Pendidikan Seks Bukan Pornografi

Gambar Ilustrasi: klikdokter.com



Oleh: Ami Ainun Fahmi R.



Pendidikan seks banyak menuai tolakan karena dinilai sebagai “pendidikan yang tidak mendidik” bagi anak-anak untuk dipelajari, juga dicurigai sebagai kegiatan kontraproduktif yang mengarah pada pornografi. Padahal, minimnya akses formal terhadap pendidikan seks di Indonesia membuat anak – khususnya remaja – cenderung untuk memuaskan rasa ingin tahunya melalui saluran lain, seperti internet, film porno, bahkan kepada teman sebaya yang pada umumnya tidak tepat dan bisa jadi berbahaya.

Pelecehan seksual yang merupakan perilaku seseorang untuk memuaskan hasrat seksnya terhadap orang lain bahkan terhadap seseorang yang ia tidak kenali menjadi salah satu satu akibat dari melalaikan pendidikan seks ini. Maraknya  pelecehan seksual menjadi pembahasan yang terbilang sering kita dengar, baik di siaran berita, internet, bahkan dari perbincangan orang-orang di  lingkungan tempat kita tinggal.

Perubahan zaman mampu menyeret seseorang kepada perubahan perilaku, tak heran setiap tahunnya di negara kita kasus pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan terus meningkat, terutama terjadi pada anak dibawah umur. Menurut data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan di laman web resmi nya (www.komnasperempuan.go.id), Di dalam catatan tahunan 2019, terdapat 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2018 (naik dari tahun sebelumnya sebanyak 348.466).

Edwin Partogi Pasaribu (wakil ketua lembaga perlindungan saksi dan korban/LPSK) mengatakan bahwa angka kasus pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan terus naik dari 2016 hingga 2019. Ini tentu menjadi permasalahan yang sangat serius, karena kasus ini sudah turut membawa anak di bawah umur menjadi korban atas perilaku menyimpang tersebut.

Lebih mirisnya, kasus pelecehan seksual ini bukan hanya terjadi tehadap  perempuan yang memakai pakaian serba “minim”, perempuan dengan pakaian serba tertutup pun juga mengalaminya. Tentu perbuatan si pelaku ini bukan lagi didasari karena melihat fisik korban saja, tetapi ada  niatan si pelaku untuk memuaskan dirinya. Terlebih lagi, pelaku biasanya berkeliaran di tempat umum, sekolah atau kampus, hingga jalanan sepi bahkan di sarana publik seperti trasportasi umum.

Maraknya pelecehan seksual  membuat  beberapa orang dari berbagai instansi menggembor-gemborkan mengenai pendidikan seks sejak dini, mereka mengampanyekan kepada masyarakat khususnya orangtua agar lebih proaktif dan lebih menganggap serius akan pendidikan seks kepada anak.

Beberapa alasan pentingnya pendidikan seks yang dilansir dari laman web  www.medium.com/pentingnyapendidikanseks di antaranya:

Pertama, penting karena mampu membantu untuk mengurangi jumlah kehamilan tidak diinginkan atau unintended pregnancy.

Kedua, membantu untuk mengurangi pelecehan dan kekerasan seksual.

Ketiga, membantu untuk mengurangi penyakit seksualitas.

Keempat, membantu untuk meningkatkan nilai-nilai positif seperti kesetaraan gender, saling menghormati, empati, toleransi, dan non-kekerasan.

Kelima, membantu untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan prestasi anak muda.

Kelima hal di atas juga bukan semata-mata hanya peran orangtua dalam membimbing anak mengenai pendidikan seks, melainkan peran guru, dokter dan sekolah, artinya pendidikan seksual akan dijalankan dengan serius dan komprehensif ketika komponen-komponen tersebut saling berperan.

Permasalahannya adalah, ketika semua komponen sudah terkumpul dan didukung oleh  pengetahuan yang mencukupi, namun tidak dijalankan oleh orangtua yang notabene nya adalah fondasi utama seorang anak untuk menyerap ilmu dan pengetahuan maka akan menjadi kepincangan kesadaran bagi si anak untuk mengetahui hal-hal yang bersifat tabu.

Banyak orangtua yang menganggap bahwa anaknya belum cukup umur untuk mendapatkan pendidikan seks, padahal orangtua bisa saja menerapkan hal-hal sederhana kepada anak agar dirinya menyadari bagian-bagian mana yang harus ia lidungi. Orangtua harus menjadi sumber pertama anak mengenali seks dan seksualitas.

Jalur komunikasi yang selalu tersedia antar anak–orangtua akan memungkinkan anak untuk terbuka dan berbicara langsung dengan orangtua nya tentang semua permasalahan hidup remaja, termasuk depresi, pacaran, penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang, serta masalah seksual. Juga, memungkinkan orangtua untuk menghindari memberikan satu ‘ceramah’ panjang yang tidak dirasa nyaman oleh sang anak.

Biarkan anak mengungkapkan semua pertanyaan dan opininya sehingga pembicaraan tentang seks menjadi sebuah diskusi, bukan suatu komunikasi satu arah saja.




Editor: Ade Rosman.