Kritikus yang Baik Adalah Kritikus yang Congkak
Pict Source: National Geographic Image Collection/Alamy.
Oleh: Muhammad Fauzan.
Ketika keadaan menjadi pelik, kebanyakan orang menjadi si sibuk yang kelewat panik mencari jalan untuk tetap mempertahankan cara hidupnya seperti saat sebelum kelam tiba. Sementara si pelik teraneh-aneh melihat kepanikan yang terjadi, lantaran itu semua sudah menjadi gambaran jernih di kepala akibat menghabiskan seluruh masa hidupnya tenggelam dalam demam kekusutan gelap.
“Ya.. ya.. ya.. kau sedang mengesankan nilai sastra di dalamnya.. dan berusaha menghibur diri!” gerutumu. Bahwa jika ini tentang keluh-kesah mencurigai new normal,dan bagaimana kelambanan warga negara dunia ketiga berkehidupan, mungkin saja kalian tidak jadi bosan dan mengurungkan niat menutup artikel ini sedini mungkin.
Terbaca belakangan ini, kata ‘kritik’ muncul menjadi perdebatan baru di linimasa. Sifatnya bukan lagi sebatas diskusi, melainkan ketat – lebih seperti mata kuliah baru di semester lima! Riuhnya menggantikan berita-berita sensasi sebelumnya seperti: musisi jelek nan sotoy mengundang profesor gadungan, UU ITE yang mengerikan, dan sehangat konspirasi terbakarnya gedung Kejaksaan Agung RI.
Membahas tentang tutur penyampaian kritik adalah hal yang usang, cenderung dungu, dan terlalu naif, jika yang di permasalahkan justru diksi yang dipilih berserta dasar-dasar penulisannya – bukan malah membahas pokok ulasannya itu sendiri. Sehingga bila yang terjadi demikian, kita tidak akan pernah tersadarkan mengapa Kubrick memiliki pemikiran yang‘nyebrang’.
Sekarang saya sedang berlagak menjadi tukang kritik.
Seolah kamu tidak punya pilihan lain untuk mencari ulasan yang dapat lebih mudah dipahami. Lalu dengan butanya memaki orang yang berpendapat menggunakan bahasa yang menurutmu ‘rumit’– yang membuatmu kesulitan mencerna – yang membutuhkan waktu lebih untuk mencari arti dari diksi yang digunakan. Oh manjanya, merasa istimewa, dan penuh bebal.
Menggunakan bahasa langit itu wajar. Dilarang melarang. Pun terdapat semacam kenikmatan aib terselebung. Seolah sedang bergagah-gagahan kata. Mengencingi pembaca dengan ilmu yang sudah kamu dapat, dan bla..bla..bla. Begitu pula dengan yang memilih untuk menyederhanakan bahasanya, dengan dalih manis agar lebih mudah dipahami para pembaca. Jadi mana yang lebih baik? Tidak ada.
Menyederhanakan bahasa itu sulit, sesulit kamu membaca apa yang menurutmu ‘mendakik-ndakik’ (tiba-tiba saya jadi mual setelah menyertakan istilahitu). Bahwa ketika kamu memang benar-benar ingin mengerti dan paham, kamu tidak akan malas dan menyerah kepada kata. Namun jika menurutmu itu rumit, berbelit-belit, dan menyusahkan, maka seperti Zen RS bilang: mungkin tulisan itu bukan buatmu (yang sedang tidak punya waktu atau kehendak mencari artinya). Bila nyatanya saat ini yang terjadi adalah pembaca menuntut dimengerti oleh penulis, apalah artinya kalau bukan seorang egois dan pemalas.
Jadi cukupkan saja sampai di situ pergunjingan tentang pemilihan bahasa dalam seutas kritik atau teks. Karena itu sama halnya dengan mendebatkan apakah The Beatles terlalu cengeng untuk didengar ketika umurmu sudah tidak lagi berada di angka empat belas. Tidak ada gunanya. Itu semua hanya tentang selera. Intinya, untuk sekarang, tolong berikan saya buku untuk mempelajari selera.
Mungkin kalian saat ini sedang tertawa, tertawalah, tertawa sampai perutmu sakit. Karena mungkin saja saya memang sedang melucu. Ini semua bersifat subjektif. Penuh tetap hati, lantaran menulis opini membutuhkan semacam keangkuhan diri untuk merasa paling benar terlebih dahulu, tanpa ragu, terlepas hasilnya baik atau buruk. Sekali Lester Bangs pernah merumuskannya:
“Being honest, and unmerciful.”
Dikaryakan sebagai budak yang selalu cemas dan tertekan. Cetak biru budaya pembodohan. Terancam dalam kondisi aman. Jiwa yang terikat rantai pertanyaan. Anti masa depan, pun anti penyesalan. Sialan, kau pergi terlalu jauh!
Kritik dari sebuah kritik selalu menarik. Seperti contoh kasus Antony Fantano ‘diserang’ karena hanya memberikan nilai 7/10 untuk album terbaru Fiona Apple yang digadang-gadang akan menjadi salah satu album terbaik di tahun sesat ini. Namun yang jelas disana tidak ada yang mengkritik cara penyampain Fantano dalam me-review album tersebut. Di situ lah letak perbedaannya.
Jadi siapa yang patut disalahkan? Tidak ada (namun saya berdusta). Saya pergi mencari kambing hitam, yang tidak terkalahkan dan beraroma pekat, lalu mengacungkan jari tengah ciut mengutuk (dengan cari aman) bahwa ini semua salah pandemi! Virus lah yang bertanggung jawab atas semua ini! Dialah yang harus disalahkan atas kemerosotan logika ini! Keputusasaan yang terjadi disekitarnya! Neraka kegagalan keinginan! Kekacauan busuk yang sengaja diludahkan! Tunggu, biar saya menarik nafas terlebih dahulu..
Kelambanan yang diakibatkan mempengaruhi manusia-manusia menjadi semacam mahkluk sensitif akut, sehingga terjadilah diskusi yang berkembang menjadi perdebatan sengit tentang hal yang sebenarnya tidak perlu menjadi besar, perihal pelajaran yang pernah kita dapat dari sekolah dasar tentang bagaimana mencari gagasan pokok dari suatu paragraf.
Membaca ada pelajarannya, juga sama dengan menulis – bahkan, belajar pun ada caranya. Jadi apa kesimpulannya? Tidak ada.
Editor: Jufadli Rachmad.