Menyetubuhi Noise; Perkara Terbiasa Atau Tidak

Perbincangan tentang musik terbilang memang sangat menarik, pandangan personal yang melibatkan perasaan kerap menjadi bumbu tersendiri dalam buah bibir tersebut, seperti contoh mendengarkan lagu ‘A’ akan selaras jika suasana batin sedang diselimuti rindu atau hingga muncul istilah-istilah puitis sang penikmat kopi ala-ala yang dipetik di kala senja.

Musik oleh beberpa ahli didefinisikan secara mendasar dan humanis, musik juga merupakan suara yang terorganisir dan memiliki aturan baku yang terdiri dari beberapa unsur.

Dalam hal ini noise menjadi seperti anak bengal yang ogah mendengarkan ibunya. Noise berkembang seperti istilah muncul paham seni Dadaisme yang banyak menyindir secara konyol kebudayaan pada masa itu (abad 20) melalui rancangan pertunjukan yang absurd. Hal tersebut yang berupaya mematahkan dan memperolok anggapan bahwa seni adalah sesuatu yang indah, mahal dan hanya bisa dinikmati untuk kalangan tertentu.

Dan inilah yang mengilhami noise untuk menenggak roh Dadaisme hingga timbul jargon “anti-musical” dan keluar dari dogma yang ada dalam musik itu sendiri. Bukan berarti noise tidak menjadi suatu musik, tetapi dalam artian ini noise mencoba untuk keluar dari dari dogma musik yang beraturan untuk mampu me-ereksikan imajinasi dan lepas dalam melakukan sesuatu yang bersifat improvisasi. Karena dalam noise segala bentuk benda – apapun itu – yang mampu mengeluarkan gelombang suara bisa dijadikan alat musiknya.

Luigi Russolo

Perkembangan noise itu sendiri tidak bisa dijauhkan dari seorang musisi avant-garde, artis futuris asal Itali ini disebut juga Architech of Sound­ karena menjadi pioneer di ranah ini, Luigi membayangkan masa depan yang didominasi oleh kebisingan. Dalam manifestasinya yang berjudul The Art of Noise (1913) bahwa revolusi industri telah memeberikan kapasitas lebih kepada manusia modern untuk mengapresiasi suara-suara yang jauh lebih kompleks dari sebelumnya. Lewat karya eksperimentalnya yang ia namakan Intonarumori, Luigi berhasil mengahasilkan suara orchestra yang terbilang aneh, namun itulah noise. Suara yang dihasilkannya itu ia dapati dari cerobong-cerobong asap pabrik yang banyak dan mudah ditemukan di sekitrannya. Ini pula yang ia sebut sebagai ‘dunia yang indah’ yang di dalamnya terdapat bising dan suara yang tidak diinginkan. Bagi Luigi ini hanya perkara melatih kembali telinga kita dalam memahami suara, dan ini pula yang menjadi perdebatan apakah bunyi yang dihasilkan Luigi adalah suatu hal berupa musik atau bukan.

 Selain Luigi Russolo, John Cage mencoba bereksperimen dengan karya sunyinya yang berjudul “4`33” sebagai musik. Selama empat menit tiga puluh tiga detik itu pula John Cage dan pengiringnya berdiam diri dan membiarkan suara di sekelilingnya bermain. Lagu tanpa suara ini disokong dengan noise yang ada di sekitarnya seperti suara langkah kaki, penonton yang menahan tawa, gesekan kursi yang diduduki, dan bisikan penonton sebagai bagian dari komposisi lagu. Dalam pertunjukannya ia ber-persepsi tidak akan pernah ada titik keheningan, karena sekali pun berdiam diri di tempat sunyi, noise itu sendiri akan tetap terdengar bahkan dari suara detak jantung dan hembusan nafas sekalipun.

Kini perkembangan noise yang modern berafiliasi pula dengan berbegai genre musik kontemporer. Lambat laun noise sangatlah mudah untuk didengarkan. Jika menilik di Indonesia, pergerakan noise tak ubahnya seperti bau kentut – tidak terlihat namun terasa – yang pada artinya masih terlalu segmented peminatnya. Di Indonesia pun noise bukan seperti anak kemarin sore yang kurang lebih muncul di dekade 90an. Band Seek Six Sick melakukan pendekatan dengan noise yang hingga kini bisa berkembang, juga seperti Senyawa dan To Die yang bisa dikatakan konsisten dalam pergolakan ranah noise yang belum masif.

Dan Indonesia pun kini menjadi tujuan tour dari banyak band noise mancanegara, salah satunya festival noise tahunnan,  Jogja Noise Bombing Festival yang sekaligus menjadi wadah bagi para musisi dan penikmat noise.

Stigma yang menjamur di masyarakat bahwa orang yang mendengarkan musik noise dapat disebut ‘gila’, membuat khalayak kembali berpikir bahwa apakah ada manusia sewaras itu mendengarkan bunyi bising yang tak karuan. Tapi kembali lagi seperti apa yang dikatakan Luigi, bahwa itu hanya perkara melatih kembali telinga kita dalam memahami suara saja.

Bahkan jika kalian mengenal artis video dewasa si ­‘Queen of Deep Throat’, Sasha Grey, setelah pensiun dari dunia per-lobido-an kini dia beralih menjadi musisi dan membuat band noise bernama ATelecine.

Untuk itu dengan segala perdebatan tentang noise itu sendiri sebagai musik atau bukan, mendengarkan musik itu tidak ada aturannya. Jika ingin mengetahui lebih jauh tentang noise silahkan cari dan melebur bersama kebisingan.



Teks oleh: Lugas Pribady.