Sanggar Tari Setialuyu: Ekspresi Perlawanan terhadap Gerusan Arus Modernisasi
(Foto: Anthony Nitibaskara)
Oleh: Faisal Firdaus
Tarian adalah ekspresi manusia yang paling universal. Ia melampaui batas-batas sosial dan budaya, memungkinkan orang-orang dari berbagai latar belakang untuk terlibat, berinteraksi, dan berbagi pengalaman. Di banyak budaya, tarian bukan sekadar hiburan; ia adalah cara bagi masyarakat untuk melestarikan dan menjaga identitas budaya mereka tetap hidup. Gerakan-gerakan yang ditampilkan bukan hanya keindahan fisik, melainkan representasi dari nilai-nilai yang tertanam dalam budaya setempat.
Di era modern ini, pengaruh budaya asing dan nilai-nilai globalisasi semakin kuat, yang sedikit demi sedikit memudarkan nilai sosial dalam masyarakat. Nilai-nilai tradisi yang tertanam dalam tarian mulai tergeser. Namun, bagi mereka yang memahami makna terdalam dari tarian tradisional, gerakan-gerakan ini tetap menjadi bentuk perlawanan dalam mempertahankan identitas budaya bangsa. Dalam setiap tarian tradisional, tersimpan simbol-simbol ketahanan dan kebanggaan bangsa yang tidak boleh hilang atau tergantikan.
Di setiap sudut Nusantara, seni tari Indonesia menari dalam tiap helaan napas budaya. Setiap gerakan mengandung makna, setiap tarian mengisahkan tradisi yang kaya dan mendalam. Seni tari tradisional kita hidup sejak zaman prasejarah, ketika tarian digunakan sebagai sarana komunikasi, media ekspresi dalam upacara keagamaan, adat, dan ritual lainnya. Di balik tiap gerakannya, terukir cerita atau mitos yang diyakini oleh masyarakat.
Indonesia menjadi rumah bagi berbagai tarian yang kini memukau dunia. Tari Jaipong yang gemulai lemah lembut, Tari Kecak yang mistis, Tari Topeng yang misterius, dan Tari Saman yang energic adalah sebagian kecil yang mewakili kekayaan ini. Di tengah riuh budaya asing di Indonesia, tarian-tarian tradisional Indonesia berdiri megah, menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini. Tak sedikit sanggar seni berdiri sebagai benteng kokoh yang melestarikan seni tari, salah satunya di Jawa Barat yang memiliki peranan penting dalam berkembangnya seni tari tradisional. Di Bandung, kota yang terkenal dengan semangat kreativitasnya, tercatat lebih dari 400 sanggar seni menjadi tempat persemaian bakat-bakat muda. Kondisi ini menegaskan Bandung sebagai kota yang melahirkan banyak pegiat seni tari yang tekun dan berbakat.
Namun, zaman yang semakin modern ini membawa tantangan besar bagi seni tari tradisional. Banyak orang kini lebih memilih tarian modern yang dianggap lebih “kekinian,” sementara tarian tradisional mulai tergeser, terutama di kalangan masyarakat perkotaan yang minim keinginan untuk mendalami seni tari tradisional. Meski begitu, masih banyak sosok yang gigih menjaga seni tari agar tetap relevan di tengah arus perubahan zaman.
Nilai Silaturahmi sebagai sebuah kekuatan pagelaran
Riyana Rosilawati, sebagai putri dari maestro seni MH. Aim Salim, terus melanjutkan warisan ayahnya dalam dunia seni budaya. Dengan menggabungkan keahlian dan pengalaman yang diperoleh dari sang ayah, Riyana tak hanya menjadi penerus, tetapi juga penjaga nilai-nilai seni tradisional yang diwariskan. Baginya, seni bukan hanya soal estetika, tetapi juga nilai, filosofi, dan ikatan silaturahmi yang mempertemukan masa lalu dengan masa kini.
Dengan mengedepankan interaksi dan budaya yang penuh nilai silaturahmi, tema “Lawung Wiragasari” pun lahir sebagai simbol perjalanan dan pertemuan antar-generasi. “Lawung” berarti pertemuan, yang dalam istilah Arab dikenal dengan “silaturahmi.” Tema ini mewakili perjalanan bersama sang maestro MH. Aim Salim dan putrinya, Riyana Rosilawati, M.Si, dalam satu panggung seni yang menjadi simbol pewarisan dan kesinambungan. Riyana menjelaskan, “Ini adalah bentuk pertemuan karya yang mewakili nilai pewarisan dari ayah kepada anak. Pewarisan yang tidak terputus, karena mengikuti arus dan tidak melawan arus, menjadi satu simbol yang hidup dalam karya-karya kami.” ujar Riyana memaparkan apa yang menjadi tema dalam pagelaran tersebut.
“Ini adalah momen yang sangat berharga dan spesial bagi saya secara pribadi, karena kebetulan Pusat Olah Tari Setialuyu ini juga dipimpin oleh ayah saya. Sudah sekian lama kami tidak mengadakan kegiatan pagelaran dan menampilkan beberapa tarian dari beliau, disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk pandemi Covid-19 dan beberapa faktor lain, salah satunya adalah keterbatasan dana. Namun, sejak tanggal 15 Agustus tahun ini, Alhamdulillah kami diberi kepercayaan oleh kementerian yang bekerja sama dengan Bali Purnati untuk menampilkan pertunjukan di Gedung Kesenian Jakarta, dan mendapatkan penghargaan sebagai Maestro Tari Keurseus. Ini adalah sebuah penghargaan yang luar biasa bagi Pa Aim dan bagi saya sebagai anaknya. Walaupun saya tidak menari di panggung maestro, saya tetap terlibat dalam salah satu kegiatan tersebut, sehingga kami tetap berada di panggung yang sama”.
Sebagai kelanjutan dari acara Panggung Maestro, BPK 9 memberikan fasilitas untuk melanjutkan pagelaran yang sifatnya berkelanjutan. “Meskipun dananya tidak besar, kami tetap ingin menciptakan sesuatu yang luar biasa. Meskipun kami tidak memiliki dana yang besar, kami tidak merasa kecil hati. Kami dibantu oleh suami saya yang juga terlibat di Pusat Olah Tari Setialuyu, seperti yang terlihat pada pagelaran hari ini. Saya ingin mengangkat karya ayah saya yang menurut banyak orang luar biasa, karena dedikasi beliau yang tidak didasari oleh uang. Yang lebih penting adalah bagaimana karya yang beliau buat dapat bermanfaat bagi masyarakat. Sebagai contoh, karya beliau sudah tersebar di YouTube, dan beberapa karyanya menjadi bahan kajian serta penelitian bagi mahasiswa di jurusan seni UPI, ISBI, dan UNES. “Saya sendiri, sebagai dosen di ISBI Bandung, menjadikan dua karya beliau sebagai mata kuliah. Yang paling membahagiakan bagi Pa Aim adalah meskipun tidak ada komunikasi fisik dengan orang-orang di Semarang atau di tempat lain, mereka tetap melirik karya beliau untuk dijadikan bahan kajian” Ujar Riyana dalam sebuah wawancara.
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat menilai karya Pa Aim bukan dari sisi uang atau materi, tetapi dari kebermanfaatannya. Seseorang yang memiliki nama besar tidak semata-mata karena uang, tetapi karena memiliki jiwa yang bijaksana, jiwa sosial, dan kasih sayang kepada masyarakat, serta memiliki tekad untuk membuat generasi muda mencintai nilai-nilai tradisi. Semua ini terwujud malam ini. Sebagai anak dari beliau, saya merasa memiliki beban moral yang besar untuk melanjutkan tekad Pa Aim, meskipun dengan segala keterbatasan di usia senjanya.
Seni tradisi harus tetap dinamis, tidak statis, karena manusia dan zaman selalu berubah. Meskipun perubahan itu tak terhindarkan, masih ada individu yang diberi ruang oleh pendahulunya untuk terus mencintai dan melestarikan seni tradisi. Sebagai anak dari Pa Aim, saya tidak pernah merasa berkecil hati melihat jumlah peminat yang berkurang—sebelum pandemi, Setialuyu memiliki lebih dari 20 siswa, namun kini hanya 6 yang aktif. Namun, meski angka itu kecil, semangat untuk melanjutkan perjuangan ayah saya tetap terjaga. Hal ini menjadi inspirasi bagi anak-anak muda, termasuk mahasiswa ISBI Bandung yang saya bimbing, untuk tetap tertarik dan belajar seni tari tradisi.
Perubahan zaman mungkin menggerus minat anak muda terhadap seni tari tradisional, tetapi itu tidak menghentikan upaya kami untuk terus menghidupkan seni ini. Salah satu cara kami melakukannya adalah dengan membuka jaringan sosial dan memperkenalkan karya lewat YouTube. Silahturahmi kami tidak berhenti hanya pada murid yang belajar di sanggar, tetapi juga meluas hingga komunitas yang lebih luas, untuk memastikan bahwa semangat seni tradisi tetap hidup, meski zaman terus berubah. Seperti yang sering saya tekankan, kita tidak boleh berkecil hati. Sebaliknya, kita harus terus berinovasi, menjaga warisan budaya, dan memastikan seni tari tradisi tetap relevan bagi generasi mendatang.
Suka dan duka bertumpuk dalam perjalanan ini, namun semangat yang tak pernah padam serta silaturahmi dengan teman sejawat dan berbagai generasi telah menghapuskan segala kesulitan tersebut. Pagelaran seni yang kami persembahkan bukan hanya untuk kalangan tertentu, melainkan untuk semua orang, agar bisa menikmati dan merasakan keindahan seni tari tradisi. Tentu, ada banyak tantangan yang datang, salah satunya musibah yang tak terduga. Di tengah-tengah perjalanan, Pa Aim tiba-tiba sakit setelah beberapa bulan penuh kegiatan, dan sempat ada rasa patah semangat. Namun, saya selalu berusaha memberikan semangat kepada beliau, “Bismillah, ini akan terwujud.”
Semangat itu akhirnya terbukti saat beliau tampil memukau di panggung Pagelaran Lawung Wiragasari, sebuah pertunjukan yang tak hanya menunjukkan dedikasi dan kecintaan beliau terhadap seni, tetapi juga kasih sayang yang beliau miliki untuk masyarakat. Sebagaimana yang disampaikan oleh Riyana Rosilawati, M.Si, “Kehadiran Pa Aim di atas panggung bukan hanya sebagai maestro, tetapi sebagai sosok yang menghidupkan semangat tradisi dan memberikan inspirasi bagi generasi penerus.”
Suka dan duka tersebut kini menjadi satu kesatuan yang melahirkan bentuk kasih sayang dan semangat untuk terus berkarya, meskipun menghadapi berbagai cobaan. Itu adalah kekuatan yang menggerakkan kami untuk terus berjuang melestarikan seni tari tradisi, tidak hanya untuk diri kami, tetapi untuk masyarakat luas.
“Nilai tradisi harus tetap dijaga dengan melestarikan dan tetap menonton serta mengapresiasi setiap pagelaran yang ada di setiap daerah. Dari memahami, mencermati, lalu kalian akan mengenal. Dan setelah mengenal, kalian akan merasakan sentuhan ketertarikan untuk mencoba mempelajarinya dan mengembangkannya.” Ujar Riyana menyampaikan pesan kepada generasi muda untuk berani mencoba dan mengenal seni tari tradisional sebagai simbol kebudayaan.
MH. Aim Salim: Sang Maestro yang Menjaga Api Semangat Seni Tari
Salah satu sosok yang tak kenal lelah memperjuangkan seni tari tradisional adalah MH. Aim Salim, maestro di balik Sanggar Seni Setialuyu di Bandung. Dedikasinya mendapat perhatian Kementerian Pariwisata yang memberinya kesempatan untuk tampil di Gedung Kesenian Jakarta. Tak hanya itu, Aim Salim pun dianugerahi gelar Maestro Tari Keurseus, sebuah penghargaan yang menjadi bukti perjuangannya melestarikan seni tari tradisional.
Dengan kelembutan hati, MH. Aim Salim selalu berusaha melakukan yang terbaik bagi masyarakat, terutama untuk menjaga nyala api seni tari tradisional Indonesia. Sebagai maestro yang sudah lama berkecimpung dalam dunia tari, Aim Salim melihat pentingnya melestarikan seni ini agar tetap hidup dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Misinya sederhana, namun penuh makna: menjaga agar seni tari tetap hidup di tengah perkembangan zaman.
Di dalam perjalanan ini, Sang Maestro tidak sendiri. Ia dikelilingi oleh murid-murid serta kerabat yang memiliki semangat dan tekad untuk ikut menjaga kelangsungan seni tari. Kehadiran mereka menjadi dorongan bagi sang maestro untuk terus berkarya dan menginspirasi masyarakat. Dengan beragam bakat dan keahlian, mereka turut membantu sang maestro mengupayakan berbagai cara untuk melestarikan seni tari Indonesia, dari pertunjukan hingga pengajaran di sanggar.
Sebagai bentuk komitmen dan penghargaan terhadap seni tari, MH. Aim Salim menggelar sebuah pagelaran seni pada 25 Oktober lalu. Pagelaran ini bukan hanya sebuah pertunjukan, tetapi juga momentum baginya untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa seni tari tradisional tetap memiliki tempat dan keindahan yang abadi. Dengan mengadakan pagelaran ini, ia berharap bisa menunjukkan bahwa seni tari tidak kalah dengan tarian modern yang kian populer.
Dalam acara ini, MH. Aim Salim mengusung tema “Lawung Wiraga Sari,” yang berarti “perjalanan gerakan yang indah.” Tema ini dipilih dengan penuh kesadaran sebagai cerminan dari karya hidupnya di dunia seni tari. Dengan setiap gerakan yang ditampilkan, MH. Aim Salim ingin mempersembahkan Magnum Opus-nya kepada masyarakat, menunjukkan bahwa seni tari Indonesia adalah kekayaan yang harus dijaga bersama, sekaligus simbol perjalanan dirinya dalam mengabdi pada tradisi dan budaya.
Di mata masyarakat, MH. Aim Salim dikenal bukan hanya sebagai maestro tari, tetapi juga sebagai sosok yang bijaksana, peduli, dan penuh kasih sayang. Tekadnya untuk membuat generasi muda mencintai tradisi begitu kuat, seperti cahaya yang menuntun di tengah gelapnya tantangan zaman. Dengan penuh kelembutan, MH. Aim Salim selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk masyarakat, agar seni tari tradisional Indonesia tetap hidup dan lestari. Dalam perjalanan ini, ia diuntungkan dengan keberadaan murid-murid yang bertekad serupa untuk memajukan seni tari.
Menjaga Tari di Era Digital
Aufa Salah satu murid yang berperan aktif dalam melestarikan seni tari di Sanggar Seni Setialuyu. Ia memiliki caranya sendiri untuk menjaga eksistensi seni tari, yaitu melalui platform digital. Aufa mengakui bahwa YouTube telah menjadi sumber inspirasi baginya dalam mempelajari setiap detail gerakan seni tari tradisional. Di era modern ini, ia melihat media digital sebagai sarana penting untuk tetap memperkenalkan seni tari kepada masyarakat, khususnya generasi muda.
Keterlibatan Aufa di Sanggar Seni Setialuyu juga dipengaruhi oleh rasa tanggung jawabnya sebagai mahasiswa tari. “Karena punya ketertarikan di dunia tari, dan sekarang sudah masuk sebagai mahasiswa tari, otomatis Aufa harus mempertahankan dan memperkenalkan kepada orang-orang bahwa tari tradisional itu masih ada, loh,” ucapnya dalam sebuah wawancara. Menurutnya, seni tari tradisional perlu dikenalkan lebih luas agar generasi muda menyadari keberadaannya. Ia menambahkan bahwa peran laki-laki dalam dunia seni tari sebenarnya adalah hal yang wajar selama sesuai dengan porsinya.
Meskipun dalam beberapa gerakan tarian bersifat universal, namun jika ditarikan dengan gaya maskulinitas, tentu akan memiliki warna yang berbeda dengan warna feminim. Sehingga penonton tetap dapat menikmati pertunjukan tersebut tanpa ada pandangan negatif terhadap penari pria.
Seperti halnya seni peran, karakter yang diperankan hanyalah untuk keperluan seni atau pertunjukan. Ini terjadi biasanya pada pemeran antagonis, sering kali masyarakat membawa perasaan itu di kehidupan nyata. Demikian juga para penari pria sering kali dianggap memiliki penyimpangan, karena gerakkan mereka saat menari lentur dan lembut seperti gerakan tari kaum perempuan.
Mewariskan Semangat dan Darah Seni Seorang Maestro
Ajeng, cucu dari sang maestro tari MH. Aim Salim, bukan sekadar penari dalam pagelaran “Lawung Wiraga Sari” – ia hadir dengan misi yang lebih besar. Dalam setiap langkah tari yang ia pentaskan, tersimpan komitmen yang kuat untuk meneruskan warisan seni dari kakeknya melalui Sanggar Seni Setialuyu. Sebagai generasi penerus, Ajeng merasa memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga agar tradisi tari yang diwariskan kepadanya tetap hidup, relevan, dan dihargai oleh masyarakat luas.
Bagi Ajeng, seni tari tradisional bukan sekadar kumpulan gerakan indah. “Dalam tari, bukan hanya ada gerakan-gerakan yang indah, tetapi juga simbol tata krama,” ujarnya dengan penuh keyakinan. Setiap gerakan mengandung nilai-nilai yang mendalam, dari pesan etika dan bagaimana cara kita menilai keindahan ekosistem yang alam berikan. Seni tari, menurutnya, memiliki kekuatan untuk menyampaikan pesan-pesan budaya yang kompleks dan sarat makna, sesuatu yang sangat relevan bahkan di tengah kehidupan modern.
Di balik keterlibatannya, Ajeng menyimpan harapan besar agar “Gen Z” juga terpanggil untuk melestarikan seni tari tradisional Indonesia. Ia ingin membuktikan bahwa seni tari tidak hanya soal warisan masa lalu, tetapi juga dapat memperkaya perspektif generasi sekarang. Melalui pagelaran ini, Ajeng mengajak generasi muda untuk memahami bahwa seni tari bukan sekadar pertunjukan, melainkan ekspresi budaya yang dapat menginspirasi, menyatukan, dan menghidupkan nilai-nilai yang mungkin semakin terlupakan di tengah derasnya arus modernisasi.
Warisan Budaya di Tengah Arus Modernisasi
Dengan berbagai keberagaman budaya dan tradisi di Indonesia, seni tari menjadi salah satu cara menyikapi gerusan era modern ini. Adanya sanggar seni yang didirikan oleh MH. Aim Salim merupakan langkah penting untuk terus melestarikan warisan dan budaya ini. dengan segala ketidakadilan dan kesenjangan sosial yang ada di era ini, kita punya cara yang lebih elegan dan mahal dalam menyampaikan pesan-pesan tersebut dapat melalui gerakan-gerakan tari yang terus berkembang di masa-masa sulit ini.
Di tengah ketidakadilan dan kesenjangan sosial yang semakin mencolok di era modern ini, tari tradisional seharusnya menjadi sarana yang elegan untuk menyampaikan pesan-pesan sosial dan nilai kehidupan. Melalui gerakan-gerakan yang kaya makna, seni tari mampu mengajak penonton merasakan perjuangan, harapan, dan kebanggaan budaya. Dalam masa-masa sulit ini, kehadiran seni tari yang terus berkembang menjadi simbol ketahanan budaya bangsa, yang mampu menjembatani antara tradisi dan perkembangan zaman tanpa kehilangan jati diri.
Editor: Dzikrie Tyasmadha