“Bercanda Doang” dengan Akibat Anxiety sebagai Dampak Bullying
Pict Source: Pixabay.com
Oleh: Della Trisnawati.
Bullying bukanlah sebuah lelucon. Meskipun seringkali dianggap sebagai hal yang wajar dalam membangun keakraban dan membalutnya dengan nada bercanda, bullying merupakan masalah serius dengan merusak rasa percaya diri serta memberikan efek tekanan tersendiri bagi korbannya.
Terdapat beberapa faktor yang dapat memicu tindak bullying, di antaranya kondisi fisik korban, perbedaan ras, hingga penilaian terhadap korban yang terlihat lemah dan tidak mudah untuk bergaul. Namun di antara faktor-faktor tersebut, kondisi fisik lah yang sangat mendominasi motif tindak bullying.
Biasanya seseorang yang melakukan tindak bullying atau dapat dikategorikan sebagai pelaku, melakukan hal tersebut karena menganggapnya sebagai cara yang efektif untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Pasalnya, pelaku seringkali merasa tidak memiliki keterampilan sosial untuk melakukan hal yang diinginkan, maka dari itu mereka memilih cara yang merugikan orang lain. Oleh sebab itu, tindakan ini juga dapat dianggap sebagai cara “picik” untuk membangun dominasi sosial.
Bullying merupakan hasil dari kebutuhan pelaku untuk mendapatkan dan tetap mengontrol korbannya. Agresi yang terlibat dalam penindasan, mengganggu empati yang dibutuhkan pelaku untuk menahan diri dari menindas orang lain. Para pelaku bullying akan menampakan sikap seolah-olah tidak bersalah hingga terus menerus melakukan agresi secara kronis dan menganggap apa yang dilakukannya sebagai tindakan yang biasa saja tanpa memikirkan perasaan korbannya. Pelaku juga sering kali melakukan agresi di hadapan audiens, sehingga korban bullying tersebut merasakan ketidak nyamanan dan rasa takut yang berlebihan.
Namun mengapa audiens tersebut tidak memilih untuk menghentikan agresi tersebut? Saya berpendapat bahwa seringkali audiens merasa agresi tersebut sebagai tontonan yang dapat dinikmati bersama-sama, untuk dijadikan bahan canda tawa tanpa memikirkan perasaan korbannya. Atau terkadang audiens sebenarnya tidak menyukai tindakan pelaku, namun lebih memilih untuk diam karena takut dijadikan korban oleh pelaku. Alhasil, tindak bullying terus menerus terjadi karena tidak adanya audiens atau pihak manapun yang menghentikan agresi tersebut.
Bullying dapat dilakukan secara fisik maupun non-fisik dengan tujuan mengintimidasi maupun mendominasi. Hal ini dapat terjadi karena adanya kesenjangan kekuatan antar individu. Tindakan menyakitkan ini juga dapat dilakukan secara terus menerus tanpa henti hingga mengikis perasaan diri seseorang dari waktu ke waktu.
Tindakan seperti memukul, menendang, dan mendorong dapat dikategorikan sebagai bullying secara fisik. Hal-hal tersebut dapat menyebabkan kerusakan jangka pendek maupun jangka panjang, dan tanda-tandanya pun dapat dikenali secara jelas. Sedangkan tindak bullying non-fisik dapat dikategorikan seperti penghinaan, ejekan, intimidasi, dan rasisme.
Bullying non-fisik ini cukup halus dan tergolong sulit untuk dikenali. Meskipun dapat dimulai dengan hal-hal yang sifatnya tidak berbahaya, dampak dari bulliying secara non-fisik dapat berubah menuju tingkat yang memengaruhi kondisi psikologis korbannya.
Seiring berjalannya waktu dengan dilengkapi kecanggihan teknologi pada saat ini, tindakan bullying kini seolah turut difasilitasi di dunia maya. Cyberbullying merupakan sebutan untuk bullying yang terjadi media sosial.
Cyberbullying datang dalam berbagai bentuk. Pasalnya, hampir semua orang memiliki smart phone dan koneksi internet, sehingga siapa pun dapat melakukan tindak bullying kepada orang lain melaui sosial media. Terlebih, tindak cyberbullying dapat dilakukan oleh pelaku tanpa harus mengungkapkan identitas mereka yang sebenarnya.
Pelaku cyberbullying dapat menyiksa korbannya setiap saat. Yang lebih menakutkannya lagi, pelaku dapat mengikuti korban kemana pun, sehingga tidak ada lagi tempat yang dirasa aman, bahkan ketika korban berada di rumahnya sendiri. Tindak bullying di sosial media memanglah mudah utuk dilakukan dan dapat disaksikan oleh ratusan atau bahkan ribuan orang secara online.
Metode yang digunakan pelaku untuk melakukan cyberbullying bermacam-macam dan imajinatif. Mulai dari mengirim pesan yang mengancam atau mengejek melalui pesan pribadi, mengolok-olok korban di media sosial, hingga membobol akun atau mencuri identitas online untuk menyakiti dan mempermalukan korban.
Jika berbicara mengenai dampak, tidak ada yang membedakan antara bullying tatap muka dengan cyberbullying. Keduanya sama-sama dapat merugikan dan memberikan efek yang sangat berbahaya. Dan tentunya perlu sekali untuk dihentikan.
Saya menyebut bahwa bullying sebagai salah satu penyakit sosial yang pada saat ini marak terjadi dan berkibat fatal bagi kondisi psikologis korban maupun pelaku. Bullying yang terjadi secara terus menerus dapat memicu anxiety (ketakutan yang berlebih) hingga depresi bagi penderitanya. Hal ini terutama berlaku bagi kaum milenial, banyak dari mereka yang mengalami tantangan psikologis seperti bullying.
Seringkali bullying dilakukan pelaku berulang kali dan untuk jangka waktu yang lama. Akibatnya, korban mungkin akan hidup dalam ketakutan terus-menerus tentang di mana dan kapan pelaku akan menyerang selanjutnya, apa yang akan mereka lakukan, dan seberapa jauh mereka akan pergi.
Pelaku bullying memiliki kecenderungan untuk memiliki toleransi yang rendah terhadap kondisi psikologis orang lain, kesulitan berempati dengan orang lain, dan kecenderungan untuk melihat perilaku tidak berbahaya oleh korbannya sebagai tindakan yang provokatif.
Tindak bullying juga marak dilakukan oleh orang dewasa. Seolah-olah bullying adalah hal yang pantas diberikan kepada orang lain. Seringkali tindak tersebut dilakukan melalui gurauan, namun tanpa disadari hal tersebut merupakan sebuah tindak bullying.
Pelaku akan melakukan tindakan yang semena-mena diluar batas wajar yang menyebabkan korban menjadi insecure. Anxiety (ketakutan yang berlebih) juga akan selalu menghantui korban hingga batas waktu yang tidak dapat ditentukan.
Biasanya korban juga akan mengalami perubahan pola tidur dan pola makan dikarenakan anxiety yang selalu hadir. Anxiety pula akan menyebabkan korbannnya kehilangan daya terhadap aktivitas-aktivitas yang sebelumnya dapat dilakukan secara produktif. Seringkali korban akan terlihat murung dan cenderung menyendiri.
Kondisi psikologis setiap orang tentunya akan berbeda-beda, jika korban sebelumnya memiliki masalah yang serius seperti depresi dan trauma, maka bullying akan memperburuk kondisi psikologis orang tersebut.
Dalam beberapa kasus, efek trauma yang dialami mengharuskan korban untuk menjalani berbagai macam terapi mental. Tidak mudah untuk membangun diri kembali dan membuat kondisi psikologis normal kembali. Lebih parahnya lagi, korban dapat memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.
Saya sadar bahwa mencari solusi untuk tindak bullying ini tidaklah mudah. Penyakit sosial ini sudah mengakar dan cukup sulit untuk dihentikan. Namun, ada hal penting yang harus selalu diingat yaitu, jika terjadi tindak bullying jangan ragu membantu dan mendukung orang yang tertindas untuk keluar dari masalah tersebut. Cara paling efektif adalah berusaha menjadi pemantik yang menghentikan tindakan menyakitkan ini.
Dan untuk orang yang tertindas, janganlah merasa sendiri. Setiap orang tentunya berhak mendapatkan bantuan dari lingkungan sekitar. Karena setiap orang memiliki hak atas kebaikan dan kasih sayang. Cobalah untuk tidak merasa tunduk kepada pelaku, atau lebih baik berusaha melindungi diri dengan cara menghindari pelaku.
Bullying membawa pesan bahwa tindakan menyakitkan tersebut tidak hanya merugikan korbannya, tetapi juga merugikan pelaku itu sendiri. Orang-orang di sekitar akan cenderung tidak menyukai pelaku dikarenakan situasi tidak nyaman yang tercipta dari tindakan bullying yang ia lakukan secara terus menerus.
Editor: Jufadli Rachmad.