Homeless, Alih Fungsi Ruang Publik Menjadi Tempat Tinggal

Foto: Dimas Rachmatsyah.

Oleh: Dimas Rachmatsyah.

Homeless adalah suatu permasalahan ketika masyarakat “kurang mampu” tidak memiliki ruang hidup yang bisa ditempati yaitu rumah sebagai istana dan singgasana dari sebuah kehidupan. Manusia sejatinya adalah seorang makhluk yang memiliki berbagai tuntutan untuk bertahan hidup, salah satunya adalah tempat tinggal. Melihat dari hal tersebut nampaknya di Indonesia, khususnya Bandung, belum bisa merealisasikan tempat tinggal yang layak bagi masyakarat “kurang mampu”.         

Sesuai data yang diperoleh dari website jabarprov.go.id jumlah masyakarat miskin di Kota Bandung pada 2019 adalah 84.670 orang atau 3,38 persen. Jumlah ini turun dari tahun sebelumnya yakni 89.380 orang atau 3,57 persen. Walaupun mengalami penurunan tetapi masih banyak Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang membutuhkan hak yang terpenuhi sehingga mau tidak mau ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya menjadi pengemis (meminta uang di jalan) bahkan hingga tidur di trotoar.

Bagi mereka para Tunawisma, memiliki rumah yang layak dan penghasilan yang cukup adalah harta yang teristimewa ketimbang “pamer kekayaan di media sosial”.  Melihat permasalahan sosial yang begitu kompleks di Indonesia, terkhususnya Bandung, menunjukan fakta masih kurangnya partisipasi dari berbagai pihak untuk menyelesaikan masalah ini.

Contoh kasus yang saya dapati ketika menyusuri hiruk pikuk kehidupan di Bandung adalah saat saya melewati sebuah jembatan hitam yang melintang di kawasan Asia Afrika. Di sana masyarakat “tidak mampu” menjadikan jembatan tersebut sebagai tempat peristirahatannya. Tak hanya itu, kasur yang seharusnya memiliki tumpuan agar bisa digunakan hanya ditaruh di atas besi yang melintang di atas jembatan.

Tentunya hal tersebut sama sekali tidak layak untuk ditempati sebagai tempat tinggal, bahkan digunakan untuk tidur. Bagai pepatah “Karena Nila Setitik Rusak Susu Sebelanga” permasalahan sosial yang terjadi bisa berdampak bagi berbagai aspek seperti pariwisata di Indonesia. Investor ataupun wisatawan luar negeri yang akan berkunjung ke Indonesia bisa saja tidak jadi datang berkunjung dan menanam investasi akibat angka kemiskinan yang terus bertambah di Indonesia.

Dampak ini pun sangat ditakuti oleh seluruh dunia. Sebab ketika kemiskinanter-ekspose, maka negara tersebut dinilai gagal untuk bisa memberikan hak yang utuh bagi masyarakat.

Konsep “memanusiakan manusia” adalah sebuah pernyataan yang baik untuk digunakan, hal itu berlandaskan pada bagaimana menjadikan sesama manusia lebih terdidik, lebih bermartabat, lebih sukses, lebih pintar, dihargai serta dihormati. Permasalahan yang terjadi pada PMKS di Bandung seharusnya bisa diminimalisasi dengan konsep tersebut.

Misalnya dengan menjadikan ruang publik seperti taman sebagai ruang-ruang diskusi terbuka antara pemerintah dengan masyarakat untuk membuat atau merancang suatu mekanisme pengoptimalan kehidupan. Dalam artian bagaimana seseorang mendapatkan suatu ilmu yang bisa diterapkan untuk bertahan hidup dan menghasilkan sebuah penghasilan yang layak untuk menutupi ongkos hidupnya.

Merubah ruang-ruang publik yang tidak seharusnya digunakan sebagai tempat tinggal menandakan dengan jumlah penduduk yang begitu banyak, mereka haruslah memiliki hak yang sama dengan seluruh manusia tanpa terkecuali. Bahkan seharusnya pemerintah mengambil sikap dengan tempat tinggal sementara, pengecekan kesehatan, juga bantuan dalam aspek pangan.

Dalam memecahkan sebuah permasalahan yang rumit ini, tentunya ada sejumlah masyarakat yang peduli terhadap isu ini dan jauh lebih beruntung, memiliki inisiatif membuat suatu ruang khusus untuk memberikan suatu pembelajaran, pemberdayaan masyarakat hingga mendorong PMKS ini untuk menjadi orang yang lebih berguna.         

Di Bandung sendiri sudah ada sebuah komunitas yang bergerak di bidang sosial yang membantu para PMKS untuk mendapatkan hak seutuhnya. Komunitas ini memanfaatkan penggalangan donasi serta menggelar lapakan dengan mengratiskan seluruh barang yang dipamerkan. Gerakan kemanusian ini tentunya bukanlah sebagai wujud charity, namun untuk sebuah protes atas segala kegelisahan permasalahan yang terjadi di negeri ini.       

Adanya aksi nyata yang ditunjukan oleh kolektif masyarakat ini pun bertujuan untuk menyadarkan seluruh umat manusia untuk tidak memandang masyarakat bawah, menengah, bahkan atas. Gerakan ini bertujuan untuk mengetuk pintu hati yang terkadang terbelenggu oleh ego.

Sebenarnya pemerintah sudah memiliki Undang-Undang yang mengatur soal hak hidup manusia dalam UU No. 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Dijelaskan bahwa, perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni. Namun, pada kenyataannya banyak masyakarat yang memiliki tempat tinggal pun digusur, demi para investor yang ingin menanamkan modal di Indonesia.

Hal tersebut tentunya tidak sesuai dengan apa yang tertera pada undang-undang sebagai perlengkapan pemerintah dalam melindungi masyarakatnya. Perputaran roda perekonomian yang begitu cepat dan bersaing membuat PMKS terpinggirkan. Kian meningkatnya angka kemiskinan membuat PMKS pasrah dan hanya berusaha bagaimana bisa terus melanjutkan hidupnya tanpa bergantung pada siapapun. Namun percayalah, tuhan tidak tinggal diam, segala bentuk cobaan yang diberikan adalah sebuah rezeki yang tertunda.

Menilik perkataan Sapardi Djoko, “Kemiskinan adalah hantu yang setia menjaga kebanyakan rumah di desa.” Seolah kemiskinan selalu mempunyai stigma yang menunjukan bahwa hal tersebut merujuk pada kondisi di desa. Tetapi berbeda dengan sekarang, bahkan hidup di kota besar sekali pun tidak menjamin kehidupan bisa sejajar. Maka dari itu sudah seharusnya kita sebagai masyakarat yang memiliki rezeki lebih untuk saling bantu sesama.

Lalu, ketika banyaknya permasalahan homeless seperti ini akankah kedepannya seluruh ruang publik akan dijadikan alih fungsi menjadi tempat tinggal? Atau jangan-jangan nantinya seluruh tempat tinggal akan menjadi gedung-gedung tinggi? mungkin jika diibaratkan seperti tanaman “jika tidak disiram maka ia akan layu dan gugur”, apakah nantinya jika permasalahan ini tidak kunjung usai, lantas hajat hidup masyarakat kelas bawah akan seperti tanaman itu? Jika demikian pepatah yang saya sampaikan di atas bahwasanya “memanusiakan manusia” akan berganti haluan menjadi “siapa yang kuat dia yang bertahan”.

Akhir kata hanya ada sebuah pesan yang akan saya sampaikan untuk generasi yang akan menggantikan saya di masa yang akan datang, “Menjadilah seorang yang memiliki moralitas bukan legalitas, serta jadilah seseorang petarung bukan pecundang”. Perkataan ini adalah lecutan semangat yang perlu digaungkan. Agar kedepannya banyak pergerakan jejaring komunitas sosial yang peduli akan permasahalan homeless yang terjadi di Indonesia khusunya di Kota Kembang, yaitu Bandung.



Editor: Jufadli Rachmad.