Mengenal Shodancho Soeprijadi dan Pemberontakan PETA

Pict source: News.detik.com.

Tepat 76 tahun lalu, di tanggal yang sama yaitu 14 Februari, pernah terjadi sebuah peristiwa. Jangan membayangkan bahwa peristiwa tersebut adalah kegiatan bertukar cokelat dengan ucapan kata-kata manis penuh kasih sayang. Unsur kasih sayangnya memang ada tapi bukan hal seperti itu, butuh ketersediaan nyawa dengan pengorbanan diri di atas rata-rata.

Kejadian itu adalah sebuah pemberontakan, dengan tujuan membebaskan hak banyak orang. Pemberontakan yang dilakukan oleh para pasukan Pembela Tanah Air (PETA) hanya terjadi hanya dalam waktu semalam, namun sebanyak 360 nyawa yang dikorbankan. Pemberontakan ini tak lain terlahir dari ide satu kepala seorang pemuda bernama Soeprijadi.

Fransiskus Xaverius Soeprijadi atau yang lebih dikenal dengan Sodancho (Komandan Peleton) Soeprijadi lahir di Trenggalek, Jawa Timur, pada 13 April 1923 saat masih dalam masa kependudukan Hindia Belanda. Soeprijadi merupakan anak pertama dari Raden Darmadi yang merupakan seorang bupati di Blitar yang ke-9. Ibunya bernama Raden Roro Rahayu yang merupakan keturunan bangsawan namun meninggal ketika Soeprijadi masih kecil.

Merupakan seorang anak dari kalangan priyayi, Soeprijadi mampu mengenyam pendidikan dengan baik pada masa itu dari mulai Europeesche Lagere School yang setingkat Sekolah Dasar, lalu ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs yang merupakan setingkat Sekolah Pertama dan kemudian melanjutkan ke Sekolah Pamong Praja yang berada di Yogyakarta, namun pendidikan Soeprijadi di Jogja tidak selesai akibat terjadinya penyerbuan Jepang kepada Hindia Belanda. Hal itu titik Jepang mulai menjajah Indonesia setelah mengusir Belanda.

Soeprijadi sendiri merupakan salah satu pahlawan nasional Indonesia sekaligus pemimpin pemberontakan pasukan PETA terhadap pasukan pendudukan Jepang di Blitar pada Februari 1945. Pemberontakan ini tentu saja terjadi karena penderitaan rakyat yang saat itu menjadi lebih parah pada masa penjajahan Jepang.

Seperti yang diketahui dari berbagai sumber, PETA merupakan tentara sukarelawan yang dibentuk oleh Pemerintah Jepang saat menguasai bangsa Indonesia di tahun 1942 hingga 1945 tepatnya pada tanggal 3 Oktober 1943. Terbentuknya PETA merupakan saran dari Raden Gatot Mangkoepradja kepada Gunseikan yang merupakan kepala pemerintahan Jepang. Meski awal mula terbentuknya PETA untuk membantu Jepang dalam perang Asia Timur Raya, namun PETA sendiri menjadi salah satu boomerang bagi Jepang, dan karena itulah PETA memiliki peran penting dalam menjaga kemerdekaan bangsa Indonesia.

Pada masa penjajahan Jepang rakyat menderita dengan segala aspek kehidupan. Kebebasan diambil, kelayakan hidup tidak terpenuhi, dan kerja paksa romusha yang kejam harus dijalankan oleh rakyat. Kurang gizi dan tubuh yang menjadi sangat kurus harus dirasakan rakyat Indonesia di masa itu akibat kelaparan dan kerja paksa.

Akses masuknya beras yang merupakan makanan pokok pun sangat sulit pada masa itu untuk rakyat. Rakyat juga dipaksa untuk menjual beras kepada Kumiai yang merupakan organisasi pembelian beras pada masa penjajahan Jepang, namun harus dengan harga yang murah.  Kekejaman Jepang pada saat itu membuat banyak tokoh bergerak untuk terbebas dari belenggu penjajahan.

Soeprijadi salah satunya. Ia juga ikut merasakan penderitaan rakyat akibat kekuasaan Jepang. Setelah Jepang berkuasa, Soeprijadi bersama dua temannya Kemal Idris dan Zulkifli Lubis, yang sempat mengenyam pendidikan bersama di Jogja, berhenti dari sekolahnya akibat penyerbuan yang dilakukan Jepang. Kemudian pada tahun 1943 mereka memutuskan untuk mengikuti pelatihan bernama Seinen Dojo, sebuah latihan militer bagi pemuda pilihan di Tangerang, hingga akhirnya mereka terpilih menjadi calon komandan peleton di PETA dan mendapat pelatihan lebih intensif.

Tak terima dengan kesengsaraan rakyat, Soeprijadi berencana melakukan pemberontakan dengan mengajak para anggota PETA untuk ikut melakukan pemberontakan tersebut. Soeprijadi membuat berbagai rencana dan mengadakan rapat terakhirnya di tanggal 13 Februari 1945 yang dihadiri oleh Shudanco Moeradi, Chudanco Ismangil, Bundanco Soenanto, dan Bundanco Soeparjono di kamar Shudanco Halir Mangundjidjaja dengan keputusan rapat yang dihasilkan yaitu akan melakukan pemberontakan pada 14 Februari 1945.

Sebenarnya, rencana awal pemberontakan dilakukan lebih awal yakni pada tanggal 5 Februari 1945 pada saat dilakukannya latihan bersama (Daidan) batalyon PETA Jawa Timur di Tuban. Namun, hal itu gagal terjadi karena Jepang tiba-tiba membatalkan jalannya latihan bersama tersebut dan akhirnya para Perwira PETA yang sudah ada di Tuban langsung dipulangkan ke kotanya masing-masing. Sehingga akhirnya dilakukan perubaha rencana.

Soeprijadi dan para anggota PETA lainnya sudah siap dengan resiko yang akan mereka dapat, baik siksaan maupun mendapat hukuman mati. Pasukan pemberontakan PETA pun dipecah menjadi 3 bagian dengan pergerakan ke arah Kediri, Madiun, dan Malang.

Pada 14 Februari terjadilah sebuah pemberontakan terhadap Jepang dengan Soeprijadi memimpin pemberontakan PETA Blitar. Pada pukul 03.00 WIB dini hari seluruh anggota PETA yang berjumlah 360 orang melakukan persiapan dengan masing-masing diberikan senjata dan peluru yang sudah disiapkan oleh Sujono yang merupakan komandan regu. Para anggota melakukan penembakan ke para prajurit Jepang dari asrama yang membuat Jepang mengetahui aksi tersebut dan segera bertidak.

Seluruh pasukan akhirnya dikumpulkan di Hutan Ngancar, perbatasan Kediri. Pada akhirnya Kota Blitar berhasil diduduki kembali oleh Jepang dan Kolonial Katagiri yang ditunjuk untuk memimpin operasi penumpasan mendatangi pasukan Soeprijadi yang masih bertahan di Hutan Ngancar, perbatasan Kediri.

Pada 19 Februari, tepatnya di Sumberlumbu, Kolonial Katagiri bertemu dengan Shudanco Moeradi yang merupakan salah satu pemimpin pemberontakan. Para pasukan PETA memberikan penawaran penyerahan diri dengan memberikan syarat yaitu, mempercepat kemerdekaan Indonesia, para tentara PETA yang terlibat pemberontakan tidak dilucuti senjatanya, dan aksi pemberontakan tentara PETA pada 14 Februari 1945 di kota Blitar tidak akan dimintai pertanggungjawaban. Kolonial Katagiri menyetujui, dengan menyerahkan pedang perwira kepada Moeradi. Seluruh pasukan beserta Moeradi akhirnya kembali ke Blitar.

Pemberontakan tersebut benar-benar berakhir dengan kegagalan, Kesepakatan Sumberlumbu pun ternyata tidak diakui oleh para pimpinan tentara Jepang yang ada di Jakarta. Para anggota PETA yang terlibat pada akhirnya mendapatkan hukuman. Shudanco Moeradi, Chudanco Ismangil, Bundanco Soenanto, Bundanco Soeparjono, Sudarmo, Halir, dan Amin dihukum mati dan sisanya mendapat hukuman penjara, baik dengan waktu yang ditentukan ataupun dipenjara hingga seumur hidup.

Namun, nama Soeprijadi tidak ada dalam daftar orang-orang yang mendapatkan hukuman. Karena pada saat pemberontakan mengalami gagal total, dan kebebasan rakyat hilang kembali, Soeprijadi juga ikut dinyatakan menghilang. Soeprijadi terakhir terlihat pada saat kembali dari Ngancar tepatnya ia menghilang di Dukuh Panceran, Ngancar.

Soeprijadi tidak pernah muncul lagi setelah pemberontakan, dia benar-benar menghilang tanpa meninggalkan jejak, ada yang mengatakan bahwa ia telah mati dibunuh tentara Jepang dan ada pula yang mengatakan bahwa ia melarikan diri. Bahkan saat Presiden Soekarno mengumumkan bahwa Soeprijadi diangkat sebagai Menteri Keamanan Rakyat pada 6 Oktober 1945, Soeprijadi tetap tidak muncul dan akhirnya Menteri Keamanan Rakyat digantikan oleh Imam Muhammad Suliyoadikusumo.

Soeprijadi dinyatakan secara resmi sebagai salah satu Pahlawan Nasional pada 9 Agustus 1975 berdasarkan keputusan presiden dan merupakan menteri termuda dalam sejarah kabinet Indonesia yang berusia 22 tahun saat diangkat. Hilangnya Soeprijadi masih menjadi misteri hingga 76 tahun lamanya yang pada akhirnya banyak memunculkan spekulasi tentang Soeprijadi setelah berita hilangnya. Hanya saja kita tahu pasti, seorang Soeprijadi sebelum dinyatakan menghilang memiliki keinginan kuat untuk membebaskan penderitaan rakyat Indonesia.


Teks oleh: Sherine Angelica.