Tak Hanya Omnibus Law, Kini Massa Aksi Bersuara Soal Papua
“Massa dari Komite Rakyat untuk Demokrasi dan Aliansi Mahasiswa Papua pada aksi tuntut penggagalan Omnibus Law, Otsus Jilid II di tanah Papua, dan usut tuntas kekerasan aparat, di kawasan taman Vanda, Jalan Merdeka, Bandung, Selasa (13/10).” Foto: Gren Raina.
Bandung – Selasa (13/10), Komite Rakyat untuk Demokrasi dan Aliansi Mahasiswa Papua melakukan demontrasi di kawasan Taman Vanda, Jalan Merdeka, Bandung. Aksi ini bertujuan untuk menggagalkan Omnibus Law, Otonomi Khusus (Otsus) Jilid II di tanah Papua, serta hentikan kekerasan aparat dan usut tuntas kekerasan aparat terhadap masyarakat adat Papua. Aksi ini juga menuntut pertanggung jawaban atas tindakan represif yang dilakukan aparat Kepolisian terhadap massa aksi tolak UU Cipta Kerja pada tanggal 7 sampai 8 Oktober lalu.
Boby Wil selaku Humas Komite Rakyat untuk Demokrasi menuturkan, bahwa UU Omnibus Law Cipta Kerja berdampak sangat luas, tidak hanya dirasakan oleh rakyat atau daerah-daerah yang memiliki industri saja, tapi juga berdampak terhadap rakyat Papua dan Indonesia. Menurutnya, hal pertama yang akan terjadi dari disahkannya Omnibus Law adalah eksploitasi sumber daya alam besar-besaran, investasi semakin masif masuk ke Indonesia termasuk tanah Papua dan akan menghancurkan ruang hidup rakyat itu sendiri. Yang akan paling terdampak adalah masyarakat adat dan rakyat kecil yang tingkat pendapatannya rendah.
Boby juga menambahkan, bahwa tindakan represif yang dilakukan oleh aparat mencederai Hak Asasi Manusia (HAM) yang sejatinya telah dimiliki oleh setiap manusia sejak lahir. Kemudian, meski Indonesia telah mengadopsi dan mengikuti berbagai macam UU atau konferensi internasional soal HAM, pada realitanya, Indonesia masih melakukan tindakan represif melalui aparat-aparat TNI dan Polri, masih melakukan terror, intimidasi, serta pelanggaran HAM lainnya pada masyarakat Papua.
“Perwakilan Indonesia pada sidang umum PBB berkata ‘Indonesia merupakan negara demokrakasi terbesar ke-3’ tapi faktanya hari ini rakyat masih sengsara, demonstrasi masih dihalang-halangi dan masih direpresif oleh aparat. Berarti ini mengindikasikan demokrasi di Indonesia telah gagal. Maka kami bersolidaritas untuk turut mengutuk tindakan represif aparat terhadap massa demonstrasi,” lanjut Boby.
Berbicara soal Otsus Jilid II, Nanang Kosim salah satu peserta aksi menjelaskan, bahwa aksi ini juga menolak Otsus yang diberikan pemerintah Indonesia kepada Papua. Otsus adalah kewenangan istimewa untuk mengatur daerahnya seperti yang dimiliki Yogyakarta, Aceh, dan Jakarta. Papua mendapatkan Otsus pasca reformasi juga setelah makin kuatnya desakan Papua untuk merdeka dari Indonesia. Dalam UU telah diatur bahwa Otsus yang diberikan kepada Papua berlaku selama 20 tahun – yang akan berakhir dan diperbaharui tahun 2021 nanti.
Aksi ini menilai bahwa Otsus tidak sesuai dengan keinginan dan tuntutan rakyat Papua, melainkan hanya permainan uang di kalangan elit agar Papua tidak lagi menuntut perpisahan dari Indonesia.
“Pendidikan dan kesehatan rakyat Papua masih tertinggal dari daerah lain di Indonesia. Hak-hak sipil dan politik masih dibungkam dan direpresi Pemerintah Indonesia,” ujar Nanang.
Komite Rakyat untuk Demokrasi juga menilai pemerintah telah gagal melihat persoalan utama masyarakatnya sendiri. Mereka berharap pemerintah segera berbenah dan menanggapi tuntutan rakyat, karena Omnibus Law akan menciderai rakyat itu sendiri.
Aksi di depan Taman Vanda sempat bergeser ke depan Bank Indonesia, dan berlanjut sampai jam 5 sore. Massa aksi membubarkan dirinya tanpa ada intervensi dari aparat kemanan.
Teks oleh: Gren Raina.