Puisi; Senja dan Kopi, Ataukah Seni di Ruang Terbatas?
Pict Source: Hipwee.
Oleh: Nabilla Anasty Fahzaria.
Kata demi kata, baris demi baris, serta bait demi bait – panjang ataukah pendek – diksi indah dan metafora. Mereka teruntai menjadi sebuah kisah, perasaan, daya tarik, dan dianggap sakral oleh kebanyakan orang. Puisi-puisi itu menjelma sebagai alat penyalur emosi yang mutakhir. Buku kumpulan puisi banyak dijajakan di toko buku. Kutipan-kutipan puisi Hujan Bulan Juni milik Sapardi bertebaran di mana-mana. Lalu, di sisi lain ada mereka yang berjuang sembari mengutip kepingan puisi Wiji Thukul. Namun, sebenarnya puisi itu apa dan bagaimana kita memaknainya di era sekarang?
Kali ini anak muda dihadapkan dengan benturan gaya hidup hedonis, di mana kedai kopi menjamur di tiap-tiap jalan di kota Bandung. Selain ditemani Ice coffee latte hingga cappuccino, Mereka dihadapi dengan situasi “melankolis senja” atau istilah kerennya adalah golden hour. Jika bukan tentang senja pun, akan banyak metafora-metafora lain baik itu tentang cahaya kota atau malam hari yang sepi. Belum lagi anak-anak muda ini yang kebanyakan masih terjebak di crisis quarter life dan menghadapi berbagai macam persoalan hidup usia < 25 tahun. Hasrat kreatif para anak muda macam seperti itu serta dengan didukung oleh berbagai tekanan hidup, akhirnya bermunculanlah tren puisi, kopi, dan senja.
Tren ini menjamur – setidak-tidaknya bagi orang-orang yang baru beberapa kali membuat puisi. Mereka membuat kata-kata yang erat kaitannya dengan kopi, senja, dan perasaan melankolis yang mereka rasakan. Awalnya mungkin terlihat keren dan – oh, iya. Tak lupa lagu-lagu indi yang menemani. Petikan gitar dan lirik mendayu akan sangat menunjang emosi sang penulis puisi kopi dan senja ini. Puisi yang dibuat akan semakin liris dan miris. Semakin keren.
Namun, fenomena ini perlahan ditentang oleh kaum “elit”. Kezia Alaia, salah satu aktivis, penulis puisi, sekaligus pembaca puisi, beropini di caption salah satu postingan Instagramnya @keziaalaia, bahwa puisi adalah bentuk seni yang asing dan jauh. Salah satunya karena kita dibiasakan menyaksikan puisi di ruang terbatas – seperti panggung terkurasi atau galeri seni.
Pernyataannya itu bisa kita perhatikan lewat fenomena sekitar di mana puisi yang sungguhan “puisi” disuguhkan oleh kaum elit puisi itu sendiri, di galeri seni atau suatu komunitas yang gemar mengadakan perform arts. Sehingga, puisi terasa seperti seni di ruang yang terbatas. Misalnya nih, “Gue penulis, lho. Gue udah tampil di panggung. Lo bukan dan lo hanya menulis puisi di buku diari lo. Berarti puisi lo jelek!”. Kasarnya kurang lebih seperti itu.
Lalu, Kezia menambahkan, eksplorasi puisi (kemudian) dibatasi ke dalam kotak-kotak dan ruang. Kesan yang timbul di permukaan seperti itu, puisi-puisi seolah dijaga oleh kaum elit yang mendapatkan akses lebih untuk menyalurkan puisi-puisinya di komunitas perform arts, para penulis dengan idealismenya yang kuat, dan segelintir kaum lainnya yang jenuh dengan kemelankolisan sore hari dan indi. Sehingga, kita – orang-orang yang gemar membaca dapat melihat langsung bahwa sekarang ini puisi kemudian dikotak-kotakan. “Ah, puisi itu bagus. Ah, puisi itu jelek.” Kemudian menyebar pada ejekan-ejekan ringan antar sesama kawan, “Cie, anak indi. Cie, anak senja.”
Kita sampai lupa bahwa langit dan bumi ini milik manusia. Di dalamnya akan muncul berbagai ekspresi, perasaan, dan kreativitas yang beragam. Puisi untuk konsumsi publik memang alangkah lebih baiknya relevan dengan kehidupan banyak orang. Not only talk about love and broken hearts. Kita bisa memulainya dengan hal-hal yang abstrak dan tema-tema alternatif yang lebih relevan. Atau hal-hal kecil yang mencolok. Kita bisa jadikan apapun sebagai ide puisi – puisi tak terbatas ruang dan waktu. Di dalamnya kita bisa bereksplorasi tanpa takut merasa dihakimi. Tak ada yang salah dengan puisi, kopi, dan senja. Semua puisi marilah kita anggap karya.
Kita bisa memulainya dengan menghayati apa yang kita rasakan tentang suatu fenomena – mengolahnya di dalam otak dan hati dan mengekstraknya sehingga kita bisa menyalurkan sarinya pada orang (tentu saja Anda tak ingin perasaan-perasaan Anda secara vulgar terkonsumsi oleh banyak orang dan menjadikan orang-orang yang membaca puisi Anda salah kaprah). Jangan sungkan untuk berpuisi – semuanya melalui proses pembelajaran. Mungkin suatu saat saya dan Anda bisa menjadi penyair hebat seperti Sapardi Djoko Damono yang selalu dibanggakan dengan “Hujan Bulan Juni” dan “Aku Ingin”-nya. Atau barangkali Chairil Anwar dengan si binatang jalangnya. Kemana pun kiblat puisimu: romantisisme atau surealisme, bebaskan. Tak ada yang mengekang Anda. Semua puisi adalah (ke)benar(an).
Editor: Ade Rosman.