Menjaga Kewarasan di Tengah Isolasi Diri

Pict by: M Fauzan.


Oleh: Muhammad Fauzan.

“Corona membuat saya sedih. Ditambah saya harus hidup di negara ini”

cetus seorang warganet melalui akun sosial medianya.

Tidak tahu dengan kalian, memandang monitor dan sesekali menjamah smartphone merupakan cara membunuh waktu yang tidak cukup bijak untuk beberapa hari terakhir–bagi saya yang memakai kacamata dengan lensa tebal. Rekomendasi tentang kegiatan yang bisa dilakukan selama masa isolasi dari dunia luar sudah banyak saya tonton melalui YouTube.

Hasilnya nihil. Saya lupa memilah mana kegiatan yang bisa saya sanggupi, lalu mana yang tidak. Membuat steak daging sirloin, merapikan koleksi vinyl, sampai bermain Animal Crossing di Nintendo Switch adalah usulan kegiatan yang mengecoh saya. Menarik, namun nyatanya miskin sejak dalam pikiran. Dasar tak tahu diri.

Akhirnya yang bisa dilakukan hanya rebahan sembari menatap langit-langit rumah sambil berkonflik dengan diri sendiri. Hingga otak saya lari jauh berimajinasi pergi bertemu Menkes Terawan, atau jika boleh, langsung ke Istana bertemu Pak Presiden. Memberi tahu–tepatnya sekadar curcolbahwa saya tidak terlalu butuh Avigan dan Klorokoin yang masih buram keampuhannya. Sekali lagi. Dasar tak tahu diri.

Otak saya kembali dari pelariannya, “jangan pergi lagi, mohon” gumam saya. Untuk mencegah melakukan hal-hal depresif lainnya, akhirnya saya memutuskan untuk melebur dengan orang-orang di salah satu platform sosial media. Berniat untuk menyegarkan pikiran, tiba-tiba muncul sebuah cuplikan seorang jubir pemerintah di dalamnya menyatakan:

“yang kaya melindungi yang miskin, agar bisa hidup dengan wajar.

yang miskin melindungi yang kaya agar tidak menularkan penyakitnya.

Ini menjadi kerjasama yang penting”

Jika kalian menasbihkan diri sebagai Enzy Storia Mania, tentu ingat ketika ia menanggapi orang yang sedang menilainya dan membalas pasrah dengan pernyataan Wow. Aku Kotor“. Kurang lebih begitulah gambaran ketika saya menerima himbauan–atau lebih tepatnya pukulan telak masuk mengenai bagian dada yang diputuskan oleh wasit bahwa itu pelanggaran berat. Kartu Merah.

Saya yang sesak nafas, bengék, berusaha berpikir positif–mungkin jubir ini sudah terlampau lelah memikul beban yang berat, hingga melontarkan pernyataan yang mungkin maksud di awal tidak se-menyudutkan itu. Namun kalian tahu, ada pepatah klise menyatakan “mulutmu harimaumu”, dan juga kebetulan saya merupakan seorang militan yang sangat sepakat bahwa hidup ini tidak adil. Untuk itu atas nama SJW sensitif di manapun kalian berada, izinkan saya mengucapkan: OK, BOOMER.

Kembali. Terjun berselancar ria di media sosial ternyata bukan opsi tepat untuk menyegarkan pikiran, lama-lama malah membuat saya mual. Namun saya cukup tahan untuk menyerap semua informasi yang bertebaran di linimasa.

Cuaca pancaroba kian membuat keadaan makin madesu. Saya yang kebingungan mencari kegiatan sesekali menengok ke luar jendela. Di sana, segerombolan buruh pabrik dengan setelan khas kemeja biru muda dan celana pdh sedang berlarian menerobos hujan untuk pulang, setelah menempuh 8 jam kerja shift malam.

Beruntung bagi kalian yang bisa menerapkan Work From Home, atau anak-anak edgy menyebutnya privilege. Terberkatilah para perkerja lapangan yang–mau tidak mau–harus mengais rezeki demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setelah COVID-19 dinyatakan sebagai pandemi oleh WHO, banyak tempat kerja yang memutuskan untuk menerapkan WFH bagi para pekerjanya. Langkah yang bijak untuk mengurangi penyebaran virus.

Kehabisan ide untuk melakukan kegiatan yang bisa menghindari diri dari stres akibat terlalu lama di tempat yang sama, saya dikejutkan oleh notifikasi dari smartphone yang menunjukkan lampiran dokumen dengan format nama ‘Soal UTS’. Sebagai mahasiswa yang tekun dan bercita-cita ingin menjadi seorang pejabat, saya langsung sigap mencermati pesan tersebut.

Perkuliahan yang diliburkan karena keadaan mendesak membuat e-learning atau bahasa kampusnya “kuliah online” diluncurkan. Grup kelas beserta dosen hadir di dalamnya untuk melaksanakan program darurat e-learning ini, yang diselenggarakan oleh kampus lantaran COVID-19 rentan menular jika harus melaksanakan kegiatan pembelajaran di dalam kelas seperti biasa.

Jujur, dari kata elearning sendiri saya membayangkan keadaan kelas akan menjadi seperti bimbel online. Di mana ada materi jelas yang akan disampaikan, mahasiswa memerhatikan dosen yang sedang menjelaskan, lalu diselingi diskusi interaktif dari semua yang terlibat di dalam suatu kelas virtual. Memang akan terasa ruwet untuk pertama kali, seperti membutuhkan gawai dengan kualitas kamera yang cukup bagus, serta aplikasi tambahan seperti Skype, Google Hangout, atau Zoom untuk memfasilitasinya.

Namun, realitanya tak seperti itu. Bak Event Organizer amatir yang belakangan mengurus acara musik skala internasional bertemakan back to nature, ada kampus yang masih gagap menjalankan e-learning. Alhasil, saya yang sering mengerutkan dahi ketika melihat bapak-bapak nongkrong sambil sibuk memperhatikan apa yang ada di whatsapp mereka, akhirnya merasakan kesibukan yang sama. Grup chat kelas adalah koentji, jika tidak mau ketinggalan tugas apa yang harus dikerjakan.

Kuliah online hanya mentok sampai pemberian tugas beserta deadline yang ditetapkan. Sisanya? kemuakan paling liar akibat tugas numpuk dilampiaskan ke dalam grup chat yang tidak ada dosennya. Mengirim umpatan berupa teks sudah biasa. Sekadar saran, coba teriak sekencang mungkin sambil mengucapkan sumpah serapah atas beban yang kalian pikul, dan jangan lupa sebelumnya untuk mengklik tombol perekam suara. Setelah dikirim ke grup, saya yakin teman-temanmu akan terbakar dan terwakili, mungkin secara tidak sadar berdampak pada kebahagianmu.

WFH atau e-learning sepertinya belum mendapatkan formulanya sendiri untuk diterima oleh khalayak umum. Alih-alih kerja dari rumah di tengah pandemi, justru 66% energi saya ludes terlebih dahulu untuk menjaga kewarasan. mungkin sedang beradaptasi, mungkin juga kita yang sedang merombak total cara berkehidupan.

Kapan saya bisa berhenti dikeroyok hingga babak belur seperti ini.

Tapi tenang, besok matahari akan bersinar cerah. Mengikuti perkembangan berita COVID-19 di seluruh dunia tidak akan terhindarkan. Lalu otakmu akan terasa ingin pecah kembali. Sosial media akan selalu menjadi makanan pokok, di mana bertebaran akun-akun naif bercuit “Bumi sedang membersihkan diri dari wabah yang sebenarnya itu adalah kita. Manusia”

Hidup akan terus berlangsung. Menyiapkan diri untuk kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi bukanlah suatu bentuk keputusasaan. Hal-hal mengerikan seperti Mendaratnya UFO di lapangan gasibu, monster Loch Ness menampakan diri kembali, atau yang lebih mengerikan penetapan duta corona–bisa saja terjadi.

Pada akhirnya saya terbangun kembali di suatu sore, dengan keadaan yang tetap sama–mengambil napas dalam-dalam, berjalan beberapa langkah pergi ke lantai atas, lalu turun lagi. Nick Cave di pengeras suara tua Rp200 ribuan. Menyikapi monitor. Melahap informasi. Menenggak jus jeruk. Terpenjara dalam lamunan. Terlelap. Rutinitas yang terulang-ulang tanpa mengenal ujung.



Editor: Ade Rosman.