Bandung Bergerak Gelar Diskusi Publik dan Pelatihan Menulis Opini Kritis di Unisba
Bandung Bergerak menggelar acara diskusi publik dan pelatihan menulis opini kritis bertajuk “Menggugat Ketidakadilan dengan Gaya Lokal” pada Selasa (5/11) di Student Center Universitas Islam Bandung (Unisba), Jalan Taman Sari No.1, Kota Bandung. Acara ini dihadiri oleh berbagai kalangan mahasiswa dan elemen masyarakat, dengan tujuan mendorong keterlibatan generasi muda dalam memahami dan menyuarakan isu-isu sosial serta ketidakadilan yang terjadi di masyarakat. (Foto: Rifqi Muhammad/KMjurnalistik.com)
Oleh: Rifqi Muhammad
Acara yang melibatkan Herry Sutresna dari Grimloc Records dan Grace Ananta dari Raws Syndicate yang dipandu oleh Tofan Aditya, dari Bandung Bergerak. Diskusi tersebut membahas peran fotografi sebagai bentuk gerakan sosial dan seni perlawanan, serta peran perempuan dalam bidang fotografi. Grace Ananta menyoroti pentingnya peran perempuan dalam gerakan ini dengan tiga tujuan utama: meningkatkan kesadaran, memberdayakan komunitas, dan menginspirasi aksi.
Dalam paparannya, Herry Sutresna menyoroti sejumlah tantangan gerakan sosial di Bandung, termasuk keterbatasan ruang publik yang semakin menyempit dan gerakan mahasiswa yang dirasa kurang berkelanjutan. Ia menjelaskan bahwa kondisi ini dikarenakan adanya beban biaya kuliah yang tinggi serta waktu studi yang semakin pendek, membuat mahasiswa sulit untuk memperpanjang masa studi dan terlibat dalam aktivisme yang lebih mendalam selama 7–8 tahun seperti dulu.
Herry juga menyoroti perubahan peta gerakan sosial di Bandung, yang kini lebih banyak dilakukan di luar kampus. Ia menekankan perlunya membentuk gerakan ekstra-kampus agar aksi sosial tidak hanya berfokus pada peran mahasiswa sebagai individu bergelar, tetapi melibatkan berbagai lapisan masyarakat. “Prinsipnya adalah aktivasi ruang, memberikan sorotan pada titik-titik aksi di berbagai daerah yang memiliki modal sosial dan kultural yang berbeda,” dalam pembahasanya mengenai gerakan sosial. Herry menambahkan bahwa Bandung memiliki warisan kuat dalam literasi, fotografi, dan musik, sehingga potensi modal kultural ini perlu diinventarisasi dan dioptimalkan dalam setiap bentuk gerakan sosial yang dilakukan.
Dalam sesi pelatihan menulis, Tri Joko Her Riadi dan Iman Herdiana menjadi pemateri, memberikan panduan tentang cara menulis opini kritis yang efektif, mulai dari pembukaan, isi, hingga penutupan. Tri Joko, yang juga pemimpin redaksi Bandung Bergerak, berharap acara ini bisa mengasah kemampuan mahasiswa dalam mengemukakan pendapat kritis terhadap situasi sosial dan politik yang ada di sekitar mereka. “Kita ingin mahasiswa lebih sadar, ngerti, dan terlibat dalam isu-isu yang terjadi di luar kampus,” ujar Tri Joko Her Riadi. Ia menambahkan, kegiatan ini merupakan upaya untuk memperkuat posisi mahasiswa sebagai agen perubahan sosial yang mampu menyuarakan kegelisahan masyarakat.
Rangkaian akan berlanjut dengan sayembara menulis esai yang hasilnya akan dibukukan dan dibahas dalam kelompok-kelompok kecil. Lima bulan ke depan, acara akan mencapai puncaknya dalam sebuah festival yang diharapkan bisa menjadi ruang pertemuan bagi mahasiswa, warga, dan seniman yang aktif di berbagai isu sosial. Festival ini akan menjadi wadah merawat demokrasi, kebebasan berekspresi, dan kebebasan berpendapat.
Salah satu mahasiswa peserta acara, Wijdan Daurut Tazzaka, menyambut baik kegiatan ini. “Keren sih, didukung banyak organisasi jurnalistik dari Unisba juga. Berani membuka acara publik terkait kepenulisan kritik terhadap rezim. Terkesan berani dan keren juga,” ujarnya.
Dengan acara ini, Bandung Bergerak berharap semakin banyak mahasiswa terlibat dalam diskusi publik dan pelatihan penulisan opini kritis, serta mendorong kolaborasi yang lebih luas dalam menyuarakan isu-isu yang relevan di masyarakat.
Editor: Dzikrie Tyasmadha