Pentingnya Belajar Berbelanja, Jangan Belajar Menabung Terus!
Pict Source : Pinterest.
Oleh : Annisa Suci.
“Banyak orang hanya mengetahui cara menabung tanpa tahu cara berbelanja.“
Sejak kecil belajar menabung sudah seperti kurikulum wajib, padahal tahap sebelum menabung adalah belajar membelanjakannya. Berbelanja merupakan proses pengambilan keputusan yang dilakukan secara sadar dan penuh pertimbangan juga tanggung jawab.
Ketika mendapatkan uang, baik itu dari orang tua atau penghasilan pribadi, kita selalu dihadapkan dengan dua pilihan, menabung atau berbelanja. Pada realitanya, terutama terjadi pada saya, sering kali memilih untuk membelanjakan dan menyisihkannya jika ada sisa. Padahal ternyata dalam mengatur keuangan terdapat lima pos pengeluaran yaitu cicilan atau hutang, pengeluaran rutin, pengeluaran investasi (tabungan), sosial, dan gaya hidup.
Di sisi lain, terlalu banyak menyisihkan uang untuk menabung juga belum tentu baik. Menyisihkan minimal 10 persen dari pendapatan yang kita terima secara konsisten untuk dana tabungan dirasa lebih bijak dibanding menyisihkan 50 persen pendapatan untuk tabungan, tapi ujung-ujungnya dana tersebut kita ambil karena budget kebutuhan sehari-hari masih kurang. Pada akhirnya, menabung yang selama ini kita anggap mulia tetap akan jadi bencana jika tidak dilakukan sesuai dengan data dan perhitungannya.
Ligwina Hananto seorang financial trainer sekaligus Co-Founder dari QM Financial merupakan ‘panutan’ saya dalam memahami konsep keuangan. Pembawaannya yang simpel juga dilengkapi analogi yang relate dengan kehidupan sehari-hari menjadi daya tarik untuk saya tak lagi bersikap ‘bodo amat’ soal uang. Beliau menyampaikan bahwa ada empat pilar dalam keuangan yaitu menghasilkan, berbelanja, berbagi, dan investasi. Dalam hal ini jelas bahwa sebelum belajar menabung ternyata belajar berbelanja merupakan hal dasar, sepenting cara menabung.
Belanja/be·lan·ja/ n 1 uang yang dikeluarkan untuk suatu keperluan.
Sesuai dengan pengertiannya, berbelanja merupakan sebuah proses mengeluarkan uang untuk sebuah keperluan bukan keinginan. Jika tadinya kalian berpikir tulisan ini akan membela atau menjadi sebuah pembenaran bagi kalian yang uang bulanannya habis untuk belanja, maka kalian salah besar. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya bahwa berbelanja yang dibahas kali ini adalah salah satu pilar dalam keuangan, how to be a wise buyer.
”Berbelanja itu ternyata mengambil keputusan. Bukan selalu yang paling murah dan bukan selalu yang paling mahal. Tapi nilai apa yang dibeli dari barang itu atau kegiatan itu, apa yang kita sukai” Ungkap Ligwina dalam sebuah sesi podcast milik Raditya Dika. Dibanding akan membeli sepasang sepatu dengan harga delapan ratus ribu yang akan bertahan sekitar satu sampai dua tahun, lebih baik memilih sepasang sepatu dengan harga satu setengah juta dengan waktu pakai sampai lima tahun, meskipun membutuhkan waktu lebih lama mengumpulkan uang untuk membelinya. Namun dalam kasus ini kita membeli barang atas nilai kualitasnya dan menghitung biaya perpemakaiannya. Prinsip ini dinamakan cost in use yang artinya dalam Collins Dictionary:
Cost-in-use
(ˌkɒstɪnˈjuːs)
NOUN
accounting
the cost of owning, running, or using something. (Biaya memiliki, menjalankan, atau menggunakan sesuatu).
Itu hanya sebuah perumpamaan, semua kembali pada kondisi dan kemampuan masing-masing. Lagi-lagi bukan mahal atau murahnya suatu barang tapi berapa banyak nilai yang diberikan barang atau kegiatan tersebut. Jadi bukan berarti ketika membeli sandal seratus ribu dapat tiga pasang itu salah, semua kembali pada value yang diambil oleh setiap orang. Mungkin dengan begitu nilai yang dicari bisa gonta-ganti sandal dan lebih banyak pilihan dibanding orang yang memiliki sepasang sepatu satu setengah juta.
Di sisi lain jangan sampai kita terjebak oleh brand yang seolah-olah menawarkan kualitas sehingga kita merasa worth it untuk membelinya dengan harga yang mahal. Terkadang beberapa brand sebenarnya hanya menjual nama dan gengsi. Padahal kita masih bisa mendapatkan barang dengan kualitas yang sama, bahkan lebih baik dengan harga yang masuk akal. Poinnya adalah kenali setiap barang yang akan kita beli secara detil agar tidak terjebak dalam ilusi sebuah brand.
Dalam salah satu tulisan Vice yang berjudul “Sebelum Belanja, Sebaiknya Tanyakan Enam Hal Ini pada Diri Sendiri”, April Benson seorang psikolog dan pakar ganguan belanja komplusif pernah berkata dalam podcast milik Gaby Dunn bahwa dia akan menyarankan pada kliennya sebelum membeli sesuatu maka wajib menanyakan enam hal ini pada diri sendiri;
“Mengapa saya ada di sini?”
“Apa yang saya rasakan?”
“Apakah saya memerlukan barang ini?”
“Apa yang terjadi kalau saya menahan diri?”
“Bayar pakai apa?”
“Bakal ditaruh di mana barangnya?“
Saya akui pertanyaan itu membantu saya untuk membedakan keinginan dan kebutuhan. Membuat otak ini berpikir berulang kali dan memperhatikan setiap pertimbangan sebelum membeli sesuatu. Tetapi hal ini berbeda dengan hemat yang kelewat hemat alias pelit. Sebuah tulisan yang berjudul “ Penny – Pinching May Signal Mental Illnes” oleh Madeline R. Vann, MPH menjelaskan bahwa, kebiasaan berhemat yang berlebihan merupakan gejala Obsessive Compulsive Personality Disorder (OCPD). Menurut seorang psikiater di Universitas dari Pittsburgh Medical Center di Pennsylvania orang dengan OCPD adalah orang yang sangat disibukan dengan detail, membuat daftar, gila kerja, sangat hemat. Orang yang terlalu berhemat, mengadopsi gaya pengeluaran yang kikir terhadap diri sendiri dan orang lain, berdasarkan catatan American Psychiatric Association orang dengan OCPD.
Ngeri juga gila hemat sampai lupa cara menikmati hasil kerja keras sendiri. Jadi Shopping Addict juga banyak ruginya. Prinsip keuangan sesederhana, “jangan sampai pengeluaran lebih besar dari pemasukan”, sebagaimana yang sering kita dengar dari petuah lama, “jangan sampai besar pasak dari pada tiang.”
Editor : Jufadli Rachmad.