September: Babak Orientasi Mahasiswa terhadap Negara

Oleh: Hanas Duvan C.

(Alumni Jurnalistik Unisba 2012).

 

Memasuki bulan September, berarti pula memasuki babak orientasi bagi kawan-kawan yang selama ini menganggap negara tidak pernah berbuat dosa besar. Seakan negara tengah dalam keadaan baik-baik saja, tidak perlu menolak lupa karena sejarah sudah diatur ulang oleh negara itu sendiri, seolah mencuci tangan dengan darah bersimbah yang bersumber dari sumur warganya. Bulan ini juga menjadi babak pengenalan aktor antagonis yang didempul menjadi sosok protaginis dengan karakter yang patriotis, nasionalis sekaligus bengis dan sadis, yakni tentara.

Negara dengan bermacam cara membentuk citra sedemikian rupa supaya borok dan koreng-korengnya negara tidak nampak. Didempul sedemikian rupa hingga bau busuk itu tidak bisa dihirup. Dijejali hoax sedemikian rupa hingga semua warganya percaya, meski dengan hoax berskala neraka jaminannya, negara akan berbuat apa saja.

Salah satu produk hoax terlaris yang hingga kini konsisten dan terjadi pada bulan September adalah pemelintiran kasus G30S. Seperti yang ternarasikan dalam film G30S/PKI, film propaganda yang mengkultuskan rezim Suharto dengan banyak memodifikasi fakta (https://nasional.tempo.co/read/910003/6-fakta-tentang-film-g-30-s-pki-yang-wajib-diketahui/full&view=ok). Selain G30S, serentetan kasus besar yang pernah negara lakukan terjadi di bulan ini; racun arsenik yang membunuh Munir di udara, pembantaian umat Muslim di Tanjung Priok, hingga tewasnya Yun Hap pada tragedi Semanggi II,  Muhammad Yusuf Rizal dan Saidatul Fitriah di Lampung pada bulan September.

Kasus-kasus itu sudah tersedia di etalase sejarah, tetapi negara menyimpannya di gudang. Saking tertutupnya, penjelasan mengenai pembantaian manusia paska tragedi 65 di buku-buku sejarah sekolah terbilang nihil, hingga saat Wiranto diangkat menjadi menteri. Lalu, impunitas pada aktor intelektual kasus Munir, hingga yang sedang viral adalah pencalonan kedua kalinya bekas Danjen Kopassus yang bertanggung jawab atas penculikan mahasiswa pada peristiwa Mei 98. Negara menutup borok itu dengan baik hingga tidak banyak yang tahu soal itu. Atau mungkin tahu, tetapi kita melegitimasinya, mensahkan penculikan, penyiksaan dan pembunuhan jika itu dilakukan atas nama Negara? Juga menerima dengan tangan terbuka sejarah yang sudah diatur ulang?

Noam Chomsky pada bukunya “How The World Works” menyebutkan kudeta Soeharto pada 1965 memantik pembantaian yang menimbulkan 700.000 korban jiwa. Data lain menyebutkan jumlah korban mencapai angka setengah hingga satu juta jiwa (https://genosida1965wordpress.wordpress.com/2017/09/06/berapa-jumlah-korban-pembantaianpembunuhan-massal-1965-66-bukan-cuma-angka-mereka-bernama-dan-sepenuhnya-manusia/). Dan itu semua dilakukan tanpa proses hukum.

Di dalam film Jagal (2012) bahkan digambarkan ormas berseragam loreng oranye —paramiliter bentukan A.H. Nasution yang hingga kini masih eksis– ikut menyumbang dosanya dalam pembantaian orang-orang yang dituduh “kiri” di Sumatera Utara. Meski begitu, riwayat hitam ormas tersebut tidak menyurutkan antusiasme anak muda Indonesia yang pancasilais untuk bergabung atau sekedar menjadi simpatisannya. Lengkap dengan jaket loreng oranye.

September 19 tahun kemudian, Tanjung Priok menjadi kuburan bagi umat muslim yang berani menentang Suharto. Kala itu, Suharto dengan segenap jajaran militer lainnya gencar mempropagandakan pancasila sebagai asas tunggal. Siapa saja yang berseberangan dengan pemerintah akan dituduh anti-pancasila. Seoharto juga mengumumkan akan menculik (menghilangkan) politisi yang menolak pemberlakukan asas tunggal Pancasila.

Tentu dalam negara demokrasi, perbedaan cara pandang politik merupakan hak dasar warganya, tetapi rezim kala itu –juga rezim sekarang– melakukan cara apa saja agar tampuk kuasa tetap bertahan, meski harus membunuh umatnya sekalipun. Buktinya, tidak kurang dari 400 nyawa umat muslim melayang di tangan tentara (data Solidaritas untuk Peristiwa Tanjung Priok atau SONTAK), pada 1984. Itu pun belum yang luka dan hilang. Hal itu semua didasari oleh sikap kritis terhadap negara yang otoriter.

Negara hari ini pun –yang mengaku negara demokrasi– masih mengadopsi cara-cara otoriter untuk melemahkan kelompok-kelompok atau individu-individu yang kritis, yang kerap bersuara lantang menentang pemerintahan yang zalim. Juga yang tidak satu garis politik dengan pemerintah. Misalnya pembubaran organisasi yang terjadi pada kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), pembubaran seminar sejarah 1965 di Jakarta, Marsinah yang tewas disiksa, sampai Munir yang tewas diracun. Padahal dalam UUD 1945 pasal 28 E ayat 3 dikatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.

Mungkin ayat itu juga yang dipegang oleh Munir saat lantang mengkritik militerisme di Indoneisa. Peran munir yang vital kala itu menjadi momok bagi militer, terutama mereka yang pernah berjaya bersama Orde Baru. Jodhi Yudono, wartawan dan musisi, pernah bercerita diteriaki tentara muda pada Mei 1998. Tentara itu berteriak “sana lapor ke Munir, kita nggak takut”.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) adalah salah satu warisan Munir yang membuat namanya kian berbahaya dan muncul ke permukaan kala mengadvokasi kasus-kasus yang melibatkan militer. Tak ayal hidupnya kerap diteror oleh negara. Mulai dari hampir diserempet mobil, diancam lewat surat, telefon dan sms hingga dikirim paket berisi bom berdaya ledak rendah. Tapi ketika keluarga melaporkan ancaman-ancaman tersebut, polisi tidak merespon. Hanya penyerangan kantor KontraS saja yang ditindak lanjuti dan mendakwa lima orang sebagai pelakunya.

Sayang, pada 2004 kita harus kehilangan sosoknya, sosok pejuang yang bukan pahlawan, sosok suara yang lantang, dan sosok musuh negara yang nasionalis. Munir dibunuh karena benar saat terbang ke Amsterdam dengan pesawat Garuda. 14 tahun beralau, aktor intelektualnya masih menghirup nafas bebas di luar sana.

Setelah Suharto turun, tepatnya saat Habibie yang romantis itu menjadi presiden, korban negara tetap berjatuhan. September 1999, setelah melewati serangkaian demonstrasi pada 1998, mulai tragedi Trisakti sampai Semanggi I, mahasiswa kembali menjadi korban kebrutalan aparat saat aksi penolakan terhadap Undang-undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB). Tragedi itu dikenang dengan nama Semanggi II. Alih-alih ingin memisahkan militer dari peran politiknya, justru dengan akan diterbitkannya UU PKB akan memudahkan ABRI untuk melakukan operasi militer sesuka jidatnya. Yun Hap, mahasiswa Universitas Indonesia menjadi korban tewas aparat. Di Lampung, dua orang mahasiswa Universitas Lampung Muhammad Yusuf Rizal dan Saidatul Fitriah, tewas tertembak di depan Koramil Kedaton

Mereka menolak pemberlakuan UU PKB yang bahayanya bisa mengancam siapa saja yang dianggap berbahaya oleh negara, mengingat sudah banyak korban jiwa akibat ulah aparat. Persis dengan revisi UU Terorisme yang baru diterapkan beberapa waktu lalu. Ditambah dengan pelibatan militer dalam revisi UU tersebut. bedanya, tidak ada aksi penolakan dari mahasiswa dalam gelombang besar seperti tahun 1999.

Mungkin propaganda orba masih lestari di kalangan mahasiswa sekarang lewat citra-citra negara dalam bentuknya yang nasionalis, cinta tanah air, NKRI harga mati, TNI kuat bersama rakyat, dan slogan-slogan kenegaraan lainnya. Juga produksi budaya yang anti-kritik menyebabkan kita manut, tunduk, patuh, dan memberi kesan negatif pada kritik. Bahwa mengkritik pemerintah itu adalah bagian dari –meminjam istilah bekas walikota Bandung yang centil itu— LSM kiri. Bahwa hidup di negara demokrasi itu adalah soal kebebasan berpendapat, termasuk di dalamnya mengkritik negara yang zalim. Dan mahasiswa (seharusnya) selalu berada di garda paling depan untuk mengkritik otoritas, seperti pada senjakala orde baru

Semoga krisis kritis ini segera berakhir.

 

Editor: Rizky Mardiyansyah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *