Suicidal, dan Bagaimana Kita Menyikapinya

Gambar Illustrasi

Oleh: Fachrul Kemal

Bunuh diri atau yang biasa dikenal dengan istilah commite suicide adalah salah satu kondisi di mana seseorang dengan sengaja berusaha untuk melakukan percobaan bunuh diri dengan melakukan tindakan-tindakan yang dapat menyakiti dirinya sendiri. Hal tersebut merupakan salah satu gejala sosial yang mengakibatkan setiap orang yang menderitanya merasa sangat tertekan sehingga mereka memilih untuk mengakhiri hidupnya karena merasa tidak sanggup untuk memikul beban yang mereka dapat.

Bunuh diri bukanlah hal yang sepele, bunuh diri adalah perbuatan yang paling berani menurut saya. Mengapa berani? Karena bunuh diri bagi saya bukan hanya tindakan main-main, bunuh diri sama dengan usaha untuk menghilangkan semua yang ada di dalam diri sendiri.

“Kamu tidak akan bisa melihat apa-apa lagi. Kamu tidak akan bisa merasakan udara yang selama ini kamu hirup. Kamu tidak akan bisa mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutmu lagi. Kamu berusaha menghapus semua memori yang tersimpan di setiap labirin otakmu.”

Ada satu pertanyaan yang muncul di dalam benak setiap kali mendengar kata “bunuh diri”; Apa orang di sekitarnya tidak ada yang menyadari bila ada perubahan sikap dari pelaku bunuh diri?

Tidak, pertanyaan ini tidak bermaksud untuk menyalahkan orang sekitar korban. Sejatinya, ada dua tipe manusia di dunia ini; mereka yang senang bercerita ketika sedih, dan mereka yang lebih memilih untuk bungkam, menyimpan semua masalahnya sendiri.

Semua orang punya masalah masing-masing, tanpa terkecuali. Bahkan anak bayi yang kita lihat seperti tidak memiliki masalah apa-apa, pada dasarnya juga memiliki masalah. Walaupun masalah yang dihadapi oleh anak bayi masih dianggap masalah sepele, seperti saat sedang lapar, sang ibu tidak berada di dekatnya lalu akhirnya sang bayi menangis, itu adalah masalah sepele yang dialami anak bayi. Semakin kita tumbuh, masalah yang akan kita dapati tentunya semakin rumit dan semakin aneh karena lingkungan yang kita masuki juga semakin beragam.

Sedikit membahas tentang pola pikir yang tertanam di otak saya dulu, pola pikir yang ada di otak saya dulu menganggap bahwa “suicide is stupid.” Saya dulu adalah orang yang sangat anti jiks mendengar, atau pun membaca kasus bunuh diri. Hal tersebut disebabkan karena faktor lingkungan yang menganut prinsip “berpegangan pada Tuhan,” Terdengar baik bukan? Karena kematian adalah tanggungan pribadi, bukan milik siapapun untuk disudahi. Saya masih menganut prinsip itu sampai sekarang. Namun yang saya sadari sekarang, tidak semua orang bisa menganut prinsip yang saya jalani karena kondisi setiap orang berbeda-beda, terlebih ketika mereka harus menghadapi masalah yang cukup rumit.

Seiring berjalannya waktu, ada pola pikir terbaru di kepala saya yang baru saya sadari; Mereka yang bunuh diri itu tidak 100% salah. Tidak, hingga hari ini saya tidak “pro” terhadap bunuh diri, hanya saya berpikir saya perlu melihat lebih dalam dari “bunuh diri” ini sendiri. Karena kembali lagi kepada pembahasan saya di awal, bahwasannya saya menganggap bahwa bunuh diri adalah perbuatan yang berani, dan tentu saja sikap berani untuk memilih “bunuh diri” ini didasari oleh satu hal utama; Sakit.

Sakit apa? Banyak. Sakit hati, sakit fisik, sakit pikiran, dan masih banyak sakit-sakit lainnya. Terdengar murah? Tapi itu kenyataannya. Untuk yang sekarang masih suka bilang “Bunuh diri? Tolol.” Tidak, itu tidak bodoh. Tidak ada manusia mana pun yang berhak melontarkan kalimat seperti itu. Memangnya sudah membantu sang pelaku melewati cobaan yang dialami, sampai berani bilang tolol? Bahkan bila ada manusia yang sudah merasa “membantu” pelaku untuk tidak melakukan hal-hal aneh yang dapat menyakiti dirinya, dia masih tidak berhak meluarkan kata-kata kasar seperti itu.

Korban bunuh diri pun pada dasarnya tidak mau melakukan hal tersebut. Serius, mereka tidak mau. “Terus kenapa pada akhirnya mereka mau?” Mereka sakit – kembali ke topik sakit tadi. Mereka berpikir kalau mereka bunuh diri mereka bisa menghentikan rasa sakit yang mereka rasakan saat itu juga – kepuasan tersendiri – walaupun sebenarnya cara yang mereka tempuh itu salah.

Miris? Ya. Betapa seharusnya para korban bunuh diri itu masih hidup sampai sekarang, tapi mereka lebih memilih untuk menyudahi hidup yang selama ini mereka jalani. Bisa dibayangkan beban seberat apa yang mereka tanggung? Semua orang merasakan beban yang berbeda-beda. Ketika si A menganggap beban yang dia dapatkan terlalu berat, namun ternyata si B menganggap beban yang didapatkan oleh si A masih beban yang sepele, tidak seharusnya kita menganggap si A adalah orang yang lemah karena kita tidak pernah tahu bagaimana kondisi si A sendiri dalam menghadapi beban tersebut, karena kesanggupan masing-masing orang berbeda dalam mengatasi setiap masalah.

Dari sekian banyaknya kasus bunuh diri yang terjadi di dunia ini, seharusnya kita dapat menarik sebuah kesimpulan; Coba pahami kondisi orang lain. Tidak perlu repot-repot berbuat baik kepada seluruh orang di dunia ini, cukup menghargai serta memahami kondisi orang lain. Itu merupakan salah satu cara untuk sedikit lebih sadar terhadap orang-orang di sekitar. Kurangi menyakiti perasaan orang lain, walaupun dalam konteks hanya “bercanda” atau pun “menasehati.” Hal tersebut seharusnya dihindari, saya pun masih belajar menghindari menyakiti perasaan orang lain karena biasanya hal ini secara tidak sadar sering kali terjadi.

“Memilih mengubur diri dan terkubur dalam tanah dalam gelapnya kekosongan tanpa sempat mengangkat dagu pada perih yang melanda, bukan hanya meninggalkan kesedihan bagi diri sendiri dan keluarga, tapi juga rasa malu. Biarlah hidup dan mati urusan Sang Pencipta, jangan kita mendahuluinya.”

Tetap bukalah mata, simak lebih dekat, dan berpikir lebih bebas. Karena terkadang orang yang terlihat biasa-biasa saja, bisa jadi dia menanggung beban yang berat.

Seharusnya kita menjadi teman yang lebih baik.
Manusia yang lebih baik.
Jiwa yang lebih baik.
Pikiran yang lebih baik.


Editor: Rizky Mardiyansyah.