Bumi Manusia, Bukan Hanya Cerita Cinta Semata
Pict source: Google.
Oleh: Alvin Aditya.
Mungkin belakangan ini, masyarakat dibuat gempar oleh film Bumi Manusia yang diangkat dari salah satu buku Tertralogi Buru yaitu Bumi Manusia.
Sebelum membahas lebih jauh tentang Bumi Manusia, sebaiknya kita mengenal dulu Tetralogi Buru. Sebab, Bumi Manusia adalah salah satu roman di Tetralogi Buru karya sastrawan handal Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, ditulis saat ia meringkuk di kamp kerja paksa Pulau Buru. Pram–sapaan akrabnya, ditahan karena dianggap berhaluan kiri dan pentolan Lembaga Kesenian Masyarakat (Lekra) yang dekat dengan PKI, saat rezim Orde Baru Soeharto tanpa pernah diadili.
Tetralogi Buru mempunyai empat serial roman; Bumi Manusia, lalu Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Novel Bumi Manusia bukan hanya cerita cinta semata, novel ini merupakan salah satu karya Pram yang mendapat banyak penghargaan. Walaupun buku ini pernah dicekal pada tahun 1981 oleh Jaksa Agung karena dianggap mengandung ajaran Leninisme dan Marxisme, namun buku ini malah melegenda di dalam maupun luar negeri.
Minke dan Nyai Ontosoroh merupakan dua tokoh sentral yang digambarkan pada novel ini. Sosok Minke, terinspirasi dari wujud nyata Tirto Adhi Soerjo, pendiri surat kabar berbahasa Melayu pertama, yaitu Medan Prijaji. Pada 1973, ia mendapatkan predikat Bapak Pers Nasional. Minke digambarkan sebagai pemuda Jawa terpelajar dan berdarah priyayi yang semampu mungkin keluar dari adat feodalisme menuju manusia bebas serta merdeka.
Ayah Minke merupakan seorang Bupati Blora, oleh karena itu Minke dapat mengenyam pendidikan di HBS–setara dengan SMA saat ini. Namun, Minke dan ayahnya dikisahkan dengan sebuah adegan yang sentimentil karena perbedaan pemikiran di antara keduanya. Minke adalah penulis lepas untuk koran S.N. v/d D dengan nama pena Max Tollenaar.
Kehidupan Minke mulai berubah ketika ia diajak oleh kawannya, Robert Surhoof, berkunjung ke rumah megah bak istana di Wonokromo milik laki-laki Belanda bernama Herman Mellema. Di sana ia bertemu dengan Nyai Ontosoroh, perempuan Jawa berusia 30-an yang menjadi simpanan Herman Mallema. Nyai Ontosoroh (nama asli adalah Sanikem) mempunyai dua orang anak, yaitu Robert Mellema dan Annelies Mellema.
Nyai Ontosoroh dijual oleh ayahnya kepada Robert Mellema ketika berusia 14 tahun untuk sogokan kenaikan pangkat. Karena kerap dicap sebagai seorang gundik yang hina oleh orang-orang, ia akhirnya belajar membaca, menulis, beternak, dan mengurus perusahaan.
Minke jatuh hati pada Annelies, dan begitupun sebaliknya. Mereka akhirnya merajut tali kasih lalu memutuskan menikah. Tapi takdir menentang pernikahan itu, Minke dan Annelies harus berpisah. Masalah mendatangi Minke dan Nyai Ontosoroh ketika Herman Mellema tewas karena racun yang ditenggaknya dalam minuman keras di rumah bordil Babah At Tjong. Setelah itu, muncul tokoh baru yaitu I.r Maurtis Mellema, anak dari perkawinan sah Herman Mellema dan Meriam. Maurtis datang ke Hindia karena ingin menuntut apa yang dirasa menjadi warisan untuk ia dan ibunya. Di sinilah dimulainya perlawanan antara Pribumi dan Belanda.
Suatu hari, datang surat telegram dari Pengadilan Belanda yang berisikan pengambilalihan semua harta milik Herman Mellema. Namun, bukan hanya harta saja yang direnggut, hak perwalian Annelies Mallema pun ikut dirampas. Disitulah penyebab perpisahan Minke dan Annelies. Tapi Nyai Ontosoroh dan Minke tak tinggal diam begitu saja saat menerima surat tersebut. Mereka mendebat di pengadilan Belanda Surabaya.
Bumi Manusia ditutup dengan cerita tragis dijemputnya Annelies Mellema oleh Maurtis dan Meriam untuk dibawa berlayar ke Belanda. Annelies bersikap sama dengan ibunya, ia mengucapkan “Seperti Mama dulu, Ma, juga aku takkan balik lagi ke rumah ini”. Kepergiannya meninggalkan kesedihan yang mendalam pada Minke dan Nyai Ontosoroh. Minke berbisik pada Nyai “Kita kalah, Ma” Nyai menjawab “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya.
Babak Baru Indonesia
Novel ini gambaran ironis dan tragis bagi Minke. Berawal dari seorang pemuda terpelajar yang kagum akan pengetahuan Barat. Dengan ilmu pengetahuan dan pendidikan ia menjadi manusia yang modern. Minke memerangi asal-usulnya yang masih tertanam dalam primodialisme dan tak gentar menentang Belanda. Inilah awal mula babak baru pada Indonesia.
Namun, apakah seorang jajahan mampu bersaing dengan penjajah? Apakah ia bisa setara dengan kaum kulit putih?
Sebelum menonton film Bumi Manusia yang sebentar lagi akan tayang, membaca bukunya terlebih dahulu sepertinya sudah menjadi suatu keharusan, agar tidak salah mengartikan pesan yang ingin disampaikan pada cerita tersebut.
Editor: Ade Rosman.