Tim Advokasi Jabar Menilai Kepolisian Halangi Proses Pendampingan Hukum Terhadap Massa Aksi
Konferensi pers yang diselenggarakan oleh Tim Advokasi Demokrasi Wilayah Jawa Barat pada Senin (12/10), melalui aplikasi Zoom, terkait tindakan represif yang dilakukan oleh aparat Kepolisian. Foto: Helmy Adam.
Bandung – Senin (12/10), Tim Advokasi Demokrasi Jawa Barat melakukan konferensi pers secara daring melalui aplikasi Zoom. Konferensi pers tersebut berkenaan dengan pengaduan korban atas tindakan represif aparat Kepolisian pada aksi #TolakOmnibusLaw yang digelar pada Selasa (06/10) hingga Kamis (08/10) lalu, serta proses pendampingan hukum yang dihambat oleh pihak Kepolisian.
Pengesahan RUU Cipta Kerja yang dikerjakan secara cepat, dan disahkan menjadi Undang-undang pada (05/10) lalu direspon masyarakat sipil melalui aksi unjuk rasa, sepanjang tanggal (06/10) hingga (08/10), serentak di seluruh wilayah Indonesia termasuk di wilayah Jawa Barat. Dari tiga hari rangkaian unjuk rasa tersebut, tim Advokasi Demokrasi Wilayah Jawa Barat telah menerima pengaduan dari masyarakat sebanyak 226 laporan terkait tindakan represif aparat Kepolisian terhadap massa aksi.
Untuk menindaklanjuti pengaduan tersebut tim Advokasi Demokrasi Wilayah Jawa Barat melakukan pengecekan dengan mendatangi Polrestabes Bandung. Lasma Natalia selaku Direktur Lembaga Bantuan Hukum Bandung mangatakan, bahwa ketika advokat hendak melakukan verifikasi terkait nama-nama yang masuk dalam pengaduan, tim Advokasi Demokrasi Wilayah Jawa Barat tidak dapat melakukan pengecekan di Polrestabes Bandung. Selain itu advokat yang sedang melakukan bantuan hukum tidak mendapatkan informasi apapun, tidak dapat melakukan pengecekan nama, dan hanya mendapatkan infomasi bahwa massa yang diamankan telah dihubungi pihak keluarganya atau sudah dipulangkan.
“Sayangnya ketika tim advokasi hendak mendampingi para pengaduan-pengaduan yang masuk ini, kami mendapatkan adanya penghalang-halangan penyelenggara bantuan hukum dari pihak Kepolisian.” Ujar Lasma Natalia pada saat konpers via daring melalui Zoom.
Tim Advokasi Demokrasi Jawa Barat mengatakan, bahwa tidak diberikannya akses terhadap advokat untuk melakukan bantuan hukum tersebut bertentangan dengan prinsip sistem peradilan yang adil (fair trial), sebagaimana diatur dalam konstitusi KUHAP serta Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik, atau Undang-Undang No. 12 tahun 2005, bahwa setiap orang sama kedudukannya di mata hukum dan memiliki hak pendampingan oleh kuasa hukum saat diperiksa.
Tidak diberikannya akses bagi pendamping juga melanggar Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Undang-undang No. 16 Tahun 2011 tentang bantuan hukum, yang menyebutkan, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan akses pendampingan hukum supaya memastikan hak-hak mereka dipenuhi. Tindakan tersebut juga melanggar Prinsip Dasar PBB tentang Peran Pengacara yang menyatakan bahwa orang-orang yang ditangkap, ditahan, atau dipenjara berhak dikunjungi, berkomunikasi, dan berkonsultasi dengan pengacara tanpa penundaan.
“Terhadap orang-orang yang kemudian ‘diamankan’ melakukan demonstrasi itu, sebenarnya (seharusnya) itu dianggap belum atau tidak bersalah sampai kemudian ada putusan (bahwa) mereka itu bersalah,” Ujar Ibnu Shina dari Biro Bantuandan Konsultasi Hukum (BBKH) Unpas.
Yang dinyatakan oleh Tim Advokasi Demokrasi Jawa Barat melalui konferensi pers tersebut antaralain;
1. Pihak Kepolisian harus memberikan akses pendampingan hukum bagi massa aksi dan memastikan hak-hak mereka terpenuhi.
2. Pihak Kepolisian membuka informasi terkait data massa aksi yang sudah dibebaskan dan massa aksi yang dilanjutkan pemeriksaannya.
Teks Oleh: Helmy Adam.