Refleksi Musik Dalam Generasi Komputer
Mengutip perkataan mantan penggebuk drum Nirvana “If the Number One song is about your butt, that’s a problem.” Sekiranya bisa menyadarkan generasi abad milenial kedua tentang karya musik yang sudah mereka hasilkan. Dave Grohl sendiri juga secara jelas menyatakan bahwa musik pop saat ini sudah sangat superficial, yang secara harfiah berarti dangkal atau tidak bermakna.
Gambaran durasi singkat mengenai suatu generasi dalam sebuah karya memang bisa dituangkan dalam sebuah alunan musik. Misalnya pada tahun 1980-an yang identik dengan gelora rebel. Pemuda-pemuda berkaos hitam di masa itu menyuarakan tentang omong-kosong yang pemerintah adidaya sebarkan soal masa kedamaian dan jargon-jargon mengenai kerukunan. Pada rentang tahun tersebut, kenyataannya telah terjadi perang antara Iran dan Iraq yang berhasil menewaskan satu juta umat manusia. Selain itu, ada bencana radiasi nuklir yang sangat mengerikan di Chernobyl, serta puncaknya adalah keruntuhan Tembok Berlin sebagai simbol berakhirnya perang dingin. Pemerintah macam mana yang mengatakan bahwa situasi tersebut aman-aman saja?
Pemuda-pemuda urakan berkaos hitam tadi merasa geram dengan keadaan tersebut. Dengan cepat mereka menciptakan musik yang bisa membungkam omong kosong yang selama ini pemerintah cekoki kepada rakyat jelata, terciptalah aliran musik underground yang bisa merangkak naik ke ranah mainstream yaitu thrash metal. Aliran ini dipentoli oleh “The Big Four” , sebutan bagi Metallica, Anthrax, Slayer, dan Megadeth. Dedikasi mereka terbukti dari lirik-lirik lagu yang sarkastis dan memiliki makna yang ‘mendalam’.
Coba saja dengarkan salah satu lagu Megadeth berjudul Peace Sells But Who’s Buying? yang secara gamblang menceritakan tentang tragedi peperangan yang terjadi di era 80’an, dengan balutan distorsi Marshall yang khas, tampilan rambut gondrong, dan celana jins ketat—yang saking ketatnya sudah seperti menempel pada kulit sendiri—Megadeth berhasil mengubah mindset khalayak umum tentang fenomena sub-kultur yang semula sangat tabu.
Semburan distorsi perubahan tetap berlangsung pada dekade selanjutnya, terlebih lagi di tahun 90’an dunia musik mengalami industrialisasi besar-besaran. Hal ini dikarenakan label-label rekaman yang ada pada saat itu semakin mengeksplorasi aliran-aliran yang sebelumnya kurang diminati publik. Maka lahirlah sub-genre fenomenal dari rock alternatif yang dikenal sebagai grunge.
Pergerakkan grunge di masa itu juga cukup masif, diprakarsai oleh single ”Smeels Like Teen Spirit” dari Nirvana yang sampai saat ini telah terjual hingga delapan juta copy di seluruh penjuru dunia. Lagu sederhana dengan komposisi chord yang bisa diulik bahkan oleh amatiran yang baru belajar gitar ini berhasil mengisahkan tentang kehidupan remaja yang apa adanya, absurd, dan cenderung agresif.
Kurt Cobain sendiri, sang frontman Nirvana, memang ingin menciptakan karya-karya yang jujur tanpa bualan tentang ketenaran seperti yang disodorkan oleh industri kapitalis. Berangkat dari keinginan dan pemahaman Nirvana tentang musik yang mereka hasilkan membuat masyarakat di dekade 90’an memiliki motivasi kuat dalam mengeksplorasi musik itu sendiri. Kematian nahas Kurt Cobain juga mungkin menjadi salah satu trigger pemuda-pemuda di Inggris untuk menciptakan British Pop.
Lagu-lagu terkenal yang berhasil menduduki tangga nada internasional seperti Wonderwall buatan si Gallagher bersaudara atau Beautiful Ones karya Suede itu masih seputar tentang kehidupan orang-orang di era 90’an yang dibalut dengan musik sederhana, tidak ngejelimet, dan berisi tentang realitas yang dialami sehari-hari. Itulah sekiranya bentuk dari pendefinisian musik menurut dekade 90’an.
Namun sekarang, perhatikanlah isi playlist dari gadget orang-orang di masa kini. Lagu apa saja yang ada di dalam gawai mereka? Seperti apakah lirik-liriknya? Apakah lagu yang didengarkan dapat menembus tirani neo-kapitalisme? Apakah masih ada yang melestarikan musik-musik di era keemasan, di saat komputer dan teknologi belum menjajah?
Kreativitas musisi dalam menciptakan karya yang otentik, dan ‘organik’ tentunya tidak terletak pada suara yang dihasilkan dari renderisasi program buatan perusahaan berlabel apel tergigit, bukan? Atau apakah masih ada orang-orang yang peduli dengan kepulangan Chuck Berry yang merupakan seorang founding father-nya musik saat ini?
Jika memang musik itu bisa diibaratkan sebagai cermin yang tergantung pada setiap pojokan intelegensi seseorang dan bisa merefleksi kan orang tersebut, maka cermin yang ada saat ini tentulah sangat berbeda dengan cermin yang ada pada puluhan tahun kebelakang. Musik dan kedekatannya dengan pribadi seseorang merupakan hal yang intim. Dalam kata lain, musik yang kita sukai bisa dijadikan refleksi tentang diri kita. Jadi? Lihatlah pantulan cermin tersebut, dan refleksikanlah yang sesungguhnya!
Teks: Afin Romli