Pers dan Independensi yang Masih Semu

Pict Source: Nalarpolitik.com

Oleh: Jufadli Rachmad.


Pers hari ini sudah terbebas dari kelamnya orde baru. Namun, apakah wartawan sudah sepenuhnya merdeka? Lalu mengapa independensi pers hari ini masih – bisa dibilang – belum terpenuhi secara maksimal. Kebebasan pers nasional dari intervensi pihak pemerintahan sebenarnya telah didukung oleh berbagai undang-undang. Salah satunya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang dalam pasal 4-nya mempertegas bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, selain itu disebutkan juga dalam pasal ini bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelanggaran penyiaran. Bersama dengan lahirnya undang-undang ini kebebasan pers di Indonesia pun turut lahir, pers seolah siap lepas landas menuju masa depan yang lebih baik.

Namun bersama kebebasan tersebut, lahir pula tekanan baru bagi pers. Setelah lepas dari tekanan pihak pemerintahan, pers kini harus menghadapi tekanan lain yaitu dari masyarakat sebagai publik sekaligus khalayak bagi pemberitaan yang disampaikan. Pers seakan dibuat kewalahan mengikuti selera pasar yang kian hari semakin nyinyir dalam menyikapi setiap informasi yang beredar. Hal tersebut sedikit banyak tentu berpengaruh pada cara kerja pers itu sendiri, salah satunya dalam pemilihan sudut pandang suatu pemberitaan. Misalnya,  jika media memberitakan tentang penindasan terhadap kaum Ahmadiyah, beberapa pihak akan mengecap media tersebut memihak pada ajaran yang dianggap sesat oleh sebagian besar masyarakat.

Memang benar seyogianya pers perlu memuaskan masyarakat sebagai khalayaknya. Namun, ada nilai lain yang harus didahulukan dalam sebuah pemberitaan seperti faktualitas serta independensi atau kemerdekaan sang wartawan dalam mencetuskan gagasan. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi pers di masa depan untuk dapat tetap menyajikan kebenaran di tengah publik yang lebih mengedepankan apa yang ingin ia percaya dibanding apa yang benar-benar terjadi.

Belum cukup terbentur keinginan pasar, pers juga tidak merdeka dari pemodalnya sendiri. Lahirnya berbagai televisi swasta di tanah air, seakan memberi warna baru dengan nama  konglomerasi media. Televisi sebagai media dengan cakupan yang luas mulai dilirik oleh para pemodal sebagai sasaran bisnis yang cukup menguntungkan. Daya jangkau televisi yang luas menjadi ladang dengan nilai jual tinggi bagi para pengiklan, dan dari pengiklan inilah roda bisnis berputar.

Perputaran roda dalam ranah industri media tidak berhenti sampai di situ saja. Hingga kini banyak stasiun televisi yang melakukan merger, seperti MNC Group sebagai salah satu media di Indonesia yang telah menguasai berbagai saluran televisi seperti RCTI, GTV, MNC TV, serta beberapa media cetak tak ketinggalan platform lainnya seperti Seputar Indonesia dan Okezone. “Tuan” lainnya yaitu Trans Corp yang menguasai stasiun televisi Trans TV dan Trans 7, detik.com serta CNN Indonesia.

Meski konglomerasi media ini dapat dikatakan sebagai pelanggaran terhadap UU No. 32 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa sebuah badan hukum atau seseorang tidak boleh memiliki dan menguasai lebih dari satu izin penyelenggaraan penyiaran di suatu wilayah penyiaran yang sama, namun tidak dapat dipungkiri bahwa industri media merupakan kegiatan yang menguras materi dan sangat bergantung pada keberadaan pemodal.

Bergabungnya instansi pers ke dalam konglomerasi media bisa jadi menguntungkan agar suatu instansi tersebut tidak rubuh terbentur problematika finansial. Namun, yang menjadi permasalahan yang cukup besar di sini ialah sejauh mana intervensi sang pemodal dalam pemberitaan yang diterbitkan. Cukup beranikah pers mengkritik pemodalnya sendiri jika memang yang dilakukan pemodalnya berlawanan dingan nilai-nilai yang dianut suatu instansi pers yang bersangkutan? Karena jika tidak, kemerdekaan pers bisa dikatakan tidak jauh lebih baik dari rezim orde baru dulu. Pers tetap saja memiliki tuan, tugas tambahannya; melayani sang pemilik modal.

Apapun tantangan yang dihadapi di masa yang akan datang, masa depan pers tidak hanya tanggung jawab institusi/lembaga tertentu saja. Kita sebagai pembaca pun mempunyai tugas untuk mau berpikir di luar sudut pandang pribadi, serta mau menerima paparan informasi sesuai fakta yang ada. Begitu pun dengan pemegang modal dalam struktur konglomerasi media, sebagai pemilik kuasa penuh, semoga bukan hanya Rupiah yang ada di kepalanya.