Merayakan Kematian yang Tak Dikehendaki Tuhan

Gambar ilustrasi: Bikry Praditya.


Oleh: Bikry Praditya.
(Jurnalistik 2018)


Di suatu malam yang dingin, embun menutup nalar sejauh mata memandang, menyeruak malam menyerupa pagi. Singkat cerita, keadaan dihangatkan dengan pertanyaan seorang kawan “bagaimana tanggapanmu atas wabah penyakit yang merebak di negara ini?”, sontak aku berkata “pernah kau bercerita tentang kehebatanmu mengerjakan soal ujian dengan cepat, padahal nilai yang didapat bisa dibilang buruk? Pernahkah kau berusaha tegar agar orang lain menganggapmu mampu? Dan, ya, itulah yang terjadi saat ini, di negara ini, dalam situasi menghadapi virus menyebalkan ini”. Lalu kami pun terdiam, merenungi realita bahwa untuk sementara waktu semua dipaksa diam.

Andai pandemi ini Ujian Nasional, negara kita sudah mendapat banyak sekali kisi-kisi dari negara tetangga yang telah lebih dulu melaksanakan ujiannya. Namun apa mau dikata, negara ini begitu angkuh menerima fakta. Lucunya lagi, kita membuka pintu lebar bagi para turis untuk berwisata, tanpa kita sadari waktu ujian kita sebentar lagi tiba.

Entah mengapa, aku selalu merasa bahwa negara ini layak mendapatkan predikat “negara paling lucu” di dunia. Aku heran, mengapa masih ada orang yang ingin atau bahkan berprofesi sebagai komedian? Padahal negeri ini diisi oleh orang-orang lucu di tiap persimpangan jalannya.

Andai aku memiliki sebuah program yang berisi nominasi “komedian paling lucu seantero negeri”, tanpa pikir panjang pasti sudah kucantumkan nama-nama pejabat. Bagaimana mungkin kau bisa mengelak untuk mengakui selera humor mereka? Coba kalian renungkan tentang kebijakan-kebijakannya, aku yakin pasti ada saja yang membuat diri terbahak-bahak walau dengan iringan pecahan gelas setelahnya.

Dalam masa karantina demi mendukung gerakan #SocialDistancing ini saja, sudah banyak lelucon yang dilontarkan orang-orang penting di negeri ini. Mulai dari “balada si miskin dan si kaya”, statement bahwa virus corona tidak akan kuat bertahan di cuaca negeri ini; yang dikatakan saat negara ini memiliki 1790 orang yang terkonfirmasi positif dan 170 orang dinyatakan meninggal, tentu merupakan sebuah lelucon, bukan? Atau yang baru saja terlontarkan tentang pembebasan napi koruptor–sungguh membuat hari-hariku penuh tawa.

Manusia memang benar-benar mengonsepsi Tuhan. Mengulas segala kehendaknya untuk mencipta sebuah kemerdekaan dalam semayam penciptanya tanpa ingat jerit ronta sebagian kecil teriak pinta yang akan selalu ia jaga dalam ucap sumpahnya.

Saat aku terbangun, tetes air menyadarkan bahwa tahun ini umurku mengecup angka dua, begitu banyak cerita saat usia mengecup angka dua di tahun yang penuh derita. Selama itu pula aku baru menyadari bahwa malaikat pencabut nyawa tak seseram yang kita lihat dalam tayangan kartun. Ia bisa berupa apa saja, lebih bagusnya ia bisa mengenakan kostum apa saja, kadang seragam, kadang batik, atau bisa saja bersetelan rapi dengan jas warna hitam diikuti dasi yang melingkar di lehernya.

Mulai Maret dan entah sampai kapan–yang jelas selama virus itu masih berkeliaran–maka kusebut inilah yang dinamakan bulan perayaan. Perayaan atas berbagai macam suka-duka hidup, perayaan atas berdiam diri dalam labirin penjara batin, sebisa mungkin ku tahan–selepas itu pula kukeluarkan. Mengisi hari dalam rangka merawat akal sehat, merayakan rindu yang mulai nampak, merayakan berbagai kebijakan, merayakan kesepian, dan tentu merayakan kematian yang tak dihendaki tuhan.

Sayup-sayup kematian bukan datang dari genderang perang pandemi sialan, namun dari berbagai kebijakan “rancu” sebuah sistem yang menjadikan rakyat sebagai korban. Gema lirik “sistem yang paling baik adalah sound system” kian mengakar di pikiran. Tiap berganti malam, aku dan kamu sama lelahnya, tertatih jiwa berjibaku mencumbu layar maya, sebagian lain sibuk memperbaiki sistem yang terlanjur usang. Matinya sudut kota dalam asa membangun nyaman dengan cara yang tidak aman, semua sama lelah, semua sama rugi, menjalani hari dalam bayang-bayang tawa jahat pejabat dalam lambannya penanganan atau sekadar mengakui kewalahan.

Kematian yang tak dikehendaki oleh siapapun selain oleh ketidakpastian kapan akhir dari segala penderitaan ini akan datang? Malaikat pencabut nyawa masih sibuk mengejar kamera, berbagi tawa di layar kaca, sebelum mengetuk masuk pintu rumah mengenakan kostum yang ingin ia gunakan. Terkadang bawahan tak selalu harus mengiyakan kehendak atasan.

Ketika ini semua telah usai, isak tangis mengiringi setiap langkah menuju jalanan. Gelak tawa kembali penuhi ruas kehidupan. Namun tidak denganku, murung lugu dalam kesendirian, sebab ku yakin malaikat pencabut nyawa masih berkeliaran, mengusung segala propaganda tuk kembali bersama merayakan kematian yang tak dikehendaki Tuhan.



Editor: Ade Rosman.