Pedjoeang Moeda

(Teks Oleh : Diajeng Ayu, Psikologi Unisba 2013)

 

Negara Indonesia dibangun melalui peradaban yang sangat panjang dari zaman kerajaan hingga zaman modern. Golongan pemimpin yang identik dengan golongan tua, dimana para pemuda kurang diberikan kesempatan untuk dapat memimpin. Namun, patut untuk disadari bahwa batasan usia tidaklah menjamin kematangan seseorang untuk lebih maju.

Delapan puluh tiga tahun silam, pemuda-pemudi Indonesia, putra-putri terbaik bangsa saat itu telah menghasilkan tiga sumpah penting yang sangat menentukan masa depan bangsa Indonesia kearah yang lebih baik yaitu meraih kemerdekaan. Sumpah tersebut dihasilkan dalam peristiwa Kongres Pemuda ke-2, di Jakarta, tepatnya di Jalan Kramat Raya no.106, yang sekarang telah menjadi Museum Sumpah Pemuda, tanggal 28 Oktober 1928 yang berbunyi : “Kami putra dan putri Indonesia mengaku, bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku, berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.” Mereka kemudian menjadikannya sebagai dasar untuk membangkitkan rasa Nasionalisme.

Ingatkah wahai pemuda-pemudi Indonesia, pada masanya jaman itu. Ketika kaum golongan muda mengeluarkan gagasan atas pemikirannya yang mendobrak kaum golongan tua untuk segera bertindak mengibarkan Pusaka Sang Merah Putih sebagai tanda Kemerdekaan Nasional Indonesia saat itu mengatakan ”Apakah kita harus menunggu hingga kemerdekaan itu diberikan kepada kita sebagai hadiah, walaupun Jepang sendiri telah menyerah dan telah takluk dalam ‘Perang Sucinya ‘!”. ” Mengapa bukan rakyat itu sendiri yang memproklamasikan kemerdekaannya?. Mengapa bukan kita yang menyata­kan kemerdekaan kita sendiri, sebagai suatu bangsa?”.

Apabila melihat perjuangan bangsa Indonesia atau yang dikenal sebagai masa kejayaan nusantara, justru yang membawa nusantara berjaya kala itu adalah sosok pemimpin dari seorang pemuda yang mempunyai kemauan keras untuk memajukan nusantara. Hingga akhirnya bisa membawa nusantara berada dalam puncak kejayaan.

Setelah hampir 17 tahun masa reformasi, banyak sekali kegundahan rakyat terhadap aktivisme gerakan Mahasiswa. Mitos mahasiswa sebagai agent of change menjauh dari realita yang ada. Melihat kondisi pemuda-pemudi Indonesia saat ini, tak sedikit yang mengalami degradasi moral, terlena dengan kesenangan dan lupa akan tanggung jawab sebagai seorang pemuda. Tataran moral, sosial dan akademik,  pemuda-pemudi tidak lagi memberi contoh dan keteladanan baik kepada masyarakat sebagai kaum terpelajar yang berintelektual tinggi. Mereka lebih banyak yang berorientasi pada hedonisme (berhura-hura), tidak banyak pemuda yang peka terhadap kondisi sosial masyarakat saat ini. Dalam urusan akademik pun banyak dari kaum pemuda-pemudi tidak menyadari bahwa mereka adalah insan akademis yang dapat memberikan pengaruh besar dalam perubahan menuju kemajuan bangsa.

Kebanyakan pemuda-pemudi lebih senang dan bangga jadi juru keprok (tepuk tangan) di acara-acara TV atau duduk manis di pusat perbelanjaan atau di tempat nongkong modern yang begitu gemerlap dan jauh dari kesulitan hidup rakyat kecil. Mereka dapat leluasa berbicara tentang artis idola, film populer serta trend atau mode pakaian terbaru, dan tak lupa mencibir setiap kali ada demo yang memacetkan jalan atau tak terima ketika upah buruh naik yang membuat para buruh dapat hidup layak.

Di sisi yang lain gerakan mahasiswa dalam organisasi kemahasiswaan cenderung tersandera dengan isu-isu elit yang menyetir media masa nasional. Mereka seringkali terjebak pada romantisme masa lalu, seperti seorang ABG yang ditinggal kekasihnya kemudian gagal move-on. Prestasi bagi mereka adalah ketika berhasil membuat event besar dengan mendatangkan artis papan atas. Kalau begitu apa bedanya mahasiswa dengan event organizer (EO)?

Coba hitung berapa banyak organisasi mahasiswa yang tetap berada di rel awalnya untuk mengasah para intelektual muda yang mampu memperjuangkan kehidupan rakyat dan mengkritisi penguasa?

Problematika tersebut bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit (ahistoris). Tetapi tak dapat dilepaskan pada akar sejarah. Banyak pengamat menganggap hal ini adalah buah dari neoliberalisme yang menyebabkan terjadinya komersialisasi pendidikan atau analisa budaya yang melihat karena pengaruh habitus. Namun, analisa tersebut mengandaikan pemuda-pemudi sebagai makhluk yang tak bergerak yang dapat disetir kesana kemari. Padahal mereka adalah manusia yang berfikir, berhasrat dan bergerak.

Pramoedya Ananta Toer mengajukan sebuah pertanyaan yang cukup menarik: “Mengapa pemuda yang dengan gemilang menyingkirkan rezim Soeharto, tidak menghasilkan tokoh politik nasional? padahal pemudalah yang memberikan kepemimpinan dan energi dalam setiap perubahan penting disepanjang sejarah Indonesia serta tampil menjadi tokoh politik nasional. Mengapa sekarang tidak?” Pertanyaan tersebut menjadi tugas untuk kita semua bahwa pemuda-pemudi selalu menjadi bagian dari perjalanan sebuah bangsa, baik sebagai pelopor, penggerak bahkan sebagai pengambil keputusan.

Mengutip dari Mahatma Gandhi, “Kamu dapat merantaiku, kamu dapat menyiksaku, bahkan kamu dapat menghancurkan tubuh ini, tetapi kamu tidak akan dapat memenjarakan pikiranku.” Sudah seharusnya pemuda-pemudi itu mempunyai pemikiran yang kritis terhadap masalah yang ada disekitar, mengangkat realita sosial yang terjadi di masyarakat, dan bisa juga memperjuangkan aspirasi masyarakat.

Maka, apa yang Ir.Soekarno ucapkan pada jamannya, “Beri aku 1000 orangtua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia.” Juga ungkapan Syekh Musthafa Al-Ghulayaini, salah seorang pujangga Mesir yang mengatakan: “Sesungguhnya di tangan pemudalah urusan umat dan di kaki-kaki merekalah kehidupan umat.”

Bahwasanya sebagai pemuda kita harus sadar diri, negara ini membutuhkan pendekar sakti untuk mewujudkan kesejahteraan di lingkungan masyarakat. Mungkin di mata kita pemerintah sendiri tidak cukup baik mengusahakan kesejahteraan bangsa ini, namun kita tinggal di negeri ini.

Dampak dari baik atau buruknya negeri ini, secara langsung maupun tidak langsung akan kembali berhubungan dengan kehidupan kita di negeri ini. Lihat dan terjunlah langsung kedalam lingkup masyarakat. Belajarlah untuk peduli terhadap lingkungan sekitar dan bangsa tanah air. Bukan membudidayakan budaya mengkritik, menyanggah, atau mencela terhadap sesama manusia yang hanya akan mengobarkan api perpecahan antar bangsa tanah air.

Indonesia masih sangat membutuhkan pemuda-pemudi yang memiliki kematangan intelektual, kreatif, percaya diri, inovatif, memiliki kesetiakawanan sosial dan semangat nasionalisme yang tinggi dalam pembangunan nasional.

Pemuda-pemudi diharapkan mampu bertanggung jawab dalam membina kesatuan dan persatuan NKRI, serta mengamalkan nilai-nilai yang ada di dalam pancasila agar terciptanya kedamaian, kesejahteraan umum, serta kerukunan antar bangsa.

Bangunlah pemuda-pemudi Indonesia! Tanamkan semangat yang berkobar di dadamu. Bersatulah membangun negara tercinta. Berkaryalah pemuda-pemudi Indonesia, majukan negara kita. Jadilah kaum pemuda seperti sosok Bung Soekarno dan Bung Moch.Hatta ataupun kaum pemudi seperti R.A. Kartini dan pahlawan wanita lainnya, yang memiliki semangat juang tinggi dalam membangun bangsa.

Jika bukan kita, pemuda-pemudi Indonesia lantas siapa lagi yang akan membangun dan melanjutkan perjuangan tanah air?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *