Perpustakaan Jalanan, Secuil Harapan Perbaikan Minat Baca Indonesia

Pict Source: Perpustakaan Banjaran.

Setiap Sabtu sore menjelang malam, jika tidak turun hujan, maka akan terlihat buku-buku yang berjajar rapih di salah satu sudut Alun-alun Banjaran, Kabupaten Bandung. Tidak hanya sakadar menggelar buku saja, terlihat juga sekelompok muda-mudi berdiskusi perihal problematika kehidupan yang sedang mereka rasakan, lalu di sisi lain terlihat beberapa pemuda sedang sibuk berkutat dengan cat sablon serta kaos polos. Mereka menawarkan jasa sablon kepada para pengunjung tanpa memasang nominal biaya alias se-ikhlasnya, sebagai bentuk donasi untuk keberlangsungan Perpustakaan Jalanan Banjaran.

“Karena setiap lembarnya mengalir berjuta cahaya, karena setiap aksara membuka jendela dunia” sepenggal lirik dari lagu Efek Rumah Kaca yang berjudul “Jangan Bakar Buku” sontak terlintas di benak saya ketika melihat beberapa anak kecil sedang khusyuk membolak-balik halaman buku dongeng yang disediakan oleh Perpustakaan Jalanan Banjaran.

Eff salah satu pengagas Perpustakaan Jalanan Banjaran menjelaskan, bahwa dia dan beberapa kawannya sengaja membuka perpustakaan jalanan serta meminjamkan buku secara gratis kepada siapapun, dengan tujuan untuk meningkatkan minat baca di masyarakat, khususnya di sekitar Banjaran.

Dalam hal literasi, dari hasil studi World’s Most Literate Nation (WMLN) yang diterbitkan Central Connecticut State University, Indonesia menempati peringkat 60 dari 61 negara dalam hal literasi dan membaca, peringkat kedua terendah setelah Bostwana.

Sementara itu, dilansir dari Databoks, Kementerian Pendidikan dan Budaya (Kemendikbud) menyusun Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca). Kegiatan literasi dipengaruhi beberapa factor, di antaranya adalah kecakapan, akses, alternatif, dan budaya. Kategori Indeks Alibaca terbagi atas lima kategori, yakni sangat rendah (0-20,00), rendah (20,01-40,00), sedang (40,01-60,00), tinggi (60,01-80,00), dan sangat tinggi (80,01-100). Indeks Alibaca menunjukkan, hanya sembilan provinsi yang masuk dalam kategori sedang, 24 provinsi berkategori rendah, dan satu provinsi termasuk sangat rendah. Rata-rata indeks Alibaca nasional berada di titik 37,32% yang tergolong rendah.

Dari data di atas, rasanya akan sangat menyedihkan jika itu memang benar sedang terjadi. Padahal Indonesia banyak melahirkan para penulis andal, sayang sekali jika gagasan-gagasan yang mereka tawarkan tidak tersempaikan, lebih parahnya tidak ada yang peduli.

Eff bercerita, terbentuknya Perpustakaan Jalanan Banjaran berawal dari segelintir pelajar yang resah karena minimnya minat baca di kalangan masyarakat, kesulitan atas akses literasi, serta kurangnya fasilitas ruang baca. Hal-hal tersebut menjadi faktor yang paling terasa. Kurang lebih sudah empat tahun Perpustakaan Jalanan Banjaran telah bertahan dengan harapan dapat “menggebrak” ruang publik yang sejatinya adalah ruang terbuka untuk diakses oleh siapa saja, tanpa mengenal suku, ras, agama dan kepercayaan, serta sekat-sekat lainnya. Lewat Perpustakaan Jalanan Banjaran, Eff dan rekan-rekannya bertekad untuk “menghidupkan” ruang publik melalui berbagai kegiatan literasi.

“Kami mencoba untuk mendobrak kebiasaan orang-orang yang baca buku di perpustakaan biasa, yang tidak boleh berisik apalagi sambil merokok. Adanya tempat alternatif seperti ini (perpustakaan jalanan) semoga dapat dimamfaatkan oleh masyarakat sekitar yang mau membaca buku dengan bebas” ujar Eff.

Buku-buku tersebut tersusun rapih dengan berbagai macam genre, mulai dari sejarah, novel, dongeng anak, dan lainnya. Dengan banyaknya pilihan membuat siapapun bisa mampir ke Perpustakaan Jalanan Banjaran, baik itu dari kalangan orang tua, remaja, hingga anak-anak. Ada pula beberapa rilisan zine dari berbagai komunitas yang aktif, baik itu dari segi musik maupun aksi-aksi sosial di sekitaran Bandung Raya.

Sejauh ini Perpustakaan Jalanan Banjaran bisa bertahan dengan “memengang” teguh prinsip yang telah disepakati sebelumnya, yaitu dengan cara kolektif yang bebas tanpa adanya peraturan yang mengekang, serta didukung dengan semangat kebersamaan.

“Kita tidak menstrukturkan anggota secara serius, jadi siapa saja boleh datang dan ikut berkontribusi serta berdiskusi di Perpustakaan Jalanan Banjaran,” ujar Eff sambil membakar ujung batang rokoknya.

Demi terciptanya Perpustakaan Jalanan Banjaran, secara sukarela Eff dan kawan-kawanya sepakat untuk mengumpulkan buku-buku milik pribadi yang sudah selesai dibaca. Ia juga menyatakan bahwa, perpustakaan tersebut memerlukan lebih banyak lagi buku-buku, agar para pengunjung bisa mendapat pilihan bacaan yang lebih bervariasi. Eff juga menambahkan, sumbangan buku dari pihak manapun akan sangat bermanfaat untuk kelangsungan Perpustakaan Jalanan Banjaran.

“Kami terbuka dengan segala bentuk donasi, contohnya kami menerima buku-buku donasi dari kolektif-kolektif yang lain salah satunya: Perpustakaan Jalanan Bandung, ada juga buku-buku dari kampus-kampus ataupun dari individu-individu yang mendukung kegiatan Perpustakaan Jalanan Banjaran ini” ujarnya.

Perpustakaan Jalanan Banjaran hadir sebagai alternatif bagi siapapun yang ingin mebaca buku tanpa mempedulikan kondisi ekonomi, Eff dan kawan-kawan Perpustakaan Jalanan Banjaran tidak keberatan apabila ada orang yang mau meminjam buku untuk dibawa pulang.

“Kalo mau pinjam persyaratannya hanya diminta data diri saja, mengembalikan bukunya juga bebas kapan saja, asalkan setelah buku itu beres dibaca baru boleh dikembalikan. Sering juga buku yang dipinjam tidak kembali, tapi ya sudah tidak apa-apa, karena itu semua (buku)  isinya ilmu, jadi meskipun bukunya tidak dikembalikan lagi semoga ilmu di dalam buku tersebut terpakai dengan baik,” kata Eff dengan santai.

Tidak hanya sekedar membaca buku saja, Perpustakaan Jalanan Banjaran juga berusaha untuk membuka ruang-ruang diskusi kecil bagi siapapun yang berkunjung, serta membangun kegiatan-kegitan yang membuat salah satu sudut Alun-alun Banjaran menjadi semakin hidup.

“Kami juga di lapakan bukan cuman berdiskusi atau membaca buku saja, terkadang kami bikin kolase, menggambar, maraton puisi, membuka mimbar bebas, dan kegiatan lainnya yang bisa menambah wawasan serta memperkuat tali pertemanan,” kata Eff.

Perpustakaan Jalanan Banjaran mendapat respons yang cukup baik dari masyarakat sekitar. Vina, pegawai bank yang kantornya terletak tidak jauh dari Alun-alun Banjaran, mengungkapkan apresiasinya terhadap kegiatan Perpustakaan Jalanan Banjaran.

“Kegiatan seperti ini (menggelar buku) saya rasa harus terus dipertahankan dan dikembangkan, sebagai penyadaran bagi kita semua bahwa membaca buku itu harus dibiasakan,” ujarnya.

Disinggung mengenai kemungkinan pembubaran lapakan buku secara paksa, Eff mengaku bahwa mereka sering mengalami hal tersebut, namun itu tidak menjadi masalah yang berarti untuk Eff dan kawan-kawannya.

“Kami tidak akan takut untuk melawan, selama yang kami lakukan itu adalah hal positif bagi masyarakat, apa salahnya? Kami hanya sekadar menggelar buku, bukan menggelar narkoba,” kata Eff sambil tertawa. Eff hanya ingin menyampaikan kepada publik bahwa tidak ada buku yang berbahaya apalagi pantas untuk disita, segala bentuk bacaan akan menjadi wawasan.

Eff dan kawan-kawan Pespustakaan Jalanan Banjaran, hadir sebagai tamparan sekaligus harapan dalam memperbaiki minat baca di Indonesia. Sebagai penghubung antara aksara dan manusia, Perpustakaan Jalanan Banjaran hadir mengisi sepetak ruang untuk bertukar informasi. Sekecil apapun kegiatannya, apabila dilakukan dengan penuh keseriusan maka dampaknya akan terasa kuat, mereka percaya bahwa buku apapun yang dibaca pasti akan selalu terdapat ilmu yang bermanfaat di dalamnya. Membacalah, beri makan jiwa dan otakmu!


Teks Oleh: Fadli Firdaus.