Berhidup demi Hidup
Gambar ilustrasi: Gebriel R.
“Masa mudaku kelana bersuka suka,
Masa paruhku khayal temukan harta,
Masa senjaku jelma jadi pertapa.” (hlm. 212)
Sebuah kisah seorang pemuda bernama Xu Fugui dengan status sosial sebagai anak tuan tanah bergelimang harta yang berlimpah dari para leluhurnya terdahulu. Dalam kehidupannya, ia selalu bertindak semena-mena dan kurang ajar terhadap orang-orang di sekitarnya. Kehidupannya tidak pernah mengalami kesulitan ataupun kelelahan.
Suatu ketika kehidupannya berubah drastis 180 derajat, ia jatuh miskin akibat berjudi. Hidupnya menjadi berat dan semakin berat karena perubahan sosial dan budaya Tiongkok saat itu. Paham Komunis mulai masuk dan membentuk budaya baru. Di mana setiap keluarga harus bekerja untuk pemerintah, tidak ada lagi kepemilikan tanah dan harta benda, semua diatasnamakan kepunyaan negara. Satu kematian tidak berarti dibandingkan dengan ribuan kematian secara bersamaan. Itulah yang menggambarkan kebudayaan Tiongkok saat itu.
Penderitaan Fugui tidak hanya sebatas kemiskinan, satu persatu keluarganya mati, dan menjadikannya sebagai pria tua yang hidup sebatang kara. Walaupun dengan keadaan menderita, Fugui tidak pernah merasa putus asa untuk mengakhiri hidupnya, ia selalu optimis untuk mengembalikannya seperti dahulu kala.
“Sampai ke tanganku, sapi keluarga Xu jadi kambing, kambing jadi angsa. Sampai ke tanganmu, angsa menjadi ayam, sekarang ayampun sudah tidak ada lagi.” Perkataan Fugui saat berbincang dengan keluarganya.
Kalimat ini menggambarkan bahwa Fugui sendirilah yang menghancurkan keluarganya. Namun di kalimat tersebut juga ia menyatakan akan berupaya mengembalikan ayam menjadi sapi, seperti perbuatan leluhurnya terdahulu.
Dalam novel ini menceritakan adanya Revolusi kebudayaan dan kritikan terhadap kebijakan yang diambil oleh rezim China pada saat itu. Sistem pemerintahan yang berusaha menampilkan bahwa negara China adalah negeri yang terus melangkah dan semakin menuju gerbang kebahagian, justru membuat ratusan juta warganya yang berada di lapisan sosial terbawah lebih tergerus.
Kebijakan yang dianggap akan memakmurkan masyarakatnya justru memperluas jurang antara kaya dan miskin. Status sosial menjadi tolak ukur dalam bersuara, masyarakat berstatus sosial rendah terpaksa bungkam–kalau bersuara pun tidak didengar. Yang bisa mereka lakukan, orang-orang berstatus sosial rendah seperti Fugui hanyalah berjuang untuk bertahan hidup. Kerja keras demi “ayam bisa menjadi angsa, angsa menjadi kambing, kambing menjadi sapi”. Karena semua kerja keras yang kita lakukan sesungguhnya adalah upaya pertahan hidup yang paling realistis, dan kerja keras adalah bentuk dari berhidup demi hidup.
Teks Oleh: Gebriel Rahma.