GERAK Perempuan Desak RUU PKS Jadi Prioritas Prolegnas 2021
Aliansi Gerakan Anti Kekerasan Perempuan (GERAK Perempuan) Jawa Barat, melakukan aksi berdiam diri di depan Gedung Sate Bandung. Aksi ini dilakukan untuk terus mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Pekerja Rumah Tangga, pada Selasa (06/10)”. Foto: Della Trisnawati.
Bandung – Selasa (06/10), Sejumlah massa aksi dari Aliansi Gerakan Perempuan Anti Kekerasan (GERAK Perempuan) Jawa Barat, melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung. Aksi yang dilakukan setiap hari selasa ini bertujuan untuk terus mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dan RUU Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT). Melalui aksi ini massa juga berusaha menyebarkan kabar kepada masyarakat, bahwa selama pandemi Covid-19 ini angka kasus kekerasan terhadap perempuan terus meningkat.
Berdasarkan data dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dan Komnas Perempuan, setidaknya telah terjadi peningkatan kasus sebesar 75% selama masa pandemi Covid-19. Tercatat total kasus kekerasan terhadap perempuan selama pandemi sebanyak 14.719. Kasus tersebut terjadi pada dua kategori, yakni; ranah personal sebesar 75,4 persen atau 11.105 kasus, dan ranah komunitas sebesar 24,4 persen atau sebanyak 4.898 kasus yang terlaporkan.
Supinah salah seorang massa dalam aksi ini mengatakan, bahwa tujuan dari aksi ini adalah mendorong agar DPR memasukan kembali RUU PKS dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Ia pun menambahkan, bahwa pada tahun 2012 lalu RUU PKS telah masuk dalam pembahasan DPR dan telah dapat disahkan, namun pada kenyataannya justru pada bulan Juli 2020 lalu aturan tersebut dikeluarkan dari Prolegnas.
“Tahun 2012 RUU-PKS itu udah masuk dalam pembahasan DPR yang seharusnya itu sudah bisa disahkan, ini tiap sidang tanpa ada pembahasan tiba–tiba kemarin bulan Juli tahun 2020 justru keluar dari Prolegnas.” ujar Supinah.
Tanggapan lain juga turut dilontarkan oleh Ibrahim Raharjo salah seorang simpatisan GERAK Perempuan. Menurutnya bila ditinjau dari segi birokrasi perancangan Undang-Undang, RUU PKS memang tak mungkin disahkan tahun ini, melihat kondisinya yang sudah dikeluarkan dari Prolegnas. Ia pun menilai pengkajian RUU ini tergolong lambat dan cenderung disepelekan, jika dibandingkan dengan pembahasan dan pengesahan Omnibus Law yang sejatinya ia anggap lebih rumit.
“Mereka masih menganggap bahwa kasus kekerasan seksual adalah hal yg sepele berbanding terbalik dengan sikap mereka dalam mengkaji dan mengesahkan UU Omnibus Law cipta kerja, mereka bisa mengkaji RUU yg sejatinya lebih ruwet dibandingkan RUU PKS”
Aksi ini juga merupakan sebuah keprihatinan terhadap korban-korban kekerasan dan pelecehan seksual yang tidak terlindungi payung hukum.
Teks Oleh: Helmy Adam.