Tujuan, Serta Era Kejayaan Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra)
Seperti yang dikatakan Bung Karno, “Jas Merah!; Jangan sekali-kali melupakan sejarah!”. Kali ini saya akan sedikit mengulas tentang sejarah Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang selama ini dianggap masyarakat sebagai sejarah yang suram dan buruk untuk Indonesia.
Lembaga Kebudajaan Rakjat atau biasa disingkat Lekra merupakan organisasi berbasis kebudayaan yang didirikan oleh sejumlah seniman dan politikus di Jakarta pada 17 Agustus 1950 oleh A.S. Dharta, M.S. Ashar, Henk Ngantung, Herman Arjuno, Joebaar Ajoeb, Sudhartono, dan Njoto, bersama D.N Aidit.
Tepat 5 tahun pasca kemerdekaan bangsa Indonesia, sosok presiden Soekarno yang humanis bergagasan bahwa seluruh rakyat yang tengah terkena tekanan batin perlu kebutuhan spiritual, emosional, dan hiburan. Maka permasalahan tersebut disalurkan melalui kegiatan ber-kesenian. Hal itulah yang menjadi cikal bakal berdirinya organisasi Lekra.
Pada awalnya, sejumlah anggota Lekra ingin membuat masyarakat Indonesia terhibur dengan sejumlah program kerja dengan strategi Turun Kebawah, atau biasa mereka sebut Turba dengan terjun langsung ke lapangan. Selain itu, ada jurus 1-5-1 yang menjadi pedoman gerakan kebudayaan dan arah kerja Lekra. Prinsip 1-5-1 adalah kerja dalam bidang kebudayaan dan menjadikan unsur politik sebagai pemimpin dalam lima kombinasi; meluas dan meninggi, tinggi mutu ideologi dan mutu artistik, tradisi baik dan kekinian revolusioner, kreativitas individual dan kearifan massa, serta realisme sosial dan romantik revolusioner.
Tujuan utama dari kegiatan seni Lekra adalah memperlihatkan pada seluruh masyarakat bagaimana perjuangan para petani, kaum buruh, dan rakyat kecil lainnya dengan cara penyampaian hiburan atau komedi. Lekra sendiri tidak ingin menyampaikan dengan gaya yang sedih atau iba. Mereka beranggapan bahwa suatu penyampaian dengan cara tersebut bisa membuat mental masyarakat lemah, sehingga menimbulkan stigma buruk bagi masyarakat kelas bawah. Selain itu, Lekra juga enggan mengikuti gaya seniman Eropa yang hanya menampilkan karya seni berupa gambar-gambar kerajaan dan masyarakat kelas atas saja. Yang diingikan Lekra adalah sebuah karya yang mencerminkan seluruh masyarakatnya, tidak hanya dari satu sisi dan satu kelas saja.
Lekra sangat paham bahwa seni bisa menjadi langkah terdepan untuk menyampaikan gagasan ke masyarakat, pun untuk mengkritik pemerintah. Karena jika melawan dengan cara kekerasan dan kontak fisik bisa beresiko sangat tinggi, maka mereka lebih memilih untuk melawan melalui seni dengan cara yang santun. Puisi adalah salah satu contohnya. Dalam setiap satu pertunjukan, biasanya terdapat beberapa pentas seni yang Lekra suguhkan seperti ludruk, wayang wong, ketoprak, orasi budaya, pembacaan puisi dan sandur bergairah dengan satu tema yang tidak akan jauh dari antifoedalisme.
Hal tersebutlah yang membuat sejumlah masyarakat beranggapan bahwa seluruh anggota Lekra merupakan bagian dari kader Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun nyatanya, dikutip dari buku “Lekra dan Geger 1965”, tidak semua anggota Lekra adalah orang PKI. Beberapa seniman seperti Pramoedya Ananta Toer, dan Utuy Tatang Sontani bahkan bukanlah seorang komunis. Selain Pram dan Utuy, beberapa nama seperti Bachtiar Siagian (sutradara film), Djoko Pekik (pelukis), dan Amrus Natalsya (pemahat patung) merupakan seniman-seniman jebolan Lekra yang sangat berjasa untuk Indonesia.
Di sisi lain, ada kelompok yang berseberangan dengan Lekra, yaitu Manifes Kebudayaan (Manikebu). Meski mempunyai tujuan yang sama yaitu memajukan kebudayaan Indonesia sesuai jati diri bangsa, Lekra dan Manikebu memiliki perbedaan pandangan ideologi. Salah satunya adalah perbedaan pada sandaran, kegiatan, dan pengabdian praktisnya. Lekra secara gamblang menyebutkan kegiatannya diabdikan kepada rakyat seperti; kaum buruh, dan petani. Sedangkan Manikebu tidak merumuskan hal itu. Angkatan 45 lebih mengutamakan individualisme. Mereka juga sering mengkritik dan menghujat revolusi. Kenyataan faham dari Lekra dan Manikebu tak sama, bahkan berlawanan. Hal ini yang menyebabkan kedua kelompok tersebut selalu berseberangan dan saling serang-menyerang. Pada 17 Mei 1964 Manikebu-pun dinyatakan terlarang oleh pemerintahan Soekarno, karena dianggap melemahkan revolusi.
Sontak hal tersebut membuat Lekra beranjak ke posisi kejayaannya di era Soekarno. Namun pada akhirnya hal itu menjadi sebuah bumerang untuk Lekra sendiri. Meletusnya tragedi G30S PKI membuat orang-orang Lekra dikejar dan dibunuh karena Lekra dianggap sebagai uonderbow PKI, seolah-olah Lekra berdiri di bawah perlindungan PKI. Nyatanya Njoto selaku pendiri Lekra yang sangat disegani karena kemampuan orasi dan pengetahuannya yang luas menolak ajakan D.N. Aidit dalam menjadikan Lekra sebagai organ resmi PKI dengan alasan Lekra adalah organisasi seniman independent yang tidak ber-afiliasi dengan partai. Njoto menyatakan, meleburkannya Lekra dengan PKI hanya akan membuat seniman-seniman non-komunis seperti Pramoedya Ananta Toer dan Utuy Tatang Sontani hengkang.
Maka dari itu, sangatlah sulit jika Lekra dianggap sebagai underbow PKI, tapi juga salah jika menyebut Lekra tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan PKI. Kesimpulannya, Lekra adalah lembaga / organisasi yang didirikan bertujuan untuk mendukung revolusi dan kebudayaan nasional. Namun tidaklah semua anggota Lekra adalah kader PKI karena di dalam Lekra, perbedaan pandangan politik, dan ideologi merupakan urusan setiap individu tanpa harus meleburkannya ke dalam organisasi berbasis kesenian tersebut.
Sumber: “Lekra dan Geger 1965”