Hidup dan Mati Milik Siapa?
Pict Source: Google.
Oleh: Fachrul Kemal
“Indonesia tidak mengakui hak untuk mati dan hanya mengakui hak untuk hidup.” (Dikutip dari tirto.id: “Euthanasia dan Perdebatan tentang Hak untuk Mati”)
Euthanasia merupakan salah satu masalah etika yang paling berat dalam zaman, dan tampaknya dalam waktu singkat tidak mungkin diselesaikan. Sejak beberapa dekade terakhir ini, masalah euthanasia dan “bunuh diri berbantuan” sedang ramai didiskusikan.
Banyak diajukan segala macam argumen pro maupun kontra. Argumen-argumen yang menolak antara lain berasal dari agama. Tidak ada satu agama pun yang dapat mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan. Pandangan serupa juga dikemukakan profesi medis. Karena, pada hakikatnya profesi kedokteran bertujuan untuk menyembuhkan dan meringankan penderitaan. Euthanasia justru bertentangan radikal dengan tersebut.
Belanda adalah negara pertama yang memungkinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan. Tetapi perlu ditekankan, dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal. Hanya saja, bila beberapa syarat dipenuhi, dokter yang melakukan tidak akan dituntut di pengadilan. Tindakannya akan dianggap sebagai force majeure atau keadaan terpaksa, di mana hukum tidak bisa dipenuhi.
Sejak akhir tahun 1993 silam, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus euthanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedur euthanasia.
Di Indonesia, seruan akan legalisasi euthanasia dan/atau bunuh diri berbantuan belum terdengar lantang. Mungkin, Menteri Negara Urusan HAM kita belum pernah mendapat permintaan untuk menaruh perhatian kepada hak untuk mati. Tetapi tidak mungkin diragukan, perawatan pasien terminal juga merupakan suatu masalah medis yang mahapenting di Tanah Air kita.
Dalam euthanasia, seorang yang menginginkan atau “dianggap” menginginkannya memerlukan bantuan orang lain untuk mendapatkan kematian tersebut. Peranan orang lain itulah yang membedakan euthanasia dari bunuh diri. Dalam bunuh diri, seseorang tidak menggunakan orang lain untuk memperoleh kematiaannya. Euthanasia juga dibedakan dari pembunuhan. Dalam pembunuhan, korban tidak memiliki kepentingan atas peristiwa tersebut. Sedangkan dalam euthanasia, korban memiliki kepentingan atas terjadinya peristiwa tersebut. Dalam hal ini, kematian terjadi atas keinginan korban dan dianggap untuk kebaikan korban itu sendiri.
Di beberapa negara maju, praktik euthanasia telah dilegalkan. Di Amerika serikat misalnya, euthanasia sudah mulai diterapkan berdasarkan putusan pengadilan yang membebaskan pelakunya dari konsekuensi hukum. Di Indonesia, legalisasi penerapan euthanasia masih merupakan suatu wacana yang berkembang dengan perdebatan nilai-nilai yang dianut masyarakat.
Euthanasia dalam Hak Asasi Manusia
Seiring dengan kebebasan manusia untuk melakukan sesuatu atas dirinya, mulai muncul suatu tuntutan untuk mengakui euthanasia sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dalam hal ini, euthanasia dianggap sebagai hak untuk mati, sebagaimana laporan Tim Pengkajian Masalah Hukum Pelaksanaan Euthanasia yang menyatakan bahwa Perkembangan yang paling menarik dari masalah-masalah Hak Asasi Manusia adalah berkaitan dengan euthanasia, di mana hak untuk mati dianggap bagian dari hak asasi manusia.
Kehadiran euthanasia sebagai Hak Asasi Manusia berupa hak untuk mati, dianggap sebagai sebuah konsekuensi logis dari adanya hak untuk hidup. Oleh karena setiap orang berhak untuk hidup–maka setiap orang juga berhak untuk memilih kematian yang dianggap menyenangkan bagi dirinya. Kematian yang menyenangkan inilah yang kemudian memunculkan istilah Euthanasia.
Bila dikaji lebih dalam, secara filosofis sebenarnya manusia tidak memiliki hak untuk hidup karena manusia tidak memiliki hidup itu sendiri. Kehadiran manusia sepenuhnya merupakan kehendak Tuhan Yang Maha Esa.
Hal ini terlihat pada kelahiran manusia, di mana manusia tidak memiliki wewenang untuk menentukan kapan harus terlahir, dalam kondisi bagaimana akan terlahir, ataupun dari rahim siapa manusia akan dilahirkan. Bila hak untuk hidup itu dimiliki oleh manusia, maka manusia akan dapat menentukan kapan mereka akan hidup, dalam kondisi apa mereka akan hidup, maupun dari rahim siapa mereka akan memulai hidupnya. Namun ternyata, manusia tidak memiliki hak tersebut. Manusia hanya mengetahui bahwa mereka telah terlahir dan telah dikaruniai kehidupan.
Kehidupan sepenuhnya merupakan hak Tuhan Yang Maha Esa, sehingga manusia tidak memiliki hak untuk hidup. Dalam hal ini, manusia telah dikaruniai kehidupan oleh Tuhan, sehingga mereka memiliki hak untuk mempertahankan hidupnya.
Jadi, lebih tepat bila dikatakan bahwa manusia tidak memiliki hak hidup, tetapi memiliki hak untuk mempertahankan hidupnya. Dari hak untuk mempertahankan hidup tersebut, kemudian muncul hak-hak asasi manusia lainnya, seperti hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum, hak memiliki kebebasan bergerak, maupun hak untuk merdeka.
Seiring dengan perkembangan dunia kedokteran yang mampu mempertahankan kehidupan dan bahkan membiaskan hakikat kehidupan, mulai muncul istilah euthanasia yang dianggap sebagai hak untuk mati. Kemudian timbul pertanyaan, apakah seseorang itu mempunyai hak untuk mati sebagai bagian dari adanya hak untuk hidup yang selama ini dimiliki dan telah dirumuskan secara jelas sebagai suatu hak asasi manusia?
Mengenai pertanyaan tersebut, Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, dalam bukunya yang berjudul Euthanasia, HAM, dan Hukum Pidana menyatakan bahwa di dalam deklarasi PBB tentang hak-hak asasi manusia, yang diakui secara jelas hanyalah the right to life. Sedangkan mengenai the right to die, berkembang berdasarkan adanya suatu pengakuan baik nasional maupun internasional bahwa setiap individu mempunyai “a right to life, free form torture, and cruel inhuman treatment.”
Di samping itu, the right to life dalam perkembangannya pula menimbulkan adanya the right to health dari seseorang. Oleh sebab itu, perkembangan daripada the right to die jelas tidak dapat dipisahkan dari “the right to life, health, and freedom from torture or cruel inhuman treatment.”
Namun, apabila dikaji lebih dalam, maka hak untuk mati bukanlah suatu perkembangan dari adanya hak untuk hidup karena kematian dan kehidupan tidak berbanding lurus, tetapi berbanding terbalik. Kehidupan tidak dapat dimiliki bersamaan dengan kematian. Kehidupan dan kematian selalu berada pada posisi yang bersebrangan, di mana bila tidak hidup maka berarti mati, dan sebaliknya. Dalam hal ini, karena hidup dan mati adalah dua hal yang berlawanan, maka tidak mungkin jika hak untuk mati merupakan perkembangan dari hak untuk hidup.
Pengaturan Euthanasia dalam Hukum Pidana
Dalam hukum pidana Indonesia, Euthanasia diatur dalam Pasal 344 KUHP: “Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Dari bunyi pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak diperbolehkan merampas nyawa orang lain, walaupun dengan alasan atas permintaan si korban sendiri. Hal ini menandakan penghargaan hukum terhadap nyawa seseorang, terlepas dari kepentingan orang itu sendiri.
Dalam perumusan pasal 344 KUHP sebagaimana diuraikan di atas, tidak terdapat unsur kesengajaan (opzet). Dalam kaitannya dengan susunan KUHP, pasal 344 diletakkan pada Bab XIX tentang kejahatan terhadap nyawa. Dalam hal ini, yang menjadi delik pokok adalah pasal 338 yang disebut dengan pembunuhan. Penempatan pasal 344 dalam Bab XIX menunjukkan hubungan antara pasal 344 dengan pasal 338 yang merupakan sebuah delik pokok. Dalam hal ini, meskipun tidak terdapat unsur sengaja dalam pasal 344 KUHP, unsur tersebut dianggap ada dan dimiliki pasal ini serta berkedudukan sebagai sebuah elemen.
Keberadaan unsur sengaja dalam perumusan pasal 344 KUHP akan menentukan jenis euthanasia yang diatur pada pasal ini. Namun, karena KUHP tidak menyebutkan dengan jelas bagaimanakah bentuk kesengajaan tersebut, timbul berbagai pendapat.
Dari berbagai pendapat kemudian timbul pertanyaan, pendapat manakah yang dianut KUHP? Dalam hal ini, mengingat pasal 344 KUHP tidak pernah diterapkan dalam praktiknya, maka tidak diketahui secara pasti pendapat manakah yang dianut KUHP. Namun, dari hasil simposium euthanasia tahun 1984 yang diselenggarakan oleh majalah Higina terungkap bahwa di Indonesia telah banyak terjadi kasus euthanasia pasif–menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia, sehingga pasien diperkirakan akan meninggal setelah tindakan pertolongan dihentikan–dan tidak pernah diajukan ke pengadilan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa KUHP mengatur tentang euthanasia aktif–dilakukan secara aktif oleh dokter untuk mengakhiri hidup seseorang (pasien) yang dilakukan secara medis. Biasanya dilakukan dengan penggunaan obat-obatan yang bekerja cepat dan mematikan.
Namun dari segi yuridis, pasal 344 KUHP tidak menyebutkan apakah euthanasia yang diatur adalah euthanasia aktif atau euthanasia pasif. Dengan demikian, asalkan “seseorang telah merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati” maka tindakan tersebut memenuhi unsur pasal 344 KUHP.
Euthanasia merupakan perbuatan pidana yang diatur dan diancam pidana berdasarkan pasal 344 KUHP. Di sisi lain, terdapat kelompok yang menganggap bahwa pelaku euthanasia tidak perlu dihukum atas perbuatan yang dilakukannya. Kelompok inilah yang kemudian dikenal sebagai kelompok menyetujui euthanasia.
Euthanasia dan Apa yang Harus Dilakukan
Dalam euthanasia, permintaan korban tidak dapat digolongkan sebagai “pengaruh daya paksa.” Permintaan tersebut lebih cenderung pada memohon belas kasihan pelaku. Dalam hal ini, pelaku tidak harus memenuhi keinginan korban, karena pelaku masih bisa menghindar untuk melakukan perbuatan tersebut. Menurut asas kepatutan pun seharusnya pelaku menghindari perbuatan tersebut. Dengan demikian, jika pelaku tetap melakukannya, tidak termasuk keadaan memaksa sebagaimana dimaksud pasal 48 KUHP.
Pada sudut pandang yang lain, jika pelaku merasa “terpaksa” melakukan euthanasia karena kasihan melihat keadaan korban, hal ini pun tidak termasuk keadaan memaksa sebagaimana dimaksud pasal 48 KUHP. Dalam hal ini, paksaan tersebut berasal dari batin pelaku sendiri. Dengan demikian, tidak terdapat unsur lain di luar pelaku yang memaksa pelaku melakukan delik.
Berdasarkan uraian di atas, maka “keterpaksaan” dalam melakukan tindakan euthanasia tidak dapat dijadikan sebagai dasar penghapus pidana. Dengan demikian, euthanasia merupakan tindak pidana dan terhadap pelakunya dapat dihukum berdasarkan pasal 344 KUHP.
Editor: Ade Rosman.