaimana telah ditetapkan sebagai dasar negara dan pedoman hidup bangsa Indonesia, menjadi modal kekuatan dalam mengahadapi keadaan ini.
Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetap satu jua, itulah yang menjadi semboyan bangsa Indonesia. Meski sangat beragam dimulai dari suku, ras, agama dan bahasa, rakyat Indonesia harus tetap menolong sesama agar terus mendukung keluarnya Indonesia dari jeratan resesi ekonomi ini.
Dibutuhkan sikap yang bijaksana dan lapang dada untuk mempertahankan dan memelihara kesatuan Indonesia. Nada kebersamaan harus tetap dilantunkan untuk memperkuat antar elemen bangsa dalam menghadapi krisis kesehatan dan krisis ekonomi di Indonesia saat ini.
Ditengah jeratan resesi ekonomi ini, rakyat Indonesia harus lebih terdongkrak motivasinya. Segera berusaha kembali dalam membangkitkan sektor perekonomian, karena tidak ada pilihan lain. Dari pada hanya berdiam diri tanpa adanya pergerakan tidak akan mengubah keadaan. Bahkan, akan memperburuk keadaan dengan berlama-lama dalam kondisi krisis. Tetap taat dan selalu terapkan protokoler kesehatan seperti menjaga jarak, memakai masker, serta rajin mencuci tangan.
“Saving our planet, lifting people out of poverty, advancing economic growth… These are one and the same fight.” –Ban Ki-moon.
Editor: Jufadli Rachmad.