Mengenal Against Modern Football dan Industri Sepak Bola

Pict Source: Goal.com

Oleh: Dimas Rachmatsyah.

Sepak bola adalah olahraga yang banyak diminati masyarakat Indonesia bahkan masyarakat dunia. Olahraga yang mengandalkan kekuatan kaki ini memiliki banyak daya tarik bagi para pecintanya. Seakan jika pemain berlaga di suatu pertandingan kita akan merasakan atmosfer yang sangat kental di dalamnya.

Di zaman sekarang sepak bola sudah menjadi sebuah industri yang akan membuat para investor merasa merajai segala sektor si “kulit bundar” ini. Bagaimana tidak, suporter sekarang sadar atau tidak sadar menjadi pelanggan tetap dari para investor tersebut. Jika dilihat dari harga tiket yang cukup mahal, mengambil contoh klub ternama asal Kota Bandung yaitu Persib Bandung, yang membanderol harga tiket di sisi Utara dan Selatan seharga 50 ribu rupiah, hingga termahal di VIP Barat Utama seharga 150 ribu rupiah, suporter masih saja rela untuk membelinya. Sudah bisa dibayangkan besaran pemasukan terhadap klub sepak bola di Indonesia sangatlah besar.

Against Modern Football (melawan sepak bola modern) adalah sebuah bentuk ketidakpuasan suporter secara umum terhadap berbagai macam permasalahan, salah satunya adalah pemindahan homebase klub di luar kota. Stand AMF adalah sebuah fanzine dan situs web yang bertujuan untuk mengakomodasi segala bentuk keresahan dari suporter yang tidak suka terhadap sepak bola modern. Cara ini bisa menjadi sebuah ancaman bagi pemilik klub yang seakan tutup telinga dengan keluhan pendukung klub.

Saya melihat pada masa kini sepak bola sudah mengadaptasi seluruh kecanggihan teknologi, meliputi teknologi garis gawang, hand spray untuk wasit, led board, hingga kecanggihan pada sepatu pemain. Benar adanya seluruh alat tersebut bisa mendukung kelancaran pertandingan dan tentunya membantu peran wasit sebagai pengadil di lapangan. Namun, jika berpikir lebih jauh, kecanggihan teknologi seperti garis gawang bisa menjadi celah untuk para bandar judi dunia untuk melakukan pengaturan skor, karena tidak seutuhnya teknologi menjadi pedoman pertandingan berjalan dengan lancar.

 “My Game is Fairplay” yang digaungkan oleh induk sepak bola dunia FIFA menjadi pegangan bagi setiap elemen untuk memegang prinsip tersebut, nampaknya tidak terlalu dijalankan oleh berbagai pihak karena sudah banyak kepentingan di dalam sepak bola. Terlebih aspek bisnis yang dijalankan oleh investor pun tidak mudah untuk dilawan oleh segelintir suporter. Sehingga pada akhirnya, para penonton yang telah terbuai oleh taktik klub akan membeli seluruh pernak-pernik yang ditawarkan oleh klub sepak bola tersebut. Sehingga sepak bola sudah beralih menjadi suatu alat yang akan terus mengimplementasikan nilai-nilai kapitalisme dan globalisasi.

Indonesia menjadi salah satu negara dengan suporter sepak bola terbesar di dunia yang dikenal dengan fanatismenya. Tak bisa dipungkiri, kecintaan masyarakat terhadap dunia sepakbola sangat tinggi. Jika ada pertandingan besar melawan tim rival, sudah dapat dipastikan stadion akan disesaki oleh para penggemar. Bahkan terkadang ada saja bus pemain yang terkena lemparan suporter akibat tensi tinggi yang tercipta dalam laga tersebut. Tidak hanya itu, pertarungan antar suporter di Indonesia menjadi sebuah “tradisi” turun-temurun yang terus dilestarikan karena menjadi hal yang prestisius.

Fanatisme ini janganlah disalahartikan dengan mencintai klub secara berlebihan, karena sejatinya suporter harus bisa memposisikan diri ketika klub sedang tidak baik-baik saja. Ketika sebuah klub melakukan kebijakan yang merugikan bagi suporter maka cara yang terbaik adalah turun ke jalan memprotes segala bentuk ketidakadilan yang dicanangkan oleh klub tersebut. Karena sepakbola harus bersih dari segala kepentingan perorangan atau kelompok.

Fakta di lapangan sudah berbicara bahwa suporter yang mengadopsi sepakbola modern saat ini sudah mulai tergiur oleh sponsor klub yang akan mendanai berbagai macam kegiatan yang menyangkut keberlangsungan organisasi suporter. Bahkan nampaknya jika tidak ada sponsor, organisasi suporter tersebut tidak dapat berjalan. Dengan seperti itu dapat dipastikan jika tidak ada resistansi dalam sepak bola, maka akan hilang sebuah identitas dari olahraga itu sendiri. “Supporters Not Customers” juga adalah sebuah bentuk nyata dari perlawanan suporter terhadap konsep-konsep pemasaran di sepakbola.

ST. Pauli adalah klub yang sangat menolak sepakbola modern sebagai kepentingan kapitalis yang akan merugikan klub sepakbola. Bukan itu saja, para suporter ST. Pauli pun menentang isu rasisme, seksisme, dan fasisme yang sangat kental di Jerman. Dilansir dari Pandit Football, para suporter klub tersebut juga berhasil merebut kembali hak logo tengkorak mereka yang telah dijual ke Uposlur Merchanding dan klub hanya membayar 1,3 juta euro. Hingga akhirnya secara resmi hak merchandise mereka dapatkan pada 1 Januari 2016 silam. Begitu melekatnya peran suporter untuk memperbaiki suatu tim agar dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Tindakan yang dilakukan oleh klub asal Jerman tersebut bisa menjadi acuan bahwa menolak sepak bola modern bukanlah sesuatu yang menakutkan. Melainkan bisa menjadi sebuah modal yang sangat berharga bagi klub untuk mengambil langkah yang tepat kedepannya. Lagi pula jika menkritik untuk kebaikan tidak masalah bukan? Justru kritik akan menimbulkan dampak positif bagi tim.

Berbagai suporter yang menolak adanya sepak bola modern di dunia biasanya melakukan kegiatan secara kolektif tanpa adanya suatu imbalan terhadap individu ataupun organisasinya. Mereka akan berusaha untuk membuat klub hidup mandiri tanpa adanya sponsor. Lantas mereka secara masif melakukan sosialisasi bahwa industrialisasi sepak bola akan sangat berdampak bagi suporter, pemain, hingga pelatih.

Namun, klub dapat berbuat lebih banyak untuk mengenali basis penggemar yang terdiri dari kelompok yang berbeda dengan minat yang berbeda, dan berusaha untuk menyeimbangkan kepentingan tersebut dengan lebih transparan. Tapi hal ini juga dapat memicu reaksi balik terhadap upaya untuk mengontrol suporter agar mematuhi apa yang dibicarakan oleh klub. Maka bukti nyata dari slogan “Against Modern Football” adalah penolakan terhadap gagasan bahwa segala sesuatu yang kita lakukan harus dikontrol dan diatur.

Lalu, apakah sebuah industri dalam sepak bola akan menjadikan sepakbola mati suri? Atau sepak bola akan terus berjalan dengan konsep industrialisasi? Pilihan inilah yang harus dimaknai oleh seluruh pecintanya untuk tetap membawa sepak bola sebagai identitas sebuah olahraga. Bagaimanapun juga klub sepak bola dibangun dari pundi-pundi uang yang telah pendukung gelontorkan sehingga setiap apa yang seharusnya suporter dapatkan bisa menjadi haknya dan klub bisa melakukan sebuah evaluasi.

Pada nyatanya sepak bola modern belum bisa memberikan sesuatu yang pasti untuk para pendukung yang setia bersama klub. Sepak bola dahulu lebih layak untuk dinikmati tanpa memikirkan stadion dengan desain megah ataupun memikirkan harga tiket yang harus menguntungkan satu pihak. Jika kalian peduli dengan problematika yang terjadi di lapangan hijau, sudah selayaknya kalian terus menyuarakan apa yang dikehendaki. Jadilah suporter yang melihat dari berbagai sudut pandang, bahwa sepakbola itu memiliki “karisma”, bukan “industri buta”.


Editor: Jufadli Rachmad.