Melacak Jejak Feminisme di Indonesia Melalui Aksi Women’s March
Oleh: Rizky Mardiyansyah.
Kasus diskriminasi dan kekerasan terhadap wanita baik verbal maupun non-verbal marak terjadi di pelbagai penjuru dunia termasuk Indonesia. Ketidakadilan berbasis gender tersebut kerap terjadi di berbagai aspek atau bidang, seperti bidang pekerjaan. Tidak sedikit buruh perempuan yang diberlakukan tidak adil seperti pelabelan sebagai makhluk yang lemah dan tidak berdaya yang membuat perempuan tersebut tidak memiliki otoritas lebih atas status dan arti dirinya sendiri. Hal berikut terkadang mempengaruhi akses bagi mereka untuk mendapatkan upah yang layak. Tak hanya di pabrik, sistem yang merepresi perempuan secara tidak langsung terjadi hingga ke instansi pemerintah. Setidaknya ada lima bentuk penindasan yang dialami perempuan baik secara sistem pemerintah, maupun sosial kultural yaitu eksploitasi, ketidakberdayaan, marjinalisasi, imperialisme kultural, dan yang paling parah adalah kekerasan.
Eksploitasi terhadap perempuan bukan hanya tentang adanya dominasi kelas atas atau kekuatan atas kontrol sumber daya, melainkan sistem patriarki yang telah menempatkan perempuan pada posisi yang paling tereksploitir dalam keadaan yang terbelenggu. Hal tersebutlah yang membuat kelompok perempuan menjadi kelompok yang paling termajinalkan secara sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Dengan ini, lahirlah berbagai kelompok atau gerakan perempuan untuk mengangkat isu-isu tersebut. Awal gerakan perempuan di dunia tercatat di tahun 1800-an, ketika itu para perempuan menganggap ketertinggalan mereka disebabkan oleh kebanyakan perempuan yang tidak memiliki keahlian dalam bidang apapun. Karenanya gerakan perempuan era awal ini lebih mengedepankan perubahan sistem sosial. Selain itu emansipasi persamaan hak serta penghapusan diskriminasi terhadap kaum perempuan kemudian menjadi tuntutan untuk isu-isu selanjutnya. Tuntutan inilah yang kemudian menjadi dasar dari gerakan perempuan yang pada masa kini dikenal dengan feminisme.
Lahirnya Feminisme di Indonesia
Di Indonesia sendiri gerakan feminisme pertama merupakan perjuangan dari R.A. Kartini, di mana beliau memperjuangkan hak para wanitauntuk menempuh pendidikan seperti halnya kaum lelaki. Namun kehadiran kata “feminisme” banyak ditakuti banyak orang, ketakutan ini disebabkan oleh tidak difahaminya arti dari kata feminisme itu sendiri, maka dari itu pada masa orde lama presiden Soekarno memberikan kesempatan kepada gerakan feminisme di Indonesia untuk memberi edukasi lebih kepada kaum perempuan akan keperempuanan dan perjuangan kaum perempuan itu sendiri. Pada tahun 1950 berdirilah organisasi wanita pertama di Indonesia yaitu Gerakan Wanita Indonesia atau Gerwani. Kelompok ini memiliki hubungan kuat dengan Partai Komunis Indonesia, tetapi sebenarnya merupakan organisasi independen yang memperhatikan masalah-masalah sosialisme dan feminisme. Isu yang diangkat oleh Gerwani-pun tidak jauh dari menuntut hak kesetaraan gender, hingga menuntut akses, nilai, dan kedudukan yang sama dengan laki-laki.
Feminisme sendiri terbagi menjadi lima yaitu feminisme liberal, feminisme marxis, feminisme radikal, feminisme sosial, dan feminisme teologis. Feminisme yang dianut oleh Gerwani merupakan feminisme sosial.
Setelah kudeta 30 September 1965, Gerwani menjadi organisasi yang dilarang di bawah kekuasaan Suharto. Organisasi ini menjadi contoh yang sering dikutip dari tindakan amoralitas serta gangguan selama era pra-1965 namun dengan bukti yang nihil.
Feminisme Hari Ini
“Habis gelap terbitlah terang…” kalimat yang terucap dari R.A. Kartini tersebut mungkin cukup relevan untuk menggambarkan semangat gerakan wanita di era sekarang, hingga lahirnya berbagai komunitas-komunitas ‘wanita’ baru pasca runtuhnya rezim orde baru. Bagaimana tidak, akhir-akhir ini penulis kerap mendapati beberapa gerakan wanita maupun individu dari berbagai kalangan usia berada di garda terdepan dalam berbagai aksi massa seperti, hari buruh, atau aksi penolakan penggusuran.
Yang membuat menarik adalah sebuah perayaan ‘Women’s March’ yang berawal dari gerakan protes anti-Trump di Amerika oleh ribuan kaum wanita terhadap kebijakan-kebijakannya yang sangat sexist dan menyudutkan kaum wanita di era modern seperti ini kini telah menjadi sebuah acara tahunan yang digelar di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia sendiri perayaan Women’s March pertama pada tahun 2017 kemarin yang hanya berafiliasi di Ibu Kota Jakarta menuai antusiasme yang sangat besar dari kaum feminisme.
Kali ini, perayaan Women’s March digelar di berbagai kota di Indonesia seperti Malang, Bandung, Sumba, dsb. Didirikan secara kolektif dari berbagai komunitas dan relawan, acara tersebut lebih mementingkan isu yang sedang berkembang di daerahnya masing-masing. Seperti di kota Bandung, tema yang diangkat pada kegiatan ini adalah ‘Ketidakadilan Berbasis Gender’ yang mana terdapat lima isu besar yang diangkat yaitu perkawinan anak, kekerasan terhadap perempuan, diskriminasi terhadap perempuan, human trafficking, dan perluasan pasal zina dalam RKUHP.

RKUHP sendiri memiliki potensi besar untuk mengkriminalisasi perempuan, khususnya mereka yang menjadi korban kejahatan seksual. Padahal, dalam Survey Pengalaman Hidup Perempuan Nasional atau SPHPN, menunjukkan 1 dari 3 perempuan yang berusia 15-64 tahun merupakan korban kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya. Maka jika RKUHP itu sendiri berhasil disahkan, pasal karet tersebut dapat memenjarakan orang-orang yang menjadi korban perkosaan.
Menurut para peserta aksi Women’s March, kegiatan ini diadakan bukan hanya sebagai sebuah perayaan atas pencapaian perjuangan perempuan saat ini, tapi juga sebagai suatu acara yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, pemahaman, serta empati masyarakat menganai pentingnya perlawanan atas ketidakadilan berbasis gender.
Sebanyak lebih dari 300 orang hadir meramaikan kegiatan Women’s March Bandung 2018 dari berbagai latar belakang yang berbeda. Acara yang diawali dengan workshop tentang kewanitaan, dan “One Million Rising” atau tarian yang ditujukan untuk melawan kekerasan dengan kelembutan sebagai pra-eventnya berakhir pada rangkaian puncak yaitu jalan bersama (marching) dari Eduplex Dago hingga berakhir di Gedung Sate dengan membawa papan dan poster tuntutan pada hari minggu (4/3) pagi hingga siang.