Sebuah Manifestasi Jurnalistik: Ikuti Kata Nurani, atau Mengkhianati?

Perhelatan tentang kasus hitam putih di Fikom Unisba telah berlangsung kurang lebih satu tahun. Singkatnya, pihak fakultas tetap bersikukuh mengikuti surat keputusan yang dikeluarkan Rektor mengenai pemakaian seragam hitam putih daripada mendengar suara masyarakat Fikom yang ingin mempertahankan pengunaan kemeja dan almamater saat ujian. Inilah yang harus kita pertanyakan. Lagi-lagi mahasiswa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan mengenai pemakaian seragam hitam putih atau peraturan lainnya yang lebih berpengaruh. Tentu pengambilan keputusan secara sepihak ini dapat berimbas pada putusan-putusan selanjutnya yang jauh lebih penting. Lantas apa bedanya kita sebagai mahasiswa yang dituntut untuk kritis, dengan siswa yang selalu dicekoki sesuatu tanpa pertimbangan apapun?
Atas dasar itulah perwakilan setiap angkatan mahasiswa aktif jurnalistik (2011,2012,2013, dan 2014) telah mengadakan forum hari Jum’at lalu dan telah sepakat mengambil sikap sebagai berikut:
⦁ Tetap menggunakan almamater dan kemeja saat UTS, Senin, 9 November 2015 mendatang
⦁ Siap untuk dikenai sanksi yang berlaku. Jika harus gugur, kita bersedia gugur dan tidak akan mengikuti UTS berikutnya sesuai dengan sanksi yang berlaku. Karena kita berpikir, jika mayoritas mahasiswa Jurnalistik dikenai sanksi dan gugur dari ujian, maka fakultas akan terkena dampak dari hal tersebut, entah akreditasi, citra, dan banyak hal lainnya. Akan tetapi, poin ini akan dikatakan berhasil jika mayoritas dari kita ikut serta dan dikenai sanksi.
seperti ini. Adapun indikator yang telah disepakati oleh forum yang menjadi acuan keberhasilan pergerakan ini, yakni sebagai berikut:
⦁ Mempertahankan pemakaian kemeja dan almamater ketika ujian berlangsung untuk seluruh angkatan Fikom Unisba.
⦁ Dilibatkannya mahasiswa dalam setiap pembentukan Surat Keputusan Dekan.
⦁ Membuat celah untuk memperbaiki sistem yang lebih penting dari peraturan ujian. Contoh: sistem pembayaran kuliah, sistem input data nilai kuliah, sistem pelayanan akademik, sistem pengambilan kartu ujian, serta masalah lainnya yang bisa diangkat dalam forum.
Akan tetapi, ini semua kembali terhadap keputusan setiap individu. Karena jika kita menyeragamkan suara kita secara paksa untuk melawan sebuah keseragaman, apa bedanya kita dengan pihak mereka? Di balik itu, kita sebagai mahasiswa Jurnalistik yang bertugas sebagai watch dog atau anjing penjaga, tentu tidak hanya sekedar kata atau teori semata. Dalam pergerakan inilah kita mengaplikasikan ilmu yang kita dapat dalam perkuliahan di kelas. Selain harus meliterasi media, tentu kita pun harus meliterasi peraturan yang sebenarnya kurang pantas dan sewenang-wenang. Kemudian, mengambil intisari dari elemen terakhir dari jurnalisme Bill Kovach yang mengatakan bahwa “setiap jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti hari nurani mereka”. Maka silahkan ikuti hati nurani kita sendiri, apakah kita akan mengikuti pergerakan ini dan menyuarakan hati nurani serta menjaga kesucian idealisme kita? Ataukah kita tetap membungkam suara dan akan selalu diam ketika dicekoki segala sesuatu yang merugikan kita? Silahkan, semuanya kembali pada keputusan individu, setiap orang tentu mempunyai free will masing-masing. Apakah akan mengikuti hati nurani? Atau dengan sepenuh sadar mengkhianati?
NB. Setiap hari setelah UTS kita membuka shelter di Pelataran sebagai titik temu selama pergerakan ini berlangsung. Kita tunggu kehadiran teman-teman semua dengan “senjata” almamaternya masing-masing.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *