Prostitusi: Tabu dan Masih Abu
pict source: http://www.teenvogue.com/
Oleh: Dimas Kamaswara.
Fenomena bisnis prostitusi kian marak terjadi di Indonesia–tidak mengenal batasan usia dari yang tua bahkan remaja sekalipun–banyak yang terjerumus pada bisnis ini. Selain faktor ekonomi, sulitnya mendapatkan pekerjaan menjadi salah satu alasan yang paling utama bagi Pekerja Seks Komersial (PSK) hidup dan menghidupi dari dunia ini.
Banyak remaja di bawah umur yang seharusnya menikmati masa-masa mudanya, malah harus menjadi pemuas hasrat para pria ‘hidung belang’, miris memang. UNICEF, sebuah organisasi PBB yang memberikan bantuan kemanusiaan dan perkembangan kesejahteraan jangka panjang kepada anak-anak dan ibunya di negara-negara berkembang memperkirakan, 30 persen PSK di Indonesia berusia di bawah 18 tahun.
Lalu, bagaimana solusi yang tepat menanggulangi masalah ini? Dan bagaimana pandangan masyarakat luas terutama di Indonesia terhadap Pekerja Seks Komersial?
Dicatat laman web Hukumonline.com, Indonesia memang mengatur prostitusi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 296: “Barang siapa yang mata pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”. Pemerintah juga telah mengaturnya dalam Pasal 506: “Barang siapa sebagai mucikari (souteneur) mengambil keuntungan dari pelacuran perempuan, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.”
Namun, berdasarkan rilis Havoscope–pencatat data pasar gelap berbagai aktivitas di seluruh dunia–pada Februari 2016 lalu, Indonesia tercatat sebagai negara urutan ke-12 yang memiliki pendapatan tertinggi di dunia prostitusi, dengan nominal sebesar 2,25 miliar Dolar AS per tahunnya, atau setara Rp30,26 triliun.
Noviandi Syahputra, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, pada 2016 lalu melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi remaja menjadi pekerja seks komersial. Dalam penelitiannya tersebut diperoleh beberapa alasan yang menjadikan seseorang terjerumus ke dalam dunia prostitusi, di antaranya: gangguan kepribadian/trauma tertentu, pengaruh usia yang masih dalam taraf labil, kurangnya pemahaman tentang religiuitas, Ketidakmampuan dasar untuk masuk dalam pasar kerja yang memerlukan persyaratan, peningkatan gaya hidup, hingga paksaan dari orang lain.
Kompleksnya pemasalahan yang melatarbelakangi para pekerja seks komersial kerap luput dari perhatian. Sebagian besar masyarakat menitikberatkan persamasalahan ini muncul atas dasar masalah ekonomi belaka.
Keputusan seseorang untuk terjun ke dunia gelap tersebut berjalan berdampingan dengan masalah-masalah besar yang akan dihadapi sesudahnya. Selain resiko terkena berbagai penyakit, stigma terhadapnya serta berbagai perlakuan diskriminatif verbal maupun non verbal, tak sedikit akan mereka terima. Mengingat negara Indonesia yang kental dengan adat budaya ketimuran dan memiliki norma-norma yang diamini oleh masyarakatnya. Meskipun dalam UUD tahun 1945 melalui Pasal 28D ayat 1 disebutkan, “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Serta Pasal 38 ayat (2) UU HAM yang berbunyi bahwa setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.
Jika tetap masih belum ada regulasi yang jelas, undang-undang yang tumpang-tindih, serta melarang tanpa adanya solusi masih menjadi acuan utama, bukan tidak mungkin dunia prostitusi ini akan terus menjamur dengan caranya sendiri.
Editor: Ade Rosman.