Larasati: Heroisme Seorang Perempuan dalam Pergolakan Revolusi Pasca-Proklamasi
Pict: Ade R.
Oleh: Nabilla Anasty Fahzaria
Jika roman-roman sejarah khususnya perjuangan biasanya banyak diisi dari segi kacamata laki-laki, Pramoedya Ananta Toer menuliskannya dari kacamata seorang perempuan bernama Larasati yang merupakan aktris panggung sekaligus bintang film yang cantik. Sastrawan tersohor yang dijuluki Albert Camus-nya Indonesia ini berusaha merekam gejolak revolusi Indonesia pasca-proklamasi yang saat itu masih kisruh dengan kedatangan Belanda yang diboncengi oleh NICA (Nederlandsch Indië Civiele Administratie atau Netherlands-Indies Civiele Administration). Larasati, melakukan perjalanan yang menegangkan, gelap, dan menyiksa batin dari pedalaman Yogya ke Jakarta untuk mendatangi ibunya. Berpisah dengan Kapten Oding yang sangat mencintainya, ia pun pergi menggunakan kereta sembari berjejalan dengan orang-orang asing dan menjemput takdirnya.
Selama perjalanan, dirinya selalu diliputi kecemasan dan ketakutan dimata-matai. Dikatakan dalam roman tersebut bahwa selacur-lacurnya Larasati (ia sering diminta menemani para lelaki), ia tetaplah seorang republikein. Ia tahu betul bahwa mata-mata NICA ada di mana-mana dan dirinya pun sudah tentu masuk ke dalam incaran. Dalam perjalanannya, ia transit sebentar di Cikampek. Ara – sebutan masa kecilnya – mendapat sebuah tugas tak terduga dari seorang opsir muda yang ditemuinya di suatu penginapan untuk mencarikan keterangan tentang ajudan dan pembantunya yang tak kunjung tiba ke Cikampek. Apakah mereka telah menyebrang ke pihak NICA atau ditangkap.
Sesampainya di Jakarta, Ara berjumpa kembali dengan kawan lamanya bernama Mardjohan yang ia pikir adalah seorang penjilat. Mardjohan yang telah mendapatkan kedudukan di Belanda sebagai produser film berkat kedekatannya dengan orang-orang berpangkat Belanda, hendak mengajak Ara untuk menjadi bintang film propaganda Belanda. Dengan ketegasannya, Ara menolak tawaran tersebut. Ia sadar betul bahwa dirinya adalah seorang republikein. Jika ia bermain film lagi, sudah tentu film tersebut haruslah film tentang revolusi. Karena penolakannya itu, Ara menerima berbagai tekanan dan hinaan secara halus dari orang-orang Belanda. Ia dibawa untuk mengunjungi sebuah sel penjara yang dingin dan kelam. Di sana, tak disangka-sangka ia bertemu dengan ajudan opsir muda yang ia temui di Cikampek tengah dipenjara dengan keadaan mengenaskan. Di kedua tangannya terdapat bekas tali gantungan. Ajudan opsir yang diketahui Ara bernama Ketut Suratna itu pun muntah darah dan tewas di hadapannya. Seketika pun Ara pingsan di tempat. Setelah sadar, Ara kemudian dibawa ke rumah ibunya dan disopiri oleh – yang tak disangka-sangka – Martabat, seorang republikein yang baru saja tiba dari Sorong tengah menyamar menjadi orang NICA.
Sesampainya di rumah ibunya, Ara kaget karena ibunya tinggal di sebuah gubuk sederhana dan menjadi babu di rumah keluarga Arab. Cobaan bertubi-tubi dimulai dari sini. Ara dan Martabat disangka mata-mata NICA oleh penduduk kampung sekitar karena mereka datang dari luar Jakarta. Guna membuktikan bahwa mereka benar-benar pejuang dan republikein, mereka berdua pun turut berjuang bersama pemuda-pemuda untuk menyerang pasukan NICA di malam hari. Sebagai perempuan – meski ketakutan dan menangis – Ara, sang aktris molek itu, turut berjuang bersama para pemuda yang haus revolusi. Ia menyaksikan sendiri ledakan-ledakan granat dan sebuah kematian di hadapannya sendiri. Selain itu, Ara pun merasakan pahitnya menjadi “teman hidup” secara paksa oleh majikan ibunya bernama Jusman yang merupakan seorang Arab. Kesulitannya untuk tetap hidup tak menjadikan jiwa republikein-nya menjadi kendur. Raga dan jiwanya yang tersakiti masih tetap menginginkan revolusi. Hatinya semakin hancur saat mengetahui kabar dari radio bahwa Chaidir, seorang penyair seperjuangannya asal Yogya yang dikenalnya, meninggal dunia. Ara juga semakin hancur saat mengetahui Yogya – tempat asalnya – jatuh ke tangan Belanda.
Tak lama kemudian, Jusman harus pergi meninggalkan Jakarta dan merapat ke Singapura karena posisinya di tanah air sudah tidak aman lagi. Dengan demikian, Ara merdeka dari cengkraman lelaki itu. Kepergian Jusman yang mendadak itu memberinya sinyal bahwa sebentar lagi sesuatu yang besar akan terjadi pada bangsa ini. Benar saja, tak lama setelah itu, Konferensi Meja Bundar (KMB) ditandatangani dan kekuasaan republik dipulihkan. Seluruh orang bersorak-sorai di jalanan, termasuk Ara yang berjalan sendirian – melamun – tak tahu harus apa yang diperbuatnya kini untuk berjuang. Lantas, seseorang hampir menyerempetnya dengan mobil Jeep. Ara tak sanggup untuk marah. Turunlah seseorang yang pernah mengisi hatinya. Kapten Oding. Mereka kemudian pindah rumah lalu berdansa di antara turunnya hujan.
“Biar segala-galanya terjadi sekarang. Kita adalah pemenang. Kitalah yang menghaki semua-muanya.”
And then they lived happily ever after. Dongeng yang mengerikan. Seperti kisah yang sudah-sudah – Bumi Manusia, Gadis Pantai, Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dan lainnya – dalam Larasati, Pram memberikan pandangan serta kedudukan yang mulia terhadap perempuan. Masuk di jajaran “pembangkang” yang paling sastra dalam sejarah bangsa ini, Pram berusaha menyampaikan kemunafikan, omong kosong para penguasa, keloyoan, perjuangan, pengkhianatan, dan sepenggal cinta dengan cara yang khas: gelap, kelam, dan manis.