Persoalan Tempat Tinggal untuk Milenial

Pict by: M. Abdi Octavian.

Oleh: Anisa Suci.

Melihat realita penduduk bumi yang terus bertumbuh, sedangkan bumi kita tidak ikut tumbuh.

“Rasanya saya harus kerja rodi plus nabung sejak bayi untuk dapat hunian di masa depan. Kecuali saya dari keluarga sultan.”

Pemikiran itu muncul setelah saya menonton salah satu video Vice Indonesia tentang perjuangan milenial mencari properti. Kita tahu pasar tanah akan selalu naik, bumi semakin sempit, manusia semakin terhimpit. Berdasarkan riset yang saya baca dari Lokadata.id bahwa pada tahun 2017 terdapat 17,8 juta keluarga milenial dan sekitar 40 persen di antaranya belum memiliki rumah sendiri. Artinya sekitar 40 persen itu mereka bisa jadi menyewa, tinggal di rumah dinas, atau tinggal di rumah mertua.

Dari data tersebut ternyata 59,2 persen dari total keluarga milenial sudah tinggal di rumah sendiri dengan luas rata-rata 36-70 meter persegi. Memang lebih dari setengah keluarga milenial di Indonesia sudah memiliki rumah sendiri, tapi itu hasil riset pada tahun 2017 dan saya baru membaca artikel tersebut di tahun 2020. Berarti terlampau tiga tahun dan selama itu ada banyak keluarga baru terbentuk.

Dengan harga tanah yang semakin tinggi dan ongkos bangun rumah yang selangit, sebenarnya apa penyebab hal tersebut bisa terjadi? Selain keterbatasan lahan itu sendiri pastinya. Ternyata hal tersebut dipengaruhi oleh pemerintah dan masyarakat yang cenderung menjadikan rumah sebagai barang investasi, bukan sebagai barang kebutuhan dasar. Tentunya perubahan nilai guna rumah sebagai barang investasi ini sangat memengaruhi harga jual.  Saya enggak bicara soal “ tergantung rumahnya kayak apa dan di daerah mana, masih ada kok yang murah”. Saya  coba simpulkan secara umum saja bahwa tempat tinggal memang semakin mahal.

Kembali pada riset dari Lokadata.id, ternyata terdapat grafik penjualan rumah (triwulan) dari tahun 2012-2018. Di tahun 2018 penjualan rumah memang menurun, tetapi bukan berarti harga rumah pun ikut turun. Milenial tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar mereka, padahal usia milenial yang terhitung produktif disebut-sebut bisa membantu pertumbuhan ekonomi negara. Tapi apa sempat memikirkan ekonomi negara? kalau dalam memenuhi kebutuhan sandang dan papan saja masih kesulitan.

Ditambah lagi dengan stigma yang beredar bahwa milenial belum bisa menentukan prioritas dan mengatur finansial, yang seringkali saya setujui. Seperti yang dikatakan Anton Sitorus seorang researcher dari Savill Indonesia kepada Vice Indonesia bahwa selain masalah keterjangkauan finansial, milenial lebih memilih menghabiskan uang untuk pergi traveling. Selain itu kebiasaan milenial yang lebih memilih enggan untuk bekerja keras tetapi ingin mendapatkan penghasilan tetap dan ingin memiliki waktu libur lebih banyak dibandingkan hari kerja juga turut memengaruhi gaya hidup dan pola pikir kita.

”Rasanya seperti sedang bercermin. Sering kali saya terlalu YOLO (You Only Live Once).”

Seiring pencarian saya di internet tentang milenial dan tempat tinggal, saya membaca artikel Drama Milenial Membeli Tempat Tinggal dari Lokadata.id yang mebuat saya sedikit lebih tenang. Ternyata ada arsitek asal Bandung bernama Yu Sing yang sudah 20 tahun bergerak di bidang hunian murah menawarkan solusi untuk kita kaum milenial. Ia membuat hunian mikro yang tetap memiliki fungsi utama yaitu kamar tidur, kamar mandi, dan dapur, bedanya hanya dari segi luas lahan. Rumah mikro yang ia pernah buat total luasnya hanya 18 meter persegi dengan luas lantai dasar 3×3 meter. Untuk saat ini mungkin membayangkan tinggal di rumah sekecil itu masih di luar nalar atau masih sesak untuk dibayangkan. Tetapi Yu Sing beranggapan bahwa kita harus realitis dengan harga tanah yang semakin tinggi, selain itu menurutnya membangun sebuah rumah tidak harus sekaligus jadi.

Saya membayangkan jika rumah mikro ini di masa depan akan jadi solusi bahkan tren. Ya, sebenarnya untuk keluarga yang memiliki tujuh sampai sepuluh anggota keluarga tentu tidak akan cukup, tapi disini Yu Sing menawarkan perhitungan yang realistis dalam membuat tempat tinggal. Jadi jika di masa depan ternyata saya memiliki banyak anggota keluarga, tinggal di rumah dengan luas 3×3 meter mungkin tidak akan menjadi pilihan saya, namun dengan perhitungan yang tepat serta pertimbangan dari berbagai aspek sepertinya masih ada harapan. Semoga semakin banyak arsitek macam Mas Yu Sing ini.

Dengan gaya hidup milenial yang lebih dinamis, rumah memang kadang hanya menjadi tempat beristirahat. Saya sepakat dengan prinsip dan misi yang dipegang oleh Yu Sing dalam membuat sebuah tempat tinggal.

“Semua masyarakat tak peduli status ekonominya bisa menikmati rumah dengan desain yang baik” -Yu Sing.


Editor: Jufadli Rachmad.