Kuliah, Karantina, Tunjangan Hari Raya

Gambar Ilustrasi: Bikry Praditya.



Oleh: Bikry Praditya Nur Alam
(Jurnalistik 2018)

Di masa pandemi ini, krisis terjadi pada beberapa sektor, terutama sektor ekonomi dan stabilitas pangan. Beragam profesi dari berbagai kelas sosial pun terkena dampaknya. Tapi, apakah hanya kelas pekerja saja yang merasakan dampaknya?

Kembali pada bulan Maret 2020, saat Kemendikbud mengedarkan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pencegahan COVID-19 pada Satuan Pendidikan, yang disusul dengan diubahnya sistem berbagai instansi pendidikan baik formal maupun informal, dari pertemuan tatap muka di kelas menjadi pertemuan secara daring di berbagai platform yang tersedia.

Mahasiswa dan dosen melakukan kegiatan belajar mengajar dari rumah masing-masing dengan bantuan gawai dan koneksi internet untuk mengakses berbagai platform seperti zoom, google form, atau platform yang dimiliki oleh universitas, di kampus biru sendiri disebut dengan e-learning.

Meskipun lebih praktis, namun hal tersebut tidak serta merta membuat kuliah daring berjalan mulus. Karena sebaik-baiknya sistem yang dibuat manusia, tidak lebih baik dari perasaan manusia itu sendiri. Beberapa keluhan dilontarkan para mahasiswa: dimulai dari pembelajarannya yang dirasa kurang efektif, hingga tugas yang tidak dapat dimengerti dengan jelas. Perubahan sistem mendadak ini tentu tak hanya berdampak bagi mahasiswa, tapi tentu juga bagi para dosen. 

Bukan hanya pembelajaran, pro-kontra juga terjadi pada urusan administrasi, yaitu perihal pembayaran UKT dan SKS yang notabene tidak terpakai secara optimal mengingat berbagai fasilitasnya pun tidak terpakai saat civitas academica diharuskan bekerja dari rumah saja. Lantas bagaimana nasibnya di masa pandemi ini?

Apabila mengacu pada Permenristekdikti No. 39 Tahun 2017, disebutkan bahwa pembayaran UKT atau BKT untuk menutupi keseluruhan biaya operasional yang terkait langsung dengan proses pembelajaran mahasiswa. Namun apa yang terjadi ketika fasilitas-fasilitas tersebut tidak dioperasionalkan dengan semestinya? Terlebih, perihal pembayaran UKT ini merupakan hubungan antara hak dan kewajiban; apabila kita telah memenuhi kewajiban, maka kita boleh menuntut hak kita.

Hal itu menjadi pemantik bagi para mahasiswa di berbagai kampus untuk melakukan berbagai aksi demi menuntut pihak kampus untuk memenuhi hak mereka.

Beberapa bulan lalu, di Bandung misalnya. Sebuah kelompok bernama Aliansi Mahasiswa Bandung Raya (AMBYAR) membuat serta membagikan poster berisikan tuntutan-tuntutan dari mahasiswa yang harus dipenuhi oleh pihak universitas. Beberapa tuntutannya antara lain; transparasi keuangan kampus, libatkan mahasiswa dalam kegiatan penganggaran keuangan kampus, serta menolak membayar UKT di tahun ajaran baru.

Walhasil, poster tersebut diunggah oleh banyak akun-akun media sosial berbasis mahasiswa, dengan harap dapat mengedukasi rekan-rekan kampusnya akan kebijakan janggal ini, hingga nantinya pihak universitas dapat memenuhi tuntutan mereka.

Sebetulnya, sudah banyak kampus yang melakukan subsidi bagi mahasiswa untuk tetap berkuliah di masa pandemi ini, yaitu dengan pemberian subsidi kuota atau uang tunai yang ditransfer langsung ke rekening mahasiswa. Namun jika dikalkulasikan, bisa dibilang tidak sepadan dengan apa yang telah kita bayar beberapa bulan ke belakang.

Lantas, salahkah mahasiswa menuntut pengembalian dana UKT? Pertanyaannya adalah “subsidi yang diberikan berasal dari mana?”, kurangnya transparansi alokasi dana yang dimiliki universitas membuat uang kita hanyalah menjadi pajangan sistem; bahwa kita sudah lunas atau belum. Namun jika subsidi tersebut pun berasal dari dana UKT, yang notabene merupakan uang yang kita bayarkan. Lantas mengapa dinamakan ‘subsidi’? Bukankah lebih tepat jika dinamai “pengembalian dana yang jumlahnya diatur universitas”?

Dalam tuntutannya, Aliansi Mahasiswa Bandung Raya memiliki beberapa usulan sebagai opsi; pengembalian 50% – 70% dana UKT, atau tolak bayar UKT di tahun ajaran baru. Bila melihat kondisinya di lapangan, sikap tersebut merupakan satu hal yang logis mengingat mereka melakukan aktivitas perkuliahannya di rumah–termasuk juga melaksanakan praktikum dengan peralatan seadanya.

Belum lama ini, Mendikbud, Nadiem Makarim mengatakan, kegiatan belajar mengajar di perguruan tinggi pada semua zona, masih dilakukan secara daring sampai batas waktu yang belum ditentukan. Bahkan pihaknya pun merancang skenario untuk belajar di rumah hingga akhir tahun 2020 nanti.

Dengan kebijakan tersebut, otomatis segala fasilitas kampus kembali tidak terpakai secara efektif. Jika kita menalar secara mentah, seharusnya ada potongan harga untuk pembayaran UKT pada tahun ajaran baru. Namun seperti yang kita tahu, kewarasan sistem dan aturan hanya bisa kita harapkan pada kampus yang bersangkutan.

Oleh karena itu, saya memiliki saran bagi pihak universitas yang bingung atau gengsi untuk mengembalikan uang mahasiswa karena tuntutan. Bagaimana jika pengembalian dana tersebut dilabeli “tunjangan hari raya”? Siapa tahu, banyak pihak universitas yang ingin merasakan sensasi sedekah dengan harap ganjaran pahala menjelang hari raya Idul Adha ini.

Pada hakikatnya, apabila kita telah melaksanakan kewajiban, maka kita boleh menuntut hak kita. Pandemi ini tidak hanya menyusahkan para kelas pekerja, namun juga bagi para mahasiswa dengan drama kuliah, karantina, dan tunjangan hari raya nya. Seharusnya, kampus menjadi pelarian dari dunia yang tidak pernah memberikan kejelasan hidup.

Sejatinya, kampus haruslah hadir sebagai pelipur lara dengan berbagai kisah dan aturan yang mereka janjikan di awal penerimaan mahasiswa baru. Menghadirkan semangat guna memotivasi dalam memandang dunia dari kacamata yang lebih positif lagi, memberi suntikan moral dalam menjalani kehidupan. Bukan menimbulkan rasa skeptis yang baru, kebijakan yang menipu, atau mengerangkeng mahasiswanya dalam prahara sistem yang tabu.



Editor: Ade Rosman.