Marsinah vs Wanita Pejuang Puncak Sosial

“Eh kamu tahu gak sih? Aku lebih pilih cowok yang mobilnya biasa aja tapi kasih duit terus, kayak pacarku dulu ketimbang cowok aku sekarang! Duh, mobil aja keren, minta uang receh satu juta pelitnya ampun! Padahal besok aku udah janjian shopping sama temanku, malu kan kalau sampai gak jadi …”
Begitulah kira-kira petikan dari percakapan dua orang wanita muda di sebuah salon yang kebetulan saya kunjungi. Uang dan wanita. Dua kata sederhana ini pastinya membuat lelaki di belahan dunia manapun keleyengan ketika mendengarnya. Fenomena gaya hidup kaum hawa di abad-21 yang semakin menggila ini entah itu untuk persaingan tingkat sosialita ataupun tingkat kampus mudah kita jumpai di lingkungan keseharian tempat kita bernaung.
Rasanya belum afdol kalau hangout tanpa menjinjing tas butik dengan merek yang terkenal, minimal dari ukuran harga termurah seharga perut puluhan manusia dalam sekali makan, agar bisa diakui oleh teman-teman sejawat. Yang penting bukan barang palsu karena Panas dong kalau dia punya, aku gak punya merek itu!
Media-media viral rupanya mempunyai peran pentingnya tersendiri mengenai fenomena tersebut. Dengan mudah kita dapat mengakses akun-akun selebriti dan menyelami kehidupan mereka. Apa saja sih benda-benda atau treatment kecantikan yang sedang hits? Mental perempuan yang tak tahan melihat kehidupan mewah akan segera memenuhi hasrat dan obsesi mereka dalam perjuangan status sosial. Maka tak ayal lagi jika om-om batu bara dan papa-papa pejabat rela mengeduk harta rakyat demi rengekan mereka.
Lalu apa kabar seorang Marsinah bila dibandingkan dengan para wanita itu? Inilah poin yang hendak saya angkat. Bukan maksud penulis bersikap Judgemental, toh ini bukan pengadilan langit. Saya suka pergi ke salon dan tempat spa, membeli make-up, tas, sepatu, dan baju-baju bagus, semata-mata hanya untuk memenuhi naluri wanita dalam memanjakan dirinya. Namun bila itu ditujukan untuk persaingan belaka, tentu saya tak setuju. Dua puluh tiga tahun lalu Marsinah tewas berjuang melawan antek-antek pemeras tenaga buruh sementara perempuan-perempuan lainnya berjuang mempertahankan dirinya di dalam puncak eksistensi sosial. Such a black comedy

Nah teman, sekarang perlu kita pahami bahwa ternyata harum dan lembutnya rambut sehabis dari salon tak bisa saingi keringat juang Marsinah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *