Indonesia, Toleransi, Berikut Pribumi
Gambar Ilustrasi: Arif Setiadi via Pinterest.
Oleh: M Abdi Octavian.
“Tidak penting apapun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.” -Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Indonesia merupakan negara yang kaya, berbagai suku bangsa dengan beragam latar belakang – suku, agama, ras, dan bahasa – yang berbeda hidup berdampingan di negeri yang katanya agraris, namun lahan tani kian tergerus ini.
Tepat hari ini, 16 November 23 tahun lalu PBB resmi mencetuskan peringatan hari toleransi internasional. Dilansir dari laman web referensi.elsam.or.id, Sebelum PBB, ada UNESCO yang memelopori perihal perlunya toleransi digaungkan di setiap negara agar berbagai generasi ke depan selamat dari bencana perang. Lantas pada 16 November 1995 saat PBB merayakan hari jadi ke-50, UNESCO mengadakan deklarasi prinsip-prinsip tentang toleransi yang di dalamnya melahirkan enam butir pasal. Alasan lain UNESCO mendeklarasikan prinsip-prinsip tentang toleransi adalah prihatin dengan banyaknya kasus ketidakadilan, kekerasan, diskriminasi, dan marginalisasi di banyak negara.
Enam pasal hasil deklarasi prinsip-prinsip tentang toleransi bisa dilihat di https://referensi.elsam.or.id/2014/10/deklarasi-prinsip-prinsip-tentang-toleransi/
Bicara toleransi, terutama di Indonesia. Banyak individu maupun kelompok yang mengaminkan diri paling superior, paling benar, dan paling sedikit dosa. Adapula mereka yang merasa paling pribumi, paling pertama menginjakan kaki di bumi pertiwi, mengaku nenek moyang mereka memerawani tanah yang termasuk bagian dari Asia Tenggara Maritim (ATM) ini. Semakin menyebalkan ketika semua dibalut dengan kemasan berlabel “agama”.
Masih banyaknya kasus rasisme di Indonesia menunjukan negara ini belum bisa mengambil keuntungan dari keanekaragaman yang dimiliki. Salah satu contoh kasus yang baru-baru ini terjadi adalah beberapa kasus mahasiswa Papua. Dikutip dari Tirto.id, Jumat, 13 Juli 2016 lalu, adalah hari yang mungkin tak bisa dilupakan oleh Obby Kogoya, mahasiswa Papua di Yogyakarta. Di depan asrama Kamasan di Jalan Kusumanegara, tanpa tahu apa salahnya, ia dikejar-kejar, ditendang, dipukuli, lalu ditangkap petugas kepolisian.
Peristiwa itu diabadikan oleh fotografer lepas, Suryo Wibowo. Kameranya menangkap kepala Obby diinjak oleh polisi, ada pula foto ikonik mengabadikan perlakuan rasis aparat keamanan Indonesia terhadap orang Papua; kedua hidung Obby ditarik oleh kedua jari seorang polisi dan tangan Obby diborgol.
Tapi, keributan itu segera dilupakan publik. Ormas yang turut mengepung asrama bersama polisi juga terlupakan. Polisi daerah Yogyakarta berdalih: tidak ada kericuhan di asrama Papua Yogyakarta; kondisi di Yogyakarta kondusif; foto Obby Kogoya adalah hoaks. Bahkan, polisi berkata akan memburu penyebar foto itu. Masalah selesai. Obby justru diseret ke meja hijau dan diadili.
Keributan kembali terjadi dua tahun kemudian di Surabaya. Saat itu, mahasiswa Papua dikepung ormas dan polisi di asrama Kamasan di Jalan Kalasan. Sejak pagi, mahasiswa Papua yang belajar di Jawa dan Bali, tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua, menggelar aksi demo memperingati 1 Desember, dianggap sebagai hari kedaulatan Papua.
Selain kasus mahasiswa Papua, ada juga kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa dipanggil Ahok. Aneh, masyarakat bukannya buka mata dan melihat apa yang salah dari kasus tersebut. Tapi malah terkesan “bodo amat” dan semangat menyebar ujaran kebencian baik di sosial media maupun dalam kehidupan nyata.
Suudzon saya, hal itu muncul disebabkan karena Ahok seorang keturunan Tionghoa dan memeluk agama minoritas di negara ini. Salah satu ujaran yang ramai saat itu adalah, “siapa saja yang dukung penista agama adalah bajingan yang perlu diludahi mukanya”. Ujaran yang awalnya disebar oleh salah satu pentolan grup band “besar” di negeri ini.
Contoh terakhir, pembakaran gereja di Desa Suka Makmur, Gunung Meriah, Aceh Singkil, Aceh pada 2015 lalu. Mayoritas masyarakat setempat yang beragama muslim tidak terima dengan adanya gereja di daerah tersebut. Bahkan terjadi bentrok yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.
Melihat beberapa contoh kasus di atas, sebagian masyarakat Indonesia ternyata masih alergi dengan perbedaan. Tidak hanya sebagian masyarakat, penyakit alergi perbedaan ini telah menular kepada aparat penegak hukum, atau bisa jadi mereka yang menularkannya kepada sebagian masyarakat. Entahlah, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana Indonesia tetap nyaman dihuni oleh siapapun tanpa melihat berbagai latar belakang yang berbeda.
Sebenarnya, tidak perlu terlalu jauh menyinggung kasus-kasus besar. Coba kita sedikit menengok lingkungan sehari-hari kita, berbagai “ejekan” berbau diskriminatif dengan mudah bisa kita jumpai. Itu fakta yang memang ada – dan sepertinya sudah membudaya di sekitar kita. Lalu kita masih bisa berkata “ah itumah biasa”. Dengan adanya rasa maklum seperti itu, mencerminkan bagaimana sebenarnya sebagian dari kita masih belum siap menerima perbedaan.
Padahal Indonesia adalah salah satu negara multikultur terbesar di dunia, dikatakan oleh Kusumohamidjojo (2000:45), Indonesia terdiri atas sejumlah besar kelompok etnis, budaya, agama, dan lain-lain yang masing-masing plural (jamak) dan sekaligus juga heterogen “aneka ragam”. Sebagai negara yang plural dan heterogen, Indonesia memiliki potensi kekayaan multi etnis, multi kultur, dan multi agama yang kesemuanya merupakan potensi untuk membangun negara multikultur yang besar “multikultural nationstate”.
Entah karena kepentingan pribadi atau kelompok, banyak orang yang terlampau diskriminatif dan merasa lebih tinggi derajatnya dibanding orang lain. Padahal jika dipikir kembali, dengan keragaman hidup terasa lebih bewarna dan tidak monoton.
Ya, semoga saja kedepannya bangsa ini mau mengubah cara pandang perihal perbedaan. Tentu dibutuhkan peran semua kalangan, tentunya harus dimulai dari kesadaran. Dan terakhir, Selamat Hari Toleransi Internasional!
Editor: Ade Rosman.