Friksi Rasa

Semua telah usai, perjalanan ini terlalu lama diam. Kau acuhkan rasa yang sederhana Risa, mengabaikanku dalam sendu. Kapan kau akan sadar, ada pengorbanan yang tak biasa sudah aku berikan, menunggumu dalam diam. Aku tak pernah keberatan menunggu siapapun, berapa lamapun selama aku mencintainya. Namun menunggu tetaplah menunggu bukan? Satu hari bisa menjadi 3 tahun dan waktu-waktu yang kosong diisi berbagai macam duka. Aku sudah lelah terdiam, maaf aku hanya mampu menunggumu 3 warsa saja, rasa sudah muak, suci benar dirimu hingga kau rela mengorbankan cinta kepada si pecinta birahi. Terkadang ingin kuperkosa isi kepalamu itu, terlalu rapat hingga kau tak bisa bedakan mana rasa yang tepat.  Terimakasih pernah menjadi inti imajiku, aku hijrah untuk singgah.

Aku tak bisa lagi mencintai dengan rasa yang utuh semenjak terakhir kepadamu Risa, entah mengapa rasaku yang dulu bisa mencintai utuh sekarang runtuh tak mampu memberikan cinta yang penuh. Bukan tanpa usaha, beberapa kali aku sudah pernah memberi rasa, begitupun sebaliknya. Tapi mengapa rasa tak juga bisa jadi cinta, aku lelah seperti ini, aku rindu rasa yang jatuh sejatuh-jatuhnya dan memberikan suasana entah bahagia ataupun duka.

Sekarang yang kurasa bukan lagi sendu, tapi sunyi karena tak ada lagi rasa yang mampu mempengaruhi isi otakku. Sebenarnya apa yang membuatku terus layu dan bertanya-tanya pada air mata, siapa yang dapat membuatku jatuh seperti dulu. Aku rindu ketika tulisanku tumpah karena adanya orang yang dicinta, tak peduli bagaimana suasananya. Kembalilah kau inti imajiku, aku rindu bermain kata ditemani rasa yang berbunga.

Aku terus mencari, aku tak peduli lagi tentangmu Risa. Aku sudah lepas dari semua tentang kamu, aku yakin ada yang lebih bisa menyakitiku lebih dari kamu. Semoga senja tak lagi tertutup cuaca yang sedang rusuh, aku rindu ketika senja menyala, menimbulkan candu untuk bisa menetap disana, menikmati jingga, berdua, saling bertatap di antara ambang cahaya. Aku yakin aku bisa menemukan senjaku diberibu pantai yang mencoba merayu rasa yang lama layu.

Akhirnya aku menemukan, tapi mengapa menatap saja aku sungkan. Layaknya mendung tak berujung hujan, aku hanya diam melipat diri dalam awan. Aku ragu, rintikku kaku tuk mengemukakan. Kalaupun jatuh, rintikku ialah luapan doa yang tak mampu lagi ditampung awan. Aku menahan langkah, karena takut tersesat atau bahkan menyesatkan. Aku menahan pandangan karena aku tak ingin rindu. Tapi ternyata itu tidak mudah bila itu untukmu. Tapi aku terbit dari ufuk ketidakmungkinan dan tenggelam membawa beribu rasa yang tak mampu kusampaikan. Aku masih khawatir untuk menetapkan tepi.

Teks oleh: Deji Firza

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *