Fanatisme Salah Arah
Sepakbola, sejatinya adalah olahraga yang banyak digemari oleh beberapa negara di dunia. Dalam olahraga ini kita dapat banyak menemukan hal yang sederhana namun menyenangkan, entah itu keunikannya sendiri ataupun kelebihan-kelebihannya, seperti halnya sepakbola yang bisa melahirkan kecintaan dan kepuasan batin tersendiri bagi orang-orang yang menyukainya. Di sini kemenangan dianggap menjadi sesuatu yang berharga bagi siapa saja penikmatnya, meskipun terkadang kekalahan atau hasil seri akan pula didapat nantinya. Itulah sepakbola yang dapat menciptakan keaneka-ragaman rasa di benak para penggemarnya.
Indonesia merupakan salah satu negara yang mengelola dan memiliki olahraga ini sejak era kuno sampai di masa modern sekarang. Maka tak heran jika sebagian mayoritas masyarakat Indonesia lebih memilih olahraga ini sebagai ajang sensasi mereka tersendiri. Sepakbola di Indonesia, awalnya hanyalah sebuah hiburan belaka. Namun lambat-laun, sepakbola mampu membentuk komunitas dan menjadi alat perjuangan di masa pra-kemerdekaan. Demikianlah, olahraga ini begitu digemari hingga sekarang, meskipun kering prestasi di level internasional.
Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi, bahkan pernah mengatakan bahwa sebenarnya sepakbola bisa diciptakan dimana saja, entah di sebuah kelas atau halaman rumah sekalipun.
“Anda tinggal membuat gawang, tak perlu tiang, cukup kasih tanda dengan mengukur jarak besarnya gawang menggunakan kaki. Kemudian mencari sesuatu yang menyerupai bola-bola plastik bisa atau bahkan gulungan tas plastik yang dibuat menyerupai bola. Ada juga yang menggunakan kelapa yang sudah dikupas tinggal batoknya saja.”
Indonesia sendiri memiliki beberapa klub-klub yang bernaung dalam wadah Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Sistem sepakbola yang ada negara ini tak jarang menuai kecaman dari beberapa kelompok pihak fans club yang merasa kalau peraturan liga atau ketentuan yang dibuat, merugikan tim kesayangannya. Karena itu jugalah fanatisme yang kuat sering mengarah pada sesuatu yang salah. Maka, rasanya tak akan lengkap jika kita membahas sepakbola tanpa dinamika supporter atau fans club di dalam permainan ini. Tulisan ini hendak menceritakan betapa sepakbola seakan menjadi ‘agama’ baru di Indonesia.
Setiap sudut kota memiliki klub sepakbola yang menjadi idola atau bahkan sering disebut dengan kebanggan di kota mereka. Menonton sepakbola adalah sebuah kewajiban, ibarat ibadah yang tak boleh ditinggalkan. Stadion menjadi tempat yang sakral dan wajib dikunjungi dengan membawa serta yel-yel, dukungan, dan teriakan fanatisme saat pertandingan. Para fans dan kelompok pendukung klub akan berbondong-bondong datang ke stadion setiap kali tim kebanggannya berlaga. Mereka akan selalu hadir dengan segala atribut dan seragam dengan warna ciri khas tim kesayangannya. Tak jarang, mereka pun akan berakhir ‘chaos’ diantara pendukung pada saat di penghujung permainan.
Akhirnya fanatisme salah arah pun muncul tanpa kita sadari. Beberapa tahun terakhir, justru banyak penggemar sepakbola di Indonesia yang menjadi tumbal ‘kegilaan’ olahraga ini. Mengapa banyak orang yang salah mengartikan rivalitas yang sesungguhnya? Apakah ini yang diartikan sepakbola sebagai ‘agama’ baru bagi beberapa kalangan? Saya pernah membaca sebuah kutipan dari salah satu pentolan supporter di tanah air kira-kira, Mas Batak Jore yang kira-kira berbunyi seperti ini;
“Jika sepakbola lebih berharga daripada nyawa, maka saya ikhlas hidup tanpa sepakbola.”
Seperti yang sudah kita ketahui, Indonesia memiliki dua basis fans club terkenal yang bersumbu di Bandung dan Jakarta. Keduanya memiliki basis pendukung yang cukup banyak dan sangat fanatik. Bila di Eropa sana, mereka memiliki El-Classico, yaitu antara Barcelona vs Madrid di Spanyol. Sementara rivalitas di Inggris terkenal dengan Manchester United vs Liverpool, maka Indonesia mempunyai Persib vs Persija.
Nah, lalu bagaimanakah dengan rivalitas kedua pendukung klub tersebut? Sekalipun pertandingan sepakbola belum berlangsung, tetapi suasana tegang di kedua-belah kubu akan tetap terasa sebagaimana kedua tim yang akan berlaga pada hari itu. Entah itu diperjalanan antar daerah perbatasan, ataupun di luar stadion. Seakaan-akan hampir membutakan mata kita siapa lawan siapa kawan, para supporter itu akan saling menyerang secara membabi buta. Tak jarang juga perselisihan mereka menelan korban jiwa, seperti halnya tragedi alm. Rangga pada saat menyaksikan laga Persija vs Persib di Stadion Utama Gelora Bung Karno, pada tahun 2012 lalu. Atau bahkan yang teranyar adalah alm. Ricko Andrean sebagai salah satu korban fanatisme kelompoknya sendiri.
Tetapi, di balik segala kericuhan dan kebencian yang terjadi, ada banyak hal juga yang patut dipuji dari loyalitas supporter di Indonesia. Salah satu contohnya seperti apa yang dilakukan oleh kelompok pendukung PSS Sleman yang bernama Brigata Curva Sud atau yang lebih akrab dikenal dengan sebutan BCS. Mereka telah menarik perhatian media internasional lewat media sosial youtube dengan aksi-aksi koreografinya yang penuh dengan kreatifitas— sembari menyalakan red flare— di setiap akhir pertandingan.
Kecintaan masyarakat kita akan olahraga sepakbola telah mengakar dan sangat sulit untuk dihilangkan begitu saja dari budaya bangsa ini. Bangsa yang dikenal besar dengan pluralismenya. Lihatlah, pada saat Timnas Indonesia berlaga, berbagai macam suku, ras dan agama akan bersatu menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Ya, di balik tragedi yang telah terjadi, sepakbola juga menjadi berkah tersendiri untuk negeri ini. Sudah seharusnya kita menyudahi segala kebencian dan permusuhan antar supporter dan mengingatkan mereka yang berseteru bahwa kecintaan mereka sejatinya adalah sama, yaitu olahraga pemersatu bangsa Indonesia. Jangan biarkan fanatisme buta tumbuh subur dan berlanjut ke generasi selanjutnya. Mungkin masih banyak lagi suara dari banyak orang lainnya yang ingin menginginkan rivalitas yang sehat. Rivalitas 2×45 menit yang sesungguhnya.
“Sepakbola adalah alat pemersatu.”
– Tan Malaka
Teks oleh: Sandy Mardiansyah