Barak Nomor Tiga
Teks Oleh : Faris Fakhriansyah (Jurnalistik 2012)
Berpuluh-puluh prajurit yang telah dibekali oleh berbagai macam pelajaran dasar-dasar perang telah bersiap untuk memilih barak yang akan dijadikan tempat mereka memilih spesialisasi keahlian masing-masing. Perang tak berkesudahan yang terjadi sepanjang 100 purnama tanpa henti ini memang mau tak mau memaksa sang Raja memberikan perintah wajib militer semacam ini kepada seluruh warganya.
“Siapapun, laki—perempuan, tua—muda, sehat—sekarat, seluruh penduduk di Negeriku ini, tanpa terkecuali, kalian semua mesti berperang mempertahankan Negeri!” kelak sang Raja memberi perintah di depan podium yang menjadikan rakyatnya berbisik-bisik.
Akibat perintah yang mendadak tersebut sebagian pergi tak menghiraukan, sebagian lagi memprotes keputusan sang raja, ada pula yang berkicau tak karuan, meski mereka tahu: tak satupun dari mereka bisa menolak keputusan mutlak sang raja.
Kini, berpuluh-puluh prajurit yang telah bersiap memilih barak telah dihadapkan pada suatu pilihan yang hanya datang sekali seumur hidup. Tak sedikit dari mereka merasa waswas, ada pula yang merasa sangat yakin karena sebelumnya telah berkonsultasi dengan para terpelajar mengenai barak terbaik mana yang mesti mereka pilih, sehingga ketika berperang nanti peluang untuk mati tertembak bisa menjadi lebih kecil.
Tiga barak tersebut kokoh berdiri di hadapan para prajurit. Dua barak telah sempat berganti nama, dan hanya satu barak saja yang tetap mempertahankan nama sejak batu bata pertama secara simbolis diletakkan oleh sang raja. Barak itu adalah barak nomor tiga.
Langkah pertama dimulai, para prajurit secara serentak berjalan menuju barak di hadapannya. Butuh sekitar beberapa menit berjalan untuk berhasil membuat para penduduk yang menonton dilanda ketegangan. Beberapa dari para penonton merupakan orang tua para prajurit, tetangga, pacar, bahkan ada pula seseorang yang belum dibayar hutangnya. Menonton dengan sinis berharap orang tersebut segera mati pertama.
Delapan buah pohon berjajar mengiringi langkah para prajurit. Empat di kiri, empat di kanan. Namun tiga dari delapan pohon telah tertebang secara misterius. Tak ayal, hal tersebut menjadi salah satu aib terkenal yang pernah dimiliki Negeri ini. Karena meski memiliki slogan untuk melindungi alam, tapi pohon yang menjadi kebanggan rakyatnya tersebut dibiarkan begitu saja setelah mati tak karuan. Tak satupun dari mereka tahu mengapa pohon tersebut tak pernah diganti, bahkan Sang Raja pun tak mengetahui. Konon, seseorang yang pintar dari Negeri jauh mengatakan nama pohon itu adalah pohon Kiara Payung.
Salah seorang prajurit menyempatkan untuk menghampiri satu pohon yang tertebang. Bagaikan seorang ibu yang melepas anaknya pergi ke perantauan, ia mencium pohon tersebut diiringi dengan beberapa perempuan yang jatuh pingsan karena tak kuasa menahan kesedihan. Kelak prajurit tersebut akan memilih barak nomor tiga.
Ada sebuah tradisi unik dalam pemilihan barak ini. Dalam perjalanannya ketika memilih barak, para prajurit akan disuguhkan oleh semacam kampanye dari setiap barak untuk meyakinkan sekaligus menggoyahkan pilihan yang sebelumnya telah dipilih di benak masing-masing para prajurit. Ada pula yang semula tak tahu harus memilih barak nomor berapa ketika di perjalanan melihat kampanye-kampanye tersebut, ia menjadi yakin harus memilih barak yang mana, layaknya orang tersesat yang kemudian diberikan peta.
Dari ketiga barak, kedua barak meyakinkan para prajurit untuk masuk ke barak mereka, terkecuali satu, barak yang tak pernah berganti nama justru melarang para prajurit untuk masuk ke barak mereka: barak nomor tiga.
Melihat hal tersebut para prajurit yang semula ingin masuk ke nomor tiga kini menjadi ragu. Ada pula yang semula memang ragu menjadi semakin mantap untuk tidak memasuki barak tersebut. Dan memang pada akhirnya barak tersebutlah menjadi barak yang paling sedikit dimasuki oleh para prajurit. Dari 60 prajurit, 27 ½ masuk ke barak nomor satu, 22 ½ ke barak nomor dua, dan sisanya, 10 prajurit masuk ke barak nomor tiga (termasuk pria yang sebelumnya mencium pohon mati).
Singkatnya, ke-60 prajurit yang masuk ke masing-masing barak mulai dipersiapkan untuk menghadapi perang dengan harapan mereka dapat menghentikan derita yang tak berkesudahan tersebut. Dan entah bagaimana caranya, justru ke 60 prajurit tersebutlah yang berhasil menghentikan perang, setelah sekian ribu prajurit sebelumnya mengorbankan nyawa dengan sia-sia. Masa-masa damai tersebut pun sebagian mereka habiskan dengan mengobrol ria dan terkadang mengenang masa-masa kelam di kala perang.
“Aku ingat ketika aku tak yakin bisa melewati ini semua. Seseorang di sebelahku bahkan menangis sekencang-kencangnya, berharap bisa melewati pelatihan yang tak lebih buruk dari neraka,” Merah bercerita pada Jingga dan Kuning, yang kebetulan ketiganya berasal dari barak yang berbeda. Ia pun melanjutkan:
“Beruntungnya kami, sepuluh orang yang datang bersama-sama tak pernah meninggalkan satu sama lain. Selalu berjalan beriringan, mengingatkan satu dengan yang lain. Meski terkadang berselisih paham, beradu pandangan, dan tak jarang menghadapi ketegangan.
“Pelatihan dalam barak kami seperti sebuah pendakian menuju gunung yang paling tinggi,” ia kembali bercerita. “Dan ketika kami bisa melewati setiap bagian untuk beristirahat, itu adalah masa-masa terindah bagi kami. Suatu masa yang tak terlupa ketika kami bisa tertawa merasakan bahagia. Sebelum bersiap melanjutkan sebuah perjalanan melewati miniatur neraka dan menghadapi neraka sebenarnya di luar sana,” Merah bercerita diikuti oleh Jingga dan Kuning yang terlihat mengamati dengan seksama ceritanya, ia kembali melanjutkan:
“Dan ternyata, sudah menjadi sebuah tradisi jumlah yang keluar dari barak tersebut harus sama dengan jumlah ketika pertama kali kami masuk. Itu sebabnya mengapa kami terbentuk menjadi sebuah satu kesatuan yang utuh dan takkan pernah bisa terpisahkan,” katanya kembali mengenang masa-masa ketika pelatihan di Barak.
“Sepertinya cerita di barakmu cukup berbeda dengan kita berdua. Beruntung kita masih berada di satu Bendera yang sama, Merah,” sela Jingga.
“Ya! Itu dia! Beruntung kita masih berada di satu Bendera yang sama, meskipun di barak yang berbeda,” jelas Merah.
“Namun satu hal yang selalu aku yakini,” katanya melanjutkan. “Ajaibnya, setelah melewati ini semua, kini aku tak memanggil lagi tempat tersebut barak, kini aku memanggilnya rumah,” terang Merah.
“Dan kini aku pun mengerti mengapa semula mereka melarang para prajurit untuk masuk ke barak tersebut: itu semata-mata karena keberuntungan bukanlah hal yang bisa didapatkan sembarang orang,” jelas Merah yang merupakan satu-satunya prajurit yang mencium pohon mati sebelum memasuki barak nomor tiga.
“Lantas dengan cerita indahmu semacam ini, siapa gerangan pemimpin di barakmu yang telah berhasil menanamkan rasa sedemikian rupa, Merah?” Kuning bertanya masih diselimuti rasa penasarannya.
“Seseorang tersebut adalah seseorang yang takkan pernah aku lupa rupanya, bahkan setelah aku mendekam di panasnya neraka dan terlampau bahagia di surga. Seorang yang seluruh bagian dimulai dari ujung rambut hingga ujung kuku kakinya mendecakkan seluruh kekaguman. Dan Ia telah begitu hebat, bahkan sejak dalam pikiran.
“Orang itu adalah: Julius Caesar,” tutup Merah mengakhiri pembicaraan.