Budaya Pemerkosaan Selayang Pandang
Pict Source: Thoughtco.com.
Oleh: Gren Raina Mutiara.
Apa itu Rape Culture atau Budaya Pemerkosaan?
Apa itu Rape culture atau budaya pemerkosaan? Apakah budaya pemerkosaan benar-benar ada dan terjadi di sekitar kita? Sangat mudah untuk membantah bahwa budaya pemerkosaan itu tidak ada. Bagaimana mungkin ada dan terjadi, jika kita melihat hal tersebut sebagai salah satu kejahatan keji yang dapat kita lakukan? Bahkan ada seseorang yang mengatakan bahwa laki-laki yang memerkosa perempuan harus dihukum mati. Bagaimana mungkin budaya yang mempunyai pandangan rendah terhadap pemerkosa bisa benar-benar mendukung pemerkosaan?
Rape culture atau budaya pemerkosaan merupakan praktik menumbuhkan lingkungan yang menormalisasi dan merasionalisasi kekerasan seksual. Dalam budaya ini, bagian tubuh manusia diobjektifikasi. Ketika kita memandang seseorang sebagai sesuatu yang berharga hanya dari bagian tubuhnya atau sebagai objek, kita membuka peluang untuk melakukan kekerasan terhadap mereka.
Rape culture adalah istilah yang diciptakan oleh feminis di Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Istilah ini dirancang untuk menunjukkan cara masyarakat menyalahkan korban kekerasan seksual dan menormalisasi kekerasan seksual terhadap laki-laki. Mereka, pada saat itu, menggunakan istilah ini untuk menarik perhatian serta menunjukkan fakta bahwa pemerkosaan dan kekerasan seksual adalah kejahatan umum di seluruh negeri, bukan kejahatan langka atau luar biasa yang dilakukan oleh orang yang dianggap tidak waras, seperti yang diyakini banyak orang.
Budaya pemerkosaan menekan perempuan untuk mengorbankan kebebasan dan kesempatan mereka agar tetap aman, hal tersebut menempatkan beban keselamatan di pundak perempuan, dan menyalahkan mereka ketika mereka tidak berhasil. Akibatnya, peluang tertentu tidak tersedia dan dibatasi bagi perempuan.
Dalam konteks ini, perempuan secara konsisten mengalami intimidasi dan ancaman kekerasan seksual bahkan kekerasan seksual itu sendiri. Budaya pemerkosaan telah membenarkan terorisme fisik dan emosional terhadap perempuan. Juga, yang menjadi ironi adalah budaya pemerkosaan tidak dipandang sebagai satu masalah besar oleh mayoritas masyarakat. Ketika hal-hal tersebut dipandang sebagai sesuatu yang tak terhindarkan, dan ketika kekerasan seksual diremehkan oleh figur otoritas, media, produk budaya, dan mayoritas anggota masyarakat.
Sebagaimana seluruh masyarakat dapat digambarkan sebagai budaya pemerkosaan, demikian pula organisasi dan lembaga tertentu, jenis lembaga seperti perguruan tinggi atau universitas, penjara, hingga militer juga dapat menjadi tempat praktik budaya pemerkosaan ini dilanggengkan.
Budaya sebagai nilai, kepercayaan, pengetahuan, perilaku, praktik, dan material yang dimiliki bersama oleh orang-orang yang membantu menyatukan mereka sebagai suatu kolektif. Budaya mencakup keyakinan yang masuk akal, ekspektasi dan asumsi yang umum dipegang, aturan, peran sosial, dan norma. Ini juga mencakup bahasa kita dan cara kita berkomunikasi serta produk budaya seperti musik, seni, film, televisi, dan video musik. Perilaku dan praktik, gagasan, wacana, dan representasi budaya pun dapat menjadi bagian dari budaya pemerkosaan.
Adapun representasi pemerkosaan dalam produk budaya adalah, lelucon dan meme yang mengejek korban pemerkosaan, penggunaan pemerkosaan atau kekerasan seksual sebagai titik plot dan untuk keuntungan ekonomi dalam film dan televisi, video game dengan skenario pemerkosaan serta lagu dan video musik yang mengglorifikasi pemaksaan seksual.
Tetapi ada juga tindakan yang berperan penting dalam menciptakan budaya pemerkosaan tersebut. Seperti pelecehan seksual dan bullying lewat media sosial ataupun media online lainnya, memanipulasi atau mengintimidasi dan melakukan ancaman terhadap perempuan maupun laki-laki yang menjadi korban pemerkosaan, meremehkan trauma korban kekerasan seksual, victim-blaming (menyalahkan korban), objektifikasi seksual terhadap perempuan dan laki-laki, menyalahkan pakaian yang dikenakan korban, menyamakan maskulinitas dengan dominasi seksual, revenge porn, meremehkan kekerasan seksual seperti “boys will be boys”, dan lainnya.
Budaya pemerkosaan saat ini tak hanya membebani perempuan namun juga laki-laki, meskipun budaya pemerkosaan dilandasi oleh kuasa patriarki. Misalnya, dengan mengabaikan fakta bahwa laki-laki dapat menjadi korban pemerkosaan dan serangan seksual. Artinya, korban laki-laki juga dibiarkan tanpa perlindungan hukum dan dukungan sosial. Budaya pemerkosaan pun mengabaikan moral kita sebagai manusia yang beradab.
Apakah Budaya Pemerkosaan benar-benar ada dan nyata?
Di Afrika Selatan, sempat dikenal istilah jack-rolling pada akhir abad 20. Jack-rolling adalah istilah untuk tradisi pemerkosaan yang dilakukan segerombol anak muda untuk membuktikan “kelaki-lakian” mereka—sebagian pelaku bahkan menyebutnya permainan belaka. Human Rights Watch melansir laporan mengenai tradisi ini pada tahun 2001. Tertulis hampir 50 persen pria menganggap wanita yang berkata “tidak” ketika diajak berhubungan intim sebenarnya mau. Dan sekitar 2/3 pria dan wanita sepakat bahwa pemaksaan hubungan kepada seseorang yang dikenal tidaklah tergolong kekerasan seksual. Afrika Selatan juga termasuk dalam negara yang memiliki tingkat pemerkosaan tertinggi di dunia.
Di India, cerita-cerita mengerikan tentang penculikan serta pemerkosaan terhadap perempuan dan anak perempuan secara rutin menjadi berita utama, hal ini sering dikaitkan dengan sistem kasta. Seorang wanita diperkosa di rumah sakit Delhi—tak lama sebelum dia melahirkan. Dalam kasus lain, seorang penjaga keamanan menculik dan memerkosa seorang gadis berusia tiga tahun. Baru-baru ini, seorang gadis berusia tujuh tahun diculik di luar sekolahnya dan diperkosa oleh dua pria. Protes publik besar-besaran telah gagal menghasilkan tanggapan pemerintah yang efektif.
Kemungkinan ada jutaan kasus pemerkosaan di seluruh dunia. Pemerkosaan telah menjadi epidemi di banyak negara. Di Indonesia sendiri, tragedi Mei 1998 dianggap sebagai kasus pemerkosaan terbesar di Indonesia. Pada tahun 2016, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mencatat 85 kasus kekerasan seksual terjadi di tragedi Mei 1998, 52 kasus di antaranya adalah pemerkosaan dalam bentuk Gang Rape.
Terdapat sekitar 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2019 yang sebagian besar bersumber dari data kasus atau perkara yang ditangani Pengadilan Agama. Selama 12 tahun terakhir, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792 persen. Ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan di Indonesia meningkat hampir 8 kali lipat.
Pada sepanjang April sampai Maret 2020, Lembaga Bantuan Hukum Asosisasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) mencatat terdapat 97 kasus kekerasan seksual, dengan bentuk terbanyak kekerasan dalam rumah tangga sebanyak 33 kasus, kemudian kekerasan gender berbasis daring sebanyak 30 kasus, pelecehan seksual sebanyak 8 kasus dan kekerasan dalam hubungan pacaran sebanyak 7 kasus.
Pada 2015, Komnas Perempuan merilis laporan tentang “Sejauh Mana Media Telah Memiliki Perspektif Korban Kekerasan Seksual” yang merangkum pemberitaan terkait oleh sembilan media nasional. Dalam laporan tersebut disebutkan ada 403 pelanggaran kode etik jurnalistik (mengungkap identitas korban dan pelaku anak, informasi cabul dan sadis, mencampurkan fakta dan opini) dari total 499 pemberitaan.
Hal tersebut membuat korban pemerkosaan yang mengalami tindakan pemerkosaan bukan hanya mengalami tindak kekerasan sebagai seorang perempuan, akan tetapi karena pemberitaan media tersebut membuat masyarakat seringkali ikut menyalahkan perempuan sebagai korbannya. Masyarakat juga akan memberikan stigma pada korban sebagai korban pemerkosaan dan stigma tersebut akan melekat pada perempuan tersebut seumur hidupnya, bahwa ia adalah seorang korban pemerkosaan.
Alih-alih mendapat pembelaan atas tindak kekerasan yang menimpa dirinya justru seringkali korban dipresentasikan secara negatif dan dinilai sebagai pemicu terjadinya pemerkosaan oleh media. Sedangkan pelaku pemerkosaan seringkali dipresentasikan dalam keadaan khilaf dan tidak dapat menahan hawa nafsu. Sehingga apa yang disampaikan oleh media tersebut seakan memberikan toleransi terhadap pelaku pemerkosaan. Media yang seharusnya menjadi sarana yang berimbang dalam menyampaikan berita seringkali juga menyalahkan korban, dan pada akhirnya pelaku lebih memiliki ruang untuk menyampaikan pendapatnya. Media yang memiliki peran penting dalam menyampaikan informasi dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat.
Dengan meningkatnya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia, pemerintah seharusnya dengan serius melakukan langkah-langkah pencegahan atau menetapkan hukum yang jelas terkait kekerasan seksual. Mengingat terbatasnya pengaturan tentang kekerasan seksual dalam KUHP, maka langkah yang seharusnya diambil oleh pemerintah adalah mengembalikan dan segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) pada daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020.
Bagaimana kita bisa memerangi budaya pemerkosaan?
Ketika berbicara tentang pemerkosaan dan pencegahan kekerasan seksual, kita sering memikirkan cara-cara untuk mencegah atau mengakhiri hal-hal tersebut. Sebagian melalui kampanye kesadaran ataupun mengadakan diskusi tentang bagaimana mengubah budaya kita dengan melakukan dekonstruksi stereotip berdasarkan ras dan jenis kelamin? Bagaimana kita sebagai manusia saling membantu dalam perjuangan untuk mengakhiri kekerasan seksual? Bagaimana pencegahan akan memungkinkan melawan akar kekerasan? Tetapi ada beberapa hal sederhana yang dapat kita lakukan untuk memerangi budaya pemerkosaan, antara lain;
- Menghindari penggunaan bahasa yang merendahkan perempuan atau laki-laki.
- Tidak membuat lelucon yang tentang pemerkosaan maupun ejekan seksis.
- End victim-blaming, start respecting.
- Jika seorang teman berbicara tentang pemerkosaan yang dia alami, berikan dukungan, semangat serta tanggapi dengan serius.
- Hormati ruang fisik orang lain.
- Mempelajari tentang sex education.
- Paham akan pentingnya sexual consent.
- Tidak menyalahkan pakaian sebagai penyebab terjadinya pemerkosaan.
Mulai hari ini kita bisa berbuat lebih baik. Masing-masing dari kita dapat memilih untuk memerangi budaya pemerkosaan dengan mengedukasi orang di sekitar kita tentang realitas pemerkosaan itu sendiri.
Editor: Jufadli Rachmad.